Category: Seno Gumira Ajidarma

Page 1/6

Seno Gumira Ajidarma

SEORANG wartawan, pengarang, pengembara. Nama samaran yang dimilikinya Mira Sato, digunakan untuk menulis puisi sampai tahun 1981.

Lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958, dari pasangan Mohammad Setia Aji Sastroamidjojo (1921-2004)—Guru Besar Fakultas MIPA UGM, dan Poestika Kusuma Sujana (1923-2002)—dokter spesialis penyakit dalam. Seno menikah dengan Ikke Susilowati pada tahun 1981 dan dikaruniai seorang anak bernama Timur Angin.

Seno menyelesaikan pendidikan dasar-menengah di SD Teladan Ungaran Yogyakarta (1970), SMP Negeri V Yogyakarta (1973), SMA BOPKRI I Yogyakarta (1975) dan SMA Santo Thomas (1976-1977) Yogyakarta.

Melanjutkan kuliah di D3 Departemen Sinematografi, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), Jurusan Penyutradaraan (1980). S1 Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Program Studi Skenario (1994). S2 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Program Studi Ilmu Filsafat (2001). Dan S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Program Studi Ilmu Susastra (2005).

Proses kreatif Seno dimulai tahun 1975, saat itu ia berusia 17 tahun. Keterlibatan Seno di dunia seni dimulai saat ia menjadi anggota rombongan sandiwara Teater Alam pimpinan Azwar AN. Berawal dari dunia teater, Seno kemudian masuk ke dunia sastra.

Karyanya yang pertama berbentuk puisi dimuat dalam rubrik “Puisi Lugu” dalam majalah Aktuil, asuhan Remy Sylado. Selanjutnya, Seno menulis cerpen dan esai. Cerpennya yang pertama “Sketsa dalam Satu Hari” dimuat dalam surat kabar Berita Nasional tahun 1976. Esainya yang pertama dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.

Kariernya di dunia kewartawanan dimulai pada tahun 1977 sebagai pembantu lepas harian Merdeka. Selanjutnya, Seno bekerja di majalah kampus Cikini dan menjadi pimpinan redaksi Sinema Indonesia (1980), dan redaktur mingguan Zaman (1983-1984). Seno juga bekerja di majalah Jakarta-Jakarta (1985-1992).

Awal tahun 1992, majalah Jakarta-Jakarta berhenti terbit. Seno yang saat itu menjadi redaktur pelaksana harus melepaskan pekerjaannya. Seno kembali bekerja di majalah Jakarta-Jakarta akhir tahun 1993, setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra. Di majalah Jakarta-Jakarta, Seno banyak menulis kritik film.

Pada tanggal 14 Januari 1992, Seno bersama dua rekan Jakarta-Jakarta yang lain, yaitu JJ Waskito Trisnoadi dan Usep Hermawan masing-masing sebagai redaktur pelaksana dan redaktur dalam negeri “dipindahkan” dari majalah Jakarta-Jakarta ke tabloid Citra karena pemberitaan mengenai Insiden Dili dalam Jakarta-Jakarta. Sebelum akhirnya diminta memimpin Jakarta-Jakarta kembali pada akhir tahun 1993, Seno tetap masuk kantor serta tetap digaji, tetapi tidak bekerja.

Selain itu, Seno juga mengajar di Fakultas Film dan Televisi IKJ pada mata kuliah Penulisan Kreatif dan Kritik Film (1995-sekarang), pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (2005-sekarang), pengajar Program Pascasarjana IKJ (2009-sekarang), wartawan PanaJournal.com (2014-sekarang), hingga puncaknya Seno menjabat sebagai Rektor IKJ periode 2016-2020.

Bibliografi

Karya Seno antara lain berbentuk kumpulan puisi, cerpen, novel, novela, roman, naskah drama, komik dan kumpulan esai.

Kumpulan puisi

  1. Granat dan Dinamit (1975, bersama Ajie Sudarmadji Mukhsin)
  2. Mati Mati Mati (1975)
  3. Bayi Mati (1978)
  4. Catatan-catatan Mira Sato (1978)

Kumpulan cerpen

  1. Manusia Kamar (1988)
  2. Penembak Misterius (1993, 2007)
  3. Saksi Mata (1994)
  4. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995, 2017)
  5. Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996)
  6. Negeri Kabut (1996)
  7. Iblis Tak Pernah Mati (1999, 2001)
  8. Atas Nama Malam (1999, 2005)
  9. Matinya Seorang Penari Telanjang (2000) —cetak ulang dari kumpulan cerpen Manusia Kamar (1988) dengan judul yang berbeda.
  10. Dunia Sukab (2001, 2016)
  11. Kematian Donny Osmond (2001)
  12. Jakarta at a Certain Point in TimeFiction, Essays, and a Play from the Post-Suharto Era in Indonesia (2002) Translated by Michael H Bodden – University of Victoria, Victoria, British Columbia, Canada
  13. Sepotong Senja untuk Pacarku (2002, 2014)
  14. Aku Kesepian, Sayang.” “Datanglah, Menjelang Kematian.” (2004, 2020)
  15. Linguae (2007)
  16. Trilogi Insiden (2010) terdiri dari Saksi Mata (1994, kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (1996, novel), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997, 2005, kumpulan esai)
  17. Senja dan Cinta yang Berdarah – Antologi Cerita Pendek Seno Gumira Ajidarma di Harian Kompas 1978-2013 (2014)
  18. Eyewitness: Stories from East Timor (2015) Translated by Jan Lingard & John H McGlynn – The Lontar Foundation
  19. The Mysterious Marksman (2019) Translated by Joan Suyenaga – The Lontar Foundation
  20. Transit – Urban Stories (2019)

Novel

  1. Jazz, Parfum, dan Insiden (1996, 2017)
  2. Wisangeni: Sang Buronan (2000)
  3. Kitab Omong Kosong (2004, 2021)
  4. Kalatidha (2007)
  5. Naga Bumi I Jurus Tanpa Bentuk (2009)
  6. Naga Bumi II Budha, Pedang & Penyamun Terbang (2011)
  7. Drupadi: Perempuan Poliandris (2017)
  8. Naga Bumi III Hidup dan Mati di Chang’an (2019)

Novela

  1. Marti & Sandra (2022)

Bermula dari cerpen “Pelajaran Mengarang” (1992) yang terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1993. Pada 1997, kisahnya dikembangkan menjadi skenario film televisi, yang baru diproduksi tahun 2013, dengan judul “Ibuku Seorang P”. Kemudian diterbitkan kembali sebagai cerita bersambung di harian Kompas pada awal 2022 sebanyak 15 bagian, novela Marti & Sandra.

Roman

  1. Negeri Senja (2003, 2021)
  2. Biola Tak Berdawai (2004)

Kumpulan naskah drama

  1. Pertunjukan Segera Dimulai (1976)
  2. Mengapa Kau Culik Anak Kami? Tiga Drama Kekerasan Politik (2001)

Dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 6-8 Agustus 2001, dan di Societeit, Taman Budaya, Yogyakarta, 16-18 Agustus 2001. Pertunjukan diproduksi oleh Perkumpulan Seni Indonesia bekerja sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).

Naskah drama ini berasal dari sebuah cerpen Seno “Cinta dan Ninja” dalam kumpulan Iblis Tak Pernah Mati yang juga merupakan fragmen dari naskah drama Tumirah, Sang Mucikari, dipentaskan pertama kali di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat 29 Januari 1999, oleh Teater Yuka dengan sutradara Yenni Djajoesman.

Naskah drama lainnya yang terdapat di dalam kumpulan ini adalah “Clara” yang juga berasal dari cerpen “Clara” yang dimuat dalam kumpulan Iblis Tak Pernah Mati.

Komik

  1. Jakarta 2039, 40 Tahun 9 Bulan setelah 13-14 Mei 1998 (2001)
  2. Taxi Blues (2001)
  3. Sukab Intel Melayu: Misteri Harta Centini (2002)
  4. Layang-layang (2022)

Kumpulan esai

  1. Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997, 2005)
  2. Layar Kata: Menengok 20 Skenario Pemenang Citra Festival Film Indonesia 1973-1992 (2000)
  3. Kisah Mata: Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan tentang Ada (2002)
  4. Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong: 1996-1999 (2002)
  5. Affair: Obrolan tentang Jakarta (2004)
  6. Sembilan Wali dan Siti Jenar (2007)
  7. Kentut Kosmopolitan (2008, 2020)
  8. Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan (2011)
  9. Antara Tawa dan Bahaya: Kartun dalam Politik Humor (2012)
  10. Jejak Mata Pyongyang (2012)
  11. Tiada Ojek di Paris: Obrolan Urban (2014)
  12. Jokowi, Sangkuni, Machiavelli: Obrolan Politik (2016)
  13. Obrolan Sukab (2019)
  14. Pidato Kebudayaan: Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi (2019)
  15. Ngobrolin Komik (2021)
  16. Kalacitra: Kumpulan Esai Fotografi (2022)

Antologi cerpen bersama dan lainnya

  1. Pelajaran Mengarang (1993) —Cerpen Pilihan Kompas 1993
  2. Lampor (1994) —Cerpen Pilihan Kompas 1994
  3. Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995) —Cerpen Pilihan Kompas 1995
  4. Pistol Perdamaian (1996) —Cerpen Pilihan Kompas 1996
  5. Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997) —Cerpen Pilihan Kompas 1997
  6. Derabat (1999) —Cerpen Pilihan Kompas 1999
  7. Dua Tengkorak Kepala (2000) —Cerpen Pilihan Kompas 2000
  8. Gallery of Kisses (2002) —Kumpulan Cerita
  9. Pembisik (2002) —Kumpulan Cerpen Republika
  10. Dua Kelamin bagi Midin (2003) —Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980
  11. Waktu Nayla (2003) —Cerpen Pilihan Kompas 2003
  12. Riwayat Negeri yang Haru (2006) —Cerpen Kompas Terpilih 1981-1990
  13. Ripin (2007) —Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006
  14. Words Without Borders: The World Through the Eyes of Writers: An Anthology (2007)
  15. Cinta di Atas Perahu Cadik (2007) —Cerpen Kompas Pilihan 2007
  16. 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 (2008) —Anugerah Sastra Pena Kencana
  17. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Proses Kreatif, #4) (2009)
  18. Menagerie 7: Indonesian Short Stories and More (2009)
  19. Di Balik Kaca (2010) —Bunga Rampai Cerita Kaum Minoritas Seksual
  20. Un Soir du Paris (2010) —Kumpulan Cerpen
  21. Dodolit Dodolit Dodolibret (2010) —Cerpen Pilihan Kompas 2010
  22. Klub Solidaritas Suami Hilang (2013) —Cerpen Pilihan Kompas 2013
  23. Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon (2014) —Cerpen Pilihan Kompas 2014
  24. “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” (2015) —Cerpen Pilihan Kompas 2015
  25. Semua Orang Pandai Mencuri (2015) —Kumpulan Cerpen Esquire Indonesia #1
  26. Pesan untuk Kekasih Tercinta (2015) —Kumpulan Cerpen Esquire Indonesia #2
  27. Tanah Air (2016) —Cerpen Pilihan Kompas 2016
  28. Setan Becak, Ayoveva, hingga Chicago May (2017) —Cerpen Terbaik Tempo
  29. Doa yang Terapung (2018) —Cerpen Pilihan Kompas 2018
  30. Mereka Mengeja Larangan Mengemis (2019) —Cerpen Pilihan Kompas 2019
  31. Macan (2020) —Cerpen Pilihan Kompas 2020
  32. Berita Kehilangan (2021) —Antologi Cerpen KontraS

Penghargaan

  1. Cerpen “Kejadian” mendapat penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim, 1977
  2. Cerpen “Dunia Gorda”, S.C.Z., Kumpulan Cerita Pendek Keluarga, Pemenang dan Pilihan Zaman Ulang Tahun Pertama, 1980
  3. Cerpen “Cermin” mendapat penghargaan dari majalah Zaman, 1983
  4. Cerpen “Midnight Express” mendapat penghargaan dari harian Kompas, 1990
  5. Cerpen “Segitiga Emas” menjadi Pemenang Kedua dalam Sayembara Mengarang Cerpen harian Suara Pembaruan, 1991
  6. Cerpen “Pelajaran Mengarang” (1992) dinobatkan sebagai jawara Cerpen Pilihan Kompas 1993
  7. Kumpulan cerpen Saksi Mata (1994) mendapat penghargaan Penulisan Kreatif dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1995
  8. Cerpen “Saksi Mata” (1992) mendapat penghargaan Dinny O’Hearn Prize for Literary Translation, Australia, 1997
  9. Kumpulan cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995) mendapat penghargaan South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand, 1997
  10. Kumpulan cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996) terpilih sebagai Buku Terbaik dari Yayasan Buku Utama, 1997
  11. Roman Negeri Senja (2003) menjadi juara Khatulistiwa Literary Award Kategori Fiksi, 2004
  12. Novel Kitab Omong Kosong (2004) menjadi juara Khatulistiwa Literary Award Kategori Prosa, 2005
  13. Cerpen “Cinta di Atas Perahu Cadik” (2007) terpilih sebagai jawara Cerpen Kompas Pilihan 2007
  14. Cerpen “Dodolit dodolit dodolibret” (2010) dianugerahi sebagai juara Cerpen Pilihan Kompas 2010
  15. Ahmad Bakrie Award (2012) untuk bidang Kesusastraan dari Freedom Institute—tapi ditolak oleh Seno
  16. Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Anugerah Seni 2013 dari Pemerintah Republik Indonesia
  17. Cerpen “Macan” (2020) menjadi pemenang Cerpen Pilihan Kompas 2020

SENO GUMIRA AJIDARMA:

Lebih Banyak yang Kenal Saya daripada yang Membaca Buku Saya

Seno Gumira Ajidarma - Foto Kurnia Effendi

Seno Gumira Ajidarma/Foto Kurnia Effendi, Lokasi Gerai Buku Jose Rizal Manua

KAWAN-kawan lamanya memanggilnya Seno, sedang yang lain memanggilnya, Mira, kependekan dari nama Mira Sato, nama pena yang dulu pernah digunakannya. Tapi ada juga yang menyapa dengan sebutan SGA, kependekan dari nama panjangnya. Atau Sukab, itu nama tokoh fiksinya yang ngetop. Padahal, dalam laman resmi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), di mana ia menjadi rektornya sejak tahun 2016, nama dan gelar akademisnya sungguh serius: Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum. Hm, serem kan?

Seno lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Pada tahun 1977, ia pindah ke Jakarta dan kuliah di Departemen Sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang bernama Insitut Kesenian Jakarta). Seno menamatkan studi S1 di IKJ pada tahun 1994, S2 Filsafat di Universitas Indonesia pada tahun 2001, dan memperoleh gelar Doktor (Sastra) dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia pada tahun 2005. Selain menjadi Rektor IKJ, Seno masih aktif mengajar di Fakultas Film dan Televisi dan Sekolah Pasca Sarjana IKJ, ISI Surakarta, dan FIB – Universitas Indonesia.

Toh meski kini dikenal sebagai seorang akademisi dan Rektor IKJ, penampakan ‘baru’ Seno sejatinya tak banyak berubah. Seno tetap cool dengan rambut gondrong dan cambangnya. Bicaranya tetap lugas, kritis, ceplas-ceplos, dan cenderung cynical. Termasuk ketawanya yang khas. Kalau pun ada yang berubah, —selain rambut dan jambangnya yang memutih—adalah kesibukannya yang tambah berjibun. Mulai dari mengajar, undangan jadi pembicara, juri, menulis kolom, dan tentu saja menghadiri rapat-rapat.

Selama September lalu, Kurniawan Junaedhie dari MAJAS mengajaknya berbincang di sela-sela kesibukannya, di berbagai kesempatan. Salah satunya, di ruang kerjanya di IKJ, ditemani secangkir kopi. Itu pun diimpit waktu, antara rapat dan sembari menunggu jam mengajarnya.

Agak susah membayangkan Anda jadi rektor. Rasanya Anda lebih pas jadi seniman dan wartawan.

Posisi rektor ini sebetulnya cuma jabatan sementara seperti ketua RT. Jadi kayak risiko pergaulanlah. Terus terang saya baru ngeh kalau saya ini ternyata memang dosen. Dalam dunia pendidikan, sesungguhnya mentalitas saya adalah ‘bantu-bantu’ doang, sampai pangkat pun nggak pernah saya urus. Sampai sekarang cuma lektor sahaja. Kurang ambisius! Hahaha!

Bagaimana ceritanya Anda menjadi Rektor?

Terus terang saya sudah menolak. Asal Anda tahu, setahun pertama saya stres dan tidak tahu apa-apa. Setiap hadir dalam rapat, saya tanya staf saya, “itu pidato ngomong apa. Kok banyak betul singkatannya.” Hahaha, lama-lama saya tahu. Setahun itu. Tapi meski ini bukan kemauan saya, tak berarti saya tidak memberikan yang terbaik.

Kalau begitu sekarang Anda sudah terbiasa dengan batik dan jas dong.

Hahaha. Gak juga. Pergi ke mana-mana ya saya seperti ini. Mengajar atau rapat. Tidak ribet. Mosok pakai jas di Jakarta, panas-panas. Hahaha…. Paling juga batik. Itu pun kalau kondangan. Kondangannya pun, saya pilih-pilih.

Anda kuliah di IKJ jurusan Sinema, tapi kemudian mendapat Doktor dari komik, bagaimana ceritanya?

Ini sebetulnya seperti pengembaraan saja dalam bidang keilmuan. Untuk Tahap Studi Dasar di Departemen Sinematografi IKJ yang setara D3, mayor saya adalah penyutradaraan dengan film pendek. Untuk S1 saya pilih bidang kajian, tetapi yang dikaji adalah 20 skenario pemenang Citra dalam 20 tahun. S2 pindah ke ilmu filsafat di UI, kajiannya adalah ontologi fotografi. Lalu S3 pindah lagi ke ilmu susastra dengan kajian budaya tentang komik. Hampir semuanya, tanpa sengaja, serba yang pertama, sehingga pekerjaan rumahnya, seperti orientasi teoretis, harus dibangun tersendiri, yang justru menguak stagnasi akademik. Artinya tetap kerja kreatif.

Kenapa Sinematografi?

Sebetulnya saya pengin mendaftar ke Departemen Teater meskipun vokal saya buruk, dan nggak berbakat jadi tontonan. Saya pernah menyutradarai dengan ide-ide baru, bahkan ketika di rapot SMA tertulis alpa 32 hari alias membolos. Itu karena diminta mengajar di sebuah SMEA untuk pentas. Tapi waktu mau ndaftar, teman di Teater Alam yang sudah kuliah di Departemen Seni Rupa, Syahnagra, menganjurkan masuk ke Departemen Sinematografi saja. “Apa itu?” tanya saya. “Film,” jawabnya. Saya pikir, untuk belajar film memang tidak ada sanggarnya seperti teater yang tinggal nimbrung. Waktu itu tidak ada satu pun komunitas film seperti sekarang. Dan salah besar juga kalau sekolah formal teater itu sama dengan sanggar. Mendaftarlah saya dan setelah testing macem-macem ya diterima. Kenyataannya, saya lebih tertarik menulis tentang film daripada membuat film. Saya kira untuk kerja film, saya menganggap diri saya tidak cukup memiliki social skill yang dibutuhkan, yakni merayu banyak orang supaya bisa bekerja dengan baik. Toh saya akhirnya terlibat juga dengan kerja film, sebagai penulis skenario, dan ternyata tetap saja proses kerjanya kolaboratif.

Kenapa Anda memilih komik?

Hahaha. Karena waktu itu dalam dunia kajian budaya, komik tidak dianggap.

Seno putra dari pasangan Prof. Dr. M.S.A Sastroamidjojo, seorang guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada dan dr. Poestika Kusuma Sujana. Semasa kecilnya ia mengaku sering didongengi ibunya tentang cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May. Akibatnya Seno kecil pun terpengaruh mengembara mencari pengalaman dan suka membayangkan dirinya seperti di film-film: menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, dan bersepatu model boot yang ada bulu-bulunya.

Selulus SMP kabarnya Anda sempat ‘minggat’, dan mengembara sampai jadi buruh pabrik kerupuk di Medan segala. Bagaimana ceritanya?

Tepatnya setelah lulus SMP bersama seorang teman saya berangkat, maunya keliling Indonesia, tapi sesudah nguplek berbagai pelosok Jawa Barat sebulan, merayapi Sumatra dari Lampung, Bengkulu, Palembang, Padang, mandek di Medan. Itu masuk bulan ketiga. Duitnya abis. Nebeng hidup di rumah juragan pabrik kerupuk. Anaknya kebetulan indekos di rumah teman saya dari Yogya itu. Jadilah saya bantu-bantu ngeburuh di situ. Kerjanya ya motong-motong kerupuk yang masih lembek dan panjang sebelum digoreng di wajan-wajan raksasa. Waktu berkirim surat ke rumah minta duit ke ibu saya, yang dateng dua tiket Garuda jurusan Medan-Jakarta. Saya masih ngèyèl, minta tolong sang juragan menjualnya supaya bisa ke Aceh dan Kalimantan, tapi kan memang nggak bisa! Haha! Maka pulanglah sambil dadah-dadah diantar mobil bak yang biasa untuk ngangkut kerupuk ke bandara Polonia.

Itu awal 1971. Di Yogya langsung sekolah lagi meski sudah telat 3 bulan. Jadi nggak pernahlah DO.

Sastra dianggap ‘bukan ilmu pengetahuan’, bahkan ‘cuma ngarang’, atau juga ‘Cuma perlu bakat’.

Pengalaman apa yang Anda peroleh ketika itu?

Ya pengalaman traveling. Bukan liburan. Saya pengin jadi pengembara kan karena keracunan buku-buku Karl May yang saya syukuri sampai sekarang, karena membuat cita-cita saya cukup sederhana, ya mengembara itu. Sedangkan mengembara kalau nggak punya duit kan nggak usah sampai Sahara. Ke Rangkasbitung asal belum pernah juga boleh. Ke New York tiap hari kalau untuk diplomat ya bukan pengembaraan, itu pekerjaan.

Wah, begitu pentingnya arti pengembaraan bagi Anda ya.

Ya. Mengembara itu selalu terhubungkan dengan pengalaman baru, bahkan petualangan detour tak terduga, asing, dan mungkin sekali nggak enak, tapi pada dasarnya penemuan dalam hidup yang fana. Belum tentu bisa diulang. Jadi ya sensasional juga, tapi bisa berupa penderitaan. Saya misalnya jadi tahu bedanya tulisan dan realitas yang raw: sakit perut dalam bus malam dan nggak bisa ‘keluar’. Sumatra tahun 1970 waktu saya baru memasukinya ya hutan belantara. Untuk menyeberangi sungai-sungai besar itu bus malam menggunakan getek … Nah, barulah di pinggiran getek mak-bruuulll … Begitulah, tidur di emperan berbantal ransel, tidak mandi dan sikat gigi, pakaian bau luar biasa. Dan ini bukan sekadar cerita-cerita Oliver Twist atau Si Jamin dan Si Johan, tetapi sungguh-sungguh konkret! Juga kebahagiaannya: kernet yang tahu kami ‘orang kelana dari Jawa’ sengaja minta sopir berhenti di tepi jalan di posisi tertinggi, agar kami bisa melihat Danau Toba dalam keutuhannya. Inilah pertama kalinya saya mendapatkan pengalaman bagaimana kenyataan bisa melebihi impian, bukan sebaliknya. Baru kemudian saya tahu Karl May menulis cerita-cerita pengembaraannya di dalam penjara. Lhah, di bukunya tertulis sebagai seri “Pengembaraan Dr. Karl May”, bagaimana seorang anak SD tidak akan percaya?

Pelajaran apa yang Anda dapat dari peristiwa ‘minggat’ itu?

Bagi saya hal terbaik bagi manusia ternyata bukanlah menjadi kaya, bahkan bukan pula menjadi pintar. Tapi ya mengembara itu. Yakni untuk selalu menemukan pengalaman baru. Dalam bahasa iklan yang pernah saya baca: find new dimension in time. Jadi spiritualisme saya bukan religiusitas, melainkan spiritualitas pengembaraan.

Banyak orang bertanya, kenapa sih Anda tak menuruni profesi orang tua?

Mungkin karena orang merasa seperti ada ‘kejanggalan’ yang disebabkan pandangan bahwa hierarki sosial fisika dan kedokteran ‘lebih tinggi’ daripada susastra. Sastra dianggap ‘bukan ilmu pengetahuan’, bahkan ‘cuma ngarang’, atau juga ‘cuma perlu bakat’. Saya kira kita tidak perlu mengukuhkan stereotip zero point semacam itu. Dalam kenyataannya, ilmu pengetahuan susastra pastilah termasuk yang paling tua dalam peradaban manusia. Artinya juga yang paling besar perbendaharaannya, karena semua bidang ilmu berasal dari dalam kandungannya sebelum menjadi semesta ilmu pengetahuan seperti sekarang.

Tapi memang ada anggapan begitu. Orang bingung kalau ada orang Indonesia belajar susastra Indonesia.

Hahaha, ya. Itu kan sama konyolnya dengan pertanyaan kenapa sudah punya tubuh masih perlu belajar anatomi dalam kedokteran? Tapi kalau saya bodoh dalam ilmu pasti alam dan ilmu tubuh manusia mungkin memang iya. Hahaha.

Anda jadi seniman siapa yang meracuni?

Hahaha ya. ‘Racun-racun kebudayaan’. Itu gara-gara lihat gaya para seniman gondrong seperti Ashadi Siregar, Emha Ainun Najib, dan Linus Suryadi AG yang ngomong ‘tinggi-tinggi’ di berbagai diskusi lesehan. Atau baca esai-esai Remy Sylado yang gokil di Aktuil, majalah musik pop dari Bandung—maka ya lebih tertarik jadi ‘seniman’-lah!

Dengar-dengar waktu itu Anda juga sempat berminat jadi pemain teater?

Di antara ‘racun kebudayaan’ yang memengaruhi saya adalah Rendra, terutama ketika melihatnya sebagai Jose Karosta dalam “Mastodon dan Burung Kondor” yang menimbulkan heboh dan sebelumnya dilarang main oleh Rektor di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Adalah penampilan Bengkel Teater di Sport Hall Kridosono malam itu, pada 24 November 1973, mungkin bukan sebagai ‘seni teater’, melainkan ‘posisi sosial’ yang dikesankannya, membuat saya setidak-tidaknya lantas merasa tahu ingin jadi apa. Seorang teman kelak mengajak saya bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar AN. Sehabis sekolah di Santo Thomas yang berakhir senja hari itu. Saya ikut latihan teater yang didominasi meditasi dan improvisasi. Setiap kali ada latihan produksi, yang berkumpul di sana setiap malam bukan hanya seniman-seniman, tapi para aktivis setengah klandestin, yang satu dua orang pernah ditahan sebentar setelah peristiwa Malari 1974. Perbincangan yang sering saya dengar membuat saya menjadi anak SMA yang pendiam, karena merasa nggak nyambung lagi dengan wacana remaja. Hehehe! Sok banget ya? Jadi saya ikut rombongan teater tanpa ambisi keaktoran, melainkan sebagai cara terlibat dengan kesenian, yang buat saya artinya waktu itu besar sekali. Lagi pula, dalam dua tahun ikut berteater, satu-satunya peran yang pernah saya dapat hanyalah peran ‘Orang Lewat’. Hahahaha!

Anda mendirikan Pabrik Tulisan? Bagaimana ceritanya? Apa misinya? Maunya apa?

Waktu itu terbitan Indie untuk buku puisi adalah stensilan, dengan kertas buram, yang dalam kaca mata masa itu pun sudah cukup mengenaskan. Jadi ide saya adalah kenapa tidak cetak offset dengan kertas HVS, meskipun cuma 100 eksemplar? Nggak ada misi apa-apa lagi.

Dari mana duitnya?

Hehe. Di rumah ada ruang cukup luas untuk ayah saya beternak ayam ras, saya kira yang pertama di Yogya. Banyak toko terkenal mengambil telur berkualitas di situ. Nah, saya mengambil satu keranjang setiap hari, dan jual sendiri dengan harga di bawah standar, biasanya ke redaktur koran, sampai cukup menutup ongkos produksi. Buku pertama Emha Ainun Nadjib (“M” Frustrasi) dan Linus Suryadi (Langit Kelabu) terbit dari Pabrik Tulisan lho!

Anda juga ikut memasarkan buku-buku itu?

Ya. Buku-buku itu saya edarkan ke took buku Gunung Agung, Hien Hoo Sing, Pembangunan, dan entah mana lagi naik Yamaha bebek. Cepat sekali ludasnya! Lumayan jadi tahu apa itu konsinyasi. Saya kira sampai 12 buku pun ada terbitannya. Lupa apakah semuanya modal telor.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Melani Budianta, menyebut Seno sebagai pendekar cerita (cerita pendek) Indonesia. Itu karena kemampuannya yang melompat dari genre satu ke genre lain. Dikenal sebagai penulis cerpen yang prolifik, Seno dengan lincah melompat ke cerita wayang kontemporer yang ditulisnya sejak di majalah Zaman pada 1980-an. Ia juga menulis cerita silat lewat novel tebalnya Nagabumi, plus cerita komik dan eksperimen novel-berpadu-komik dalam Kematian Donny Osmond.

Tulisannya beraneka ragam, mulai ulasan film, tulisan jurnalistik, sampai esai-esainya yang bertema urban. Sampai saat ini Seno telah menghasilkan ratusan cerpen yang dimuat di banyak media massa.

Cerpennya “Pelajaran Mengarang” terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerpennya, antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Karya lain berupa novel Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987, Seno mendapat Sea Write Award.

Karya sastra pertama Anda puisi?

Saya kira tulisan-tulisan pertama saya justru esai. Nggak ada yang dimuat karena nggak ada yang dikirim, super juelek! Baru sesudah itu bikin puisi-puisi mbeling untuk Aktuil, yang membuat saya diejek-ejek sebagai ‘penyair kontemporer’. Maka saya pun menulis beratus-ratus puisi untuk Horison, meniru-niru puisi Sapardi Djoko Damono, eh dimuat juga! Itu puisi-puisi yang saya buat waktu umur 17 tahun. Setelah dibukukan, dipuji-puji Bakdi Soemanto di majalah Semangat. Waktu saya bilang cuma meniru-niru, katanya, “Beda kok, Dik, saya kan membanding-bandingkan, itu orisinal.” Hmm. Syukurlah! Tapi meski masih menulis puisi sampai Reformasi 1998, saya tidak pernah memublikasikannya lagi.

Kenapa? Bukankah menurut Goenawan Mohamad, puisi bisa menangkap yang diam, yang tersembunyi, yang gelap?

Mungkin karena puisi lebih personal ketimbang cerpen ya, dan saya cukup pemalu untuk membuat yang personal jadi sosial. Tentu saya tidak lupa betapa puisi cinta Kahlil Gibran, bahkan juga Sapardi, begitu populer. Tapi saya tidak sreg saja soal personal diudal-udal di depan orang banyak kayak ‘status terselubung’. Padahal kebutuhan ngomong secara sosial semakin besar. Ini tidak berarti tidak ada yang personal dalam cerpen saya. Bahkan dalam kolom jurnalistik, yang paling sering saya tulis sekarang, yang personal pun tidak selalu terhindarkan. Namun formatnya jelas lebih tersosialisasi lagi ketimbang cerpen. Tapi ini juga tidak berarti cerpen tidak personal. Bukankah the personal is political?

Sebagai mahasiswa dan asisten dosennya selama dua tahun terakhir, saya pernah nanya: Mas, kenapa sih ketika Mas punya banyak aktivitas tapi Mas masih sempetin waktu nulis. Dia langsung ketawa, terkekeh, khas beliau. Dia jawab, ‘berarti level nulis kamu baru keinginan, belum keinginan banget. Kalau menulis sudah menjadi sesuatu, kamu baru akan tahu.’ Wah, saya ingat terus jawaban itu, dan rasanya benar. Saya pernah nanya juga gimana caranya Mas Seno meng-handle kejenuhan. Dia jawab sederhana: kalau aku jenuh ya aku nonton, aku pergi jalan-jalan…. Saya jadi makin takjub. Beliau keren, hebat. —Julita Pratiwi, Asisten Dosen SGA

Bagi saya, Mas Seno adalah jurnalis dan cerpenis yang menginspirasi. Sebagai jurnalis, ia rajin mengumpulkan remah fakta, bahkan untuk hal yang mungkin bagi sebagian jurnalis adalah remeh. Verifikasi, hal yang kini sungguh mahal (atau tepatnya malas) dilakukan. Sebagai cerpenis, saya belajar menulis surealis dari karya-karyanya. Karya SGA dan Iwan Simatupang adalah karya yang selalu saya baca ketika saya stag. —Titik Kartitiani, cerpenis, mantan sejawat wartawan

Apa sih keunggulan cerpen?

Betapapun, sosialisasi cerpen, saya kira lebih baik dari puisi. Ada ‘cerpen hiburan’ di tabloid misalnya, tapi nggak ada ‘puisi hiburan’ . Mana ada kan? Artinya bagi saya, posisi cerpen itu lebih efisien untuk berkomunikasi dibanding puisi, mengingat puisi saya bukan kritik sosial seperti Rendra.

Sebagai pengarang, apakah Anda merasa pesan-pesan yang ingin Anda sampaikan ke masyarakat cukup tersalurkan melalui apa yang Anda lakukan dengan menulis cerpen atau novel?

Bagi yang membacanya ya mudah-mudahan sampai. Masalahnya, siapakah Pembaca di Indonesia ini? Dari mereka, siapa yang membaca cerpen atau novel, dan dari pembaca susastra, siapa pula yang membaca saya? Hahaha. Tampaknya lebih banyak yang kenal saya daripada yang membaca buku saya.

Apa pentingnya menjadi seorang sastrawan di zaman serbaboleh dan demokratis di negeri ini di mana menjadi pengarang terkenal sekarang tak cukup hanya pandai protes?

Pasti ada alasan kenapa susastra masih terus ada, sejak munculnya aksara, ditatah di batu, diguratkan di lembar daun lontar dan gulungan kertas sejak ribuan tahun lalu. Masih 1001 penghargaan susastra. Masih ada diajarkan dari SD dan menjadi kajian S3. Pasti ada sebabnya. Film pun susastra visual bukan? Ke-susastra-an itu tetap integral dalam budaya visual, selama segenap penanda menjadi satu-satunya cara menerjemahkan ekspresi manusia.

Anda pernah membayangkan dunia kepenulisan seperti sekarang, di mana semua serbamudah?

Tidak ada dan tidak perlu ada yang menjadi mudah dalam pendalaman kualitas penulisan. Yang serbamudah pasti dangkal, dan itu tidak perlu, meskipun ternyata ada! Hahaha….

Bagaimana Anda melihat para pengarang masa kini, yang banyak menulis dengan tema dan gaya penulisan yang khas, pada cerpen anak-anak milenial?

Pengarang masa kini dalam umur yang sama dengan ketika saya mulai menulis, saya kira tulisannya lebih bagus daripada saya. Dalam berbagai penjurian dan kurasi untuk seleksi, terus terang tak jarang saya malah merasa minder dengan kecanggihan berbahasa para penulis muda ini. Makanya saya tak khawatir dengan masa depan susastra Indonesia.

Kalau ada yang dikhawatirkan dari susastra Indonesia, apa?

Saya lebih khawatir dengan karya para penulis lama yang terancam tidak akan pernah dikenal untuk selama-lamanya jika tidak dimilenialkan sekarang. Padahal pencapaian dan kontribusi sosial mereka tidak sembarangan. Pada masa lalu kan iklim politik susastra masih bermain dengan gagasan terpusat dan berstandar hierarkis dan tidak sedemokratis seperti hari ini. Susastra daerah, susastra lisan, naskah drama, juga termasuk tak akan pernah dikenal jika tidak dimilenialkan. Sandiwara radio yang sangat potensial juga dianaktirikan. Siapa yang masih kenal Firman Muntaco (penulis skets massa Betawi), Wiratmo Soekito (kolumnis politik dan kebudayaan), dan Sutardji Calzoum Bachri (penyair garda depan) hari ini?

Apa harapan Anda terhadap penulis-penulis muda?

Pengarang muda telah dilimpahi fasilitas dan kesempatan. Mereka baik-baik saja. Itu tadi yang saya katakan, yang saya khawatir justru nasib para senior. Karya para senior, terutama yang sudah anumerta, mesti dikurasi dan dipublikasikan dengan adil, supaya tetap berkontribusi dan bisa dimanfaatkan hari ini.

Pada usia 19 tahun, Seno menikah, dan pada tahun itu juga Seno masuk IKJ, jurusan sinematografi sembari bekerja sebagai wartawan lepas di harian Merdeka. Selanjutnya ia bekerja sebagai wartawan mingguan Zaman, dan bersama Noorca M. Massardi, Yudhistira ANM Massardi dan Kurniawan Junaedhie, pada tahun 1985 Seno mendirikan majalah berita bergambar Jakarta-Jakarta. Selama kuliah di IKJ, ia menerbitkan sebuah majalah kampus yang bernama Cikini dan majalah film yang bernama Sinema Indonesia. Terakhir, pada 2014, dia meluncurkan blog bernama PanaJournal —www.panajournal.com tentang cerita-cerita human interest bersama sejumlah wartawan dan profesional di bidang komunikasi.

Saat menjadi wartawan itulah Seno banyak menulis tentang situasi di Timor Timur yang saat itu tengah bergolak. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkan dalam trilogi buku Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (roman), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai). Buku Saksi Mata sendiri adalah perwujudan dari kredo Seno yang pernah sangat terkenal pada 1990-an, “Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra harus bicara.” Juga berkat cerpennya “Saksi Mata”, Seno memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997.

Pada tahun 2012 Seno juga memperoleh Penghargaan Achmad Bakrie 2012. Tapi ayah satu anak ini menolak penghargaan berhadiah uang tunai Rp. 50 juta tersebut. Ketika ditanya apa alasannya, ia hanya menjawab, “Ada deh.” Dalam kesempatan lain, meski tak menjawab secara gamblang, ia mengakui, dirinya tidak bisa terus-menerus di menara gading. “Ada kalanya saya harus turun (dari menara gading). Ada titik tertentu saya tidak bisa menghindar lagi (dari politik). Sehingga (aktivitas melalui) tulisan saja tidak cukup.”

Anda mengikuti perkembangan politik?

Ya, tentu saja. Saya selalu baca koran. Tahu perkembangan meski sedikit. Misalnya, saya tahu apa itu ‘kecebong’, apa itu ‘kampret’. Hahaha. Kolom yang saya tulis di Tempo, sekarang ini, dan dulu di rubrik ‘Suara dari Palmerah Selatan’ Jakarta-Jakarta itu kan juga politik. Ada saatnya memang (seorang sastrawan) harus turun (dari menara gading). Tulisan saja tidak cukup.

Rendra menyebut seniman berumah di angin. Artinya netral, tidak berpihak. Bagaimana dengan Anda?

Hahaha. Mana ada sih yang disebut netral dalam politik? Netral itu kan cuma struktural. KPU atau Bawaslu itu netral kan karena struktural. Kalaupun netral, itu juga merupakan sikap politik. Tapi mana ada sih yang tak berpihak? Tuhan saja berpihak. Hahaha. Pada dasarnya manusia itu memihak, tidak bisa netral karena hati nurani. Mosok sih kita dianiaya diam saja, kita tahu ada kebatilan kita berpangku tangan? Ada kalanya memang dunia politik menyentuh kita, sehingga saya atau kita (sebagai sastrawan) harus bersikap.

Bagaimana Anda menyalurkannya?

Jurnalisme saya tetap jalan dengan kolom-kolom politik baik di Koran Tempo maupun PanaJournal.com kan? Bahkan untuk yang terakhir ini saya masih memotret dan melakukan wawancara. Belakangan Dewan Pers memberikan sertifikat Wartawan Utama, lengkap dengan kartu persnya, tanpa saya pernah minta maupun ujian. Nah, gimana tuh? Saya wartawan bukan? Hehehe.

Di tengah kesibukan, masih suka nonton film?

Kalau nonton bagi saya sama dengan membaca. Rutin. Terlanjur dianggap kritikus film sih, jadi merasa wajib nonton sebanyak-banyaknya sesempatnya. Hahaha

Minat pada fotografi masih?

Masih. Kamera itu membuat saya pergi keluar, membuat mata saya memandang, membuat mata saya bekerja. Saya memotret sebagai bagian traveling menjamin saya tetap bekerja, karena saya memotret dengan mental fotografer.

Olahraga?

Saya berenang dan juga traveling sebagai antitesis kesibukan indoor saya. Seminggu paling dua tiga kali. Itu sudah cukup.

Apa yang sudah tidak Anda lakukan sekarang?

Membaca yang enjoy, kayak puisi dan fiksi, sudah hampir hilang dari hidup saya. Yang tinggal ya membaca yang wajib sebagai pengajar, karena perkembangan ilmu tidak pernah berhenti. Makanya permintaan jadi juri novel, film, misalnya, saya manfaatkan sebaik-baiknya sebagai penelitian gratis. Yang terbaik adalah menjadi tahanan rumah, jadi cuma bisa membaca, hahaha! Tapi itu tidak akan terjadi karena sudah reformasi dan saya tidak tertarik untuk terlibat organisasi apa pun, terutama politik.

Kapan waktu yang pas Anda menulis?

Saya menulis seperti bernapas. Artinya segenap sistematika kehidupan saya adalah kehidupan seorang penulis, yang hidupnya selalu dalam arah menuju penulisan. Menulis itu bukan ketika ngetik saja. Proses menulis itu berlangsung setiap saat selama masih hidup. Itulah kehidupan seorang penulis. Itu sebabnya saya bilang saya menulis seperti bernapas.

Bagaimana Anda melihat pembaca buku masa kini?

Mereka meski bersyukur bahwa buku itu ada, yang juga berarti ada yang menulisnya! Syukurlah! Mungkin itu sebabnya saya kadang-kadang mendapat ucapan terima kasih padahal saya merasa nggak ngapa-ngapain. Haha! Saya kira, mesti buku kertas disebut akan punah, masih ada, bahkan banyak penulis bisa hidup dan menjadi kaya, malah tambah kaya setiap saat karena bukunya. Buku elektronik namanya tetap buku toh? Bukan buku itu sendiri yang penting, tetapi bahwa pikiran manusia masih dianggap penting dan dihargai. Di Indonesia, inilah masa sosialisasi terbaik bagi buku, yang belum pernah terjadi dalam dunia perbukuan di Indonesia.

Anda berpuisi, mengamati komik, kritikus film, menulis cerpen, novel dan esai, wartawan, kemudian akademisi. Bagaimana kita menyebut Anda sebaiknya?

Seniman, wartawan, akademisi, apa sih semua itu? Saya lebih suka bebas dari politik identitas yang memenjarakan diri sendiri. Hahaha

Anda sekarang jadi tokoh idola di kalangan milenial. Pernah terpikirkan? Anda menikmatinya?

Idola? Mana mungkin. Saya kira pendapat bahwa jika mengagumi karya seseorang, tidak perlu mengagumi pula orang itu adalah benar. Karena biasanya pasti akan kecewa. Siapa pun dia, termasuk saya, pastilah cuma manusia biasa—dan menjadi manusia biasa itu lebih enak ketimbang ngepas-ngepasin diri sebagai idola. Hehe!

Anda juga sering disebut sebagai Sukab. Anda merasa pas dengan sebutan itu?

Sukab itu tokoh fiksi, tapi tidak fiktif. Betapapun penulis sebaiknya dipisahkan dari tulisannya, karena meskipun tulisannya dahsyat, penulisnya pasti manusia biasa—dan manusia adalah tempat kesalahan bukan? Nanti malah kecewa.

Menjelang pukul 16.00 Waktu IKJ, Seno sudah ditunggu mahasiswa pascasarjananya di ruang kuliah. Isyana, sang sekretaris sudah mulai main mata, dan gelisah. Kami tahu diri dan berpamitan. Ia mengantar kami sampai ke anak tangga.

Masih mau ke mana lagi pengembaraan Anda?

Ke mana pun yang belum pernah saya injak. Saya sudah sampai ke Gurun Sahara dan Gurun Gobi, tapi belum pernah ke Badui dan Karimun Jawa. Ke Pacitan saja saya belum pernah. Syukurlah masih selalu ada alasan untuk berangkat ke suatu tempat entah di mana.

Seno, sang pendekar kata-kata itu kembali memasuki dunia pengembaraannya. ***

.

(Sumber wawancara: MAJAS | Majalah Sastra & Gaya Hidup No 1 Vol 1 / November 2018)

.

Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma.

  • 1
  • 2
  • 3
  • ...
  • 6
  • Next →
  • error: Content is protected !!