SEBUAH PROLOG
CERITA REMAJA merupakan sebuah genre cerita pendek yang sedari awal penulisannya memang sengaja ditulis dan ditujukan khusus kepada pembaca remaja.
Eit, tetapi bukan berarti para alumni-remaja atawa bapak-bapak-ibu-ibu-om-tante sekalian gak boleh baca loh. Boleh-boleh saja. Sekalian bernostalgia hihihi…
Umumnya cerita remaja berkisah tentang kehidupan remaja, mulai dari aktivitas sehari-hari, dunia sekolah, kisah cinta-monyet, persahabatan, dan berbagai masalah perkembangan remaja hingga konflik keluarga—yang kadang meruncing serius.
Istilah cerita remaja kini juga jamak disebut cerita teenlit.
Untuk penjelasan lebih detail terkait teenlit, bagi yang berkepentingan, silakan kulik di bagian bawah laman ini.
Dengan senang hati, RUANGSASTRA.COM mendokumentasikan ratusan contoh cerita remaja yang pernah diterbitkan sejumlah media massa dan majalah di seluruh Indonesia.
Antara lain harian Analisa & Waspada – Medan, Haluan & Rakyat Sumbar – Padang, Kedaulatan Rakyat & Minggu Pagi – Yogyakarta; Majalah Remaja Islami Annida – Jakarta, Story Teenlit Magazine – Jakarta, dan lainnya.
Selamat datang!
Dan, selamat bertamasya di dunia remaja yang penuh warna!
—
—
SASTRA REMAJA (TEENLIT) SEBAGAI MEDIA ALTERNATIF DALAM MENINGKATKAN BUDAYA LITERASI
Oleh Ninawati Syahrul – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Abstract.
The presence of adolescent literature—known as teenlit—is a necessity so loved by the teenagers. As one of the literary genres, teenlit seems to be not too complicated. In addition to the story plot that is easy to trace, the style of language is “lively” and the content is centered around teenage world. Teenlit spreading on social media online always gets variety of responses. In short, teenlit is a phenomenon in the adolescent literature. Issues discussed in this study can be formulated as whether teenlit can be used as a medium to improve the literacy culture among adolescents? This research aims to examine and explore how far teenlit can be used as a medium to improve the literacy culture among adolescents. To that end, to teach and appreciate the teenlit literature, teacher should use methods that are varied and close to adolescent life: discussion, questioning, simulation, or the like. Such contextual approaches are the key element in popularizing teenlit for the learner’s life. The results of the study indicate that teenlit can be used as an alternative media in increasing the literacy of learners. Literacy not only means to be able to read, but also able to understand the contents of the reading. Thus, the moral message—seventeen commendable characters, including tolerance and unity in diversity, as promoted by by the Government, will be reflected in the actions and behavior of adolescents in the future.
Keywords: teenlit, learning, literacy culture, adolescent
PENDAHULUAN
Sastra remaja atau teenlit adalah karya fiksi yang isinya mencerminkan kehidupan sosial para remaja. Teenlit mengangkat permasalahan yang tidak rumit dan penyajiannya sederhana (Mahmud, 1987:2). Teenlit merupakan salah satu sastra populer yang memiliki banyak peminat dan kedudukannya patut untuk diperhitungkan, dengan ciri karakter isi yang tidak rumit dan cenderung santai. Sastra populer mulai dianggap sebagai bidang studi yang sungguh-sungguh (Dewojati, 2010:10). Bahkan, studi mengenai sastra populer mulai banyak dilakukan, baik yang menghasilkan kritik akademik maupun kritik nonakademik. Hal tersebut mengakibatkan muncul genre baru dalam dunia sastra populer, seperti teenlit. Teenlit dapat pula disebut sebagai sebuah karya sastra. Menurut (Wellek dan Warren, 2014) memberikan batasan sastra sebagai segala sesuatu yang tertulis dan tercetak. Teenlit merupakan sebuah karya yang tertulis dan tercetak. Dengan demikian, teenlit termasuk sebuah karya sastra.
Sastra populer lahir kemudian menjadi bacaan dengan banyaknya jumlah pembaca disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu pembaca dengan latar belakang pendidikan menengah ataupun pendidikan dasar meningkat pada tahun 1970-an (Dewojati, 2010: 6). Sekali memulai menghadapi sastra sebagai praktik komunikasi yang memiliki akar sosial dan historis maka kita sama sekali tidak dapat mengesampingkan dunia fiksi yang mengendalikan khalayak luas tersebut. Kajian sastra populer menjadi penting karena dapat menghadirkan kaitan antara bidang sastra dengan bidang seni lainnya.Menurut Endraswara (2011: 126), pembaca awam memiliki peranan penting terhadap makna teks, yang terkadang lebih objektif dan polos dan prisinil dalam penilaian karya sastra menurut pengetahuan dan visinya yang belum terkontaminasi dengan teori.
Teenlit, seperti halnya novel yang bukan kategori novel remaja, memiliki unsur intrinsik yang akan menentukan kualitas kesastraan dari novel tersebut. Menurut Priyatni (2010:110), unsur intrinsik prosa fiksi meliputi tema, amanat, tokoh dan penokohan, alur atau plot, latar, gaya bahasa, serta sudut pandang. Ketujuh unsur inilah yang mempunyai peran penting dalam penciptaan prosa fiksi. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren (2014) menyatakan bahwa ketujuh unsur tersebut merupakan unsur yang membangun prosa fiksi.
Selain itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa amanat juga termasuk dalam unsur intrinsik karena amanat erat kaitannya dengan tema (Suroto, 1989:89). Selain unsur instrinsik, prosa fiksi juga memiliki unsur ekstrinsik, yakni unsur yang berada di luar tubuh karya sastra (Suroto, 1989:138). Secara sederhana, unsur ekstrinsik tidak ada dalam penyusunan kerangka prosa fiksi. Namun, unsur tersebut disertakan dalam prosa fiksi. Unsur ekstrinsik yang dapat digunakan untuk melihat potensi prosa fiksi yang sesuai untuk media alternatif untuk meningkatkan budaya literasi adalah nilai karakter dan biografi pengarang.
Salah satu keluhan guru terhadap pembelajaran sastra di sekolah hingga saat ini adalah yaitu rendahnya minat membaca peserta didik. Kenyataannya, teenlit telah mampu membuktikan pengaruh positifnya bagi para remaja Indonesia, khususnya pada minat untuk membaca karya sastra. Hal ini dapat dilihat pada hasil sebuah survei yang dimuat dalam harian Republika bahwa teenlit telah mampu meningkatkan minat membaca para remaja khususnya remaja putri (Kusmarwanti, 2005). Minat membaca tersebut umumnya muncul karena teenlit merupakan bacaan ringan, mudah dimengerti, dan bercerita tentang berbagai hal yang akrab dengan kehidupan sehari-hari mereka, seperti percintaan, persahabatan, dan berbagai masalah perkembangan remaja.
Salah satu teenlit hasil karya novelis muda Indonesia yang dianggap sebagai pemula lahirnya genre baru di dunia sastra Indonesia adalah teenlit yang berjudul Dealova (2004). Dealova menceritakan sebuah perjuangan cinta seseorang yang tidak pernah pudar, walaupun orang yang dicintainya lebih memilih yang lain. Anggapan tersebut muncul karena Dealova dinilai sebagai teenlit pertama karya novelis muda Indonesia, Dyan Nuranindya, yang bukan karya terjemahan. Karena popularitasnya, Dealova kemudian diangkat menjadi sebuah film dengan skenario yang ditulis oleh Hilman Hariwijaya.
Dealova menarik karena beberapa hal: karakter tokoh utama sangat kuat, ceritanya menarik karena diselingi dengan komedi, konfliknya yang tidak terduga sehingga terkesan seru, ceritanya relevan dengan kehidupan remaja zaman sekarang, serta alur ceritanya jelas, di samping bahasa anak muda yang mudah dipahami pembaca. Cerita teenlit ini saling berkaitan dan semuanya bagus. Kesetiakawanan dalam cerita ini terlihat jelas. Kelemahan Dealova adalah alur cerita yang sangat mudah ditebak dan konflik yang terlalu pendek sehingga pembaca kurang dapat menikmati cerita dan bahasa yang kurang tertata.
Teenlit merupakan salah satu hasil kreativitas manusia yang memberikan alternatif kepada pembaca untuk menyikapi hidup karena tokoh dalam teenlit pada umumnya mencerminkan persoalan kehidupan manusia. Soemardjo (1995:8) mengemukakan manfaat karya sastra, di antaranya; (1) dapat memberikan kebenaran hidup; (2) mampu memberikan kepuasan dan kegembiraan batin; (3) dapat memenuhi naluri manusia yang butuh keindahan; dan (4) memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang diketahui dan menolong pembaca menjadi manusia yang berbudaya. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk menganalisis teenlit ini lebih mendalam.
Permasalahan dalam Dealova juga sangat menarik untuk diketahui dan diteliti, salah satunya adalah budaya dasar tokoh yang dominan. Dealova berbicara tentang realitas dan aspek budaya dasar manusia dan cinta kasih, yaitu aspek budaya dasar manusia dan harapan. Ini tercermin pada tokoh yang bernama Karra yang ditaksir oleh Dira, anak baru di sekolahnya. Teenlit ini sangat cocok dibaca oleh remaja di bawah bimbingan guru dan orang tua, namun tidak dianjurkan untuk anak usia sekolah dasar dan menengah, karena bertema cinta dan asmara yang dapat berpengaruh buruk pada anak-anak.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: apakah teenlit dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan budaya literasi di kalangan remaja? Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menggali seberapa jauh teenlit dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan budaya literasi di kalangan remaja. Penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan sikap positif siswa dalam mengapresiasi karya sastra. Jika sikap apresiasi tumbuh, dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran sastra tercapai.
LANDASAN TEORI
Teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah mengenai pengertian dan perkembangan teenlit. Secara etimologi, teenlit adalah akronim dari dua kata dalam bahasa Inggris, yaitu teenager (‘belasan tahun’) dan literature (‘kesusastraan’). Mengacu pada pengertian tersebut, teenlit dapat diartikan sebagai bacaan yang bersegmentasi remaja (belasan tahun) yang mengangkat kehidupan remaja.
Sebetulnya, teenlit bukanlah fenomena baru dalam sastra. Sejarah sastra Indonesia mencatat adanya sebuah periodisasi bacaan sejenis teenlit pada tahun 1960-an yang disebut ‘roman picisan.’ Di tahun 1980-an berkembang pula novel serupa ini dan disebut ‘novel populer.’ Pada tahun 2000 muncullah istilah teenlit. Siklus dua puluh tahunan kemunculannya tampaknya membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Teenlit adalah suatu fenomena dalam khazanah sastra populer yang menjadi cikal-bakal teenlit. Menurut Sumardjo (1995:6-7), sastra modern di Indonesia berasal dari kebudayaan Barat. Sastra Barat yang berpengaruh di Indonesia adalah sastra Barat dalam perkembangan mutakhirnya pada abad ke-19 yang telah mengembangkan sastra populer di lingkungan kaum remaja yang meniru sastra kaum borjuis yang lebih terpelajar. Membicarakan teenlit tentu tidak dapat lepas dari teenlit untuk kaum perempuan yang lebih belia, seusia murid SMP-SMA.
Di Indonesia sendiri, teenlit tidaklah muncul secara tiba-tiba. Pada Desember 1986 muncullah novel remaja, Tangkaplah Daku kau Kujitak karya Hilman Hariwijaya diterbitkan oleh PT Gramedia. Novel remaja yang amat populer dan laku keras ini mengisahkan seorang remaja laki[1]laki SMA bernama Lupus dalam menjalani hari-harinya.
Penerbitan ini kemudian diikuti beberapa serial Lupus lain seperti buku keduanya, “Cinta Olimpiade‟ yang beredar pada Februari 1987. Lupus dinilai sebagai salah satu novel remaja yang berkualitas yang merepresentasikan hal-hal yang menarik khas remaja pada eranya dengan gaya tutur yang ringan dan bahasa yang santai khas remaja. Gaya bertutur Lupus mudah diapresiasi tanpa melupakan kualitas. Daya tarik utamanya adalah bahwa tokoh Lupus yang digambarkan antihero dianggap sebagai sesuatu yang baru pada waktu itu. Hilman tidak menggambarkan Lupus sebagai sosok ideal seorang remaja yang rajin, tampan, alim maupun pintar, melainkan remaja pada umumnya, lengkap dengan kekonyolan dan kesalahan. Kebersahajaan tokoh utama Lupus yang tidak menggurui diminati oleh para remaja yang sebagian besar sedang dalam masa pencarian jati diri dan tidak mau terintimidasi. Bentuk penulisan dalam Lupus adalah cikal-bakal penulisan teenlit yang berkembang saat ini. Kepopuleran Lupus diikuti oleh serial Olga, juga karya Hilman Hariwijaya, pada awal 1990-an. Meski serupa dengan Lupus dalam kisah keseharian seorang remaja SMA, Olga memiliki tokoh sentral perempuan yang bernama Olga.
Sejak hilangnya Lupus praktis tidak ada lagi karya sejenis di Indonesia, hingga muncullah Dealova karya Dyan Nuranindya. Kelebihan novel ini terletak pada gambaran detail terhadap segala sesuatu yang menyangkut tokoh dan peristiwa meski alurnya biasa saja. Sejak April 2004, Dealova telah memasuki cetakan kelima. Munculnya Dealova diikuti oleh Cintapuccino, Me versus High Heels (Aku vs Sepatu Hak Tinggi) dan karya sejenis lainnya. Kesuksesan karya tersebut antara lain karena mempunyai ciri-ciri sebagai novel remaja, yakni: tunduk kepada selera pasar, alur yang dibuat sederhana, lebih mudah dibaca dan dinikmati, adanya tokoh ideal, dan bahasanya komunikatif.
Kajian mengenai teenlit sangatlah luas, termasuk di dalamnya adalah segmentasi pembaca. Maraknya penerbitan teenlit, menunjukkan peningkatan minat membaca masyarakat. Ada saatnya pergeseran minat pada pembaca muncul secara alamiah ketika seorang pembaca selesai dengan satu novel yang dibacanya. Apabila pembaca tersebut pada awalnya memilih novel sejenis teenlit maka kemudian, setelah “asa kesastraannya‟ terpuaskan, pembaca tersebut pun akan beralih dan memilih jenis novel yang berkadar lebih “berat‟ dibandingkan bacaannya semula, seperti memilih novel karya Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami, ataupun karya lainnya sekelas Pramudya Ananta Toer, Danarto, Budi Darma, dan lain-lain. Oleh karena itu, banyaknya teenlit yang beredar bukan merupakan suatu ancaman dan pembandingannya dengan sastra serius merupakan hal yang tidak perlu.
Fenomena teenlit memberi dampak positif, setidaknya dalam dua hal. Pertama, keberhasilan para penulis dapat mendorong siapa saja untuk mulai mengikuti jejak mereka. Kedua, fakta bahwa beberapa teenlit berawal dari sebuah buku harian bisa menegaskan kembali bahwa menulis tidaklah serumit yang dibayangkan semula.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dari 1 Maret 2017 sampai 30 Juli 2017, di Badan Pengembangan dan Pembinaan Jakarta. Penelitian bersifat deskriptif, dengan cara pengumpulan data menggunakan sumber data yaitu Dealova karangan Dyan Nuranindya, yang diterbitkan tahun 2005 oleh penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Informasi didapat dari hasil cerita pada teenlit terkait yang selanjutnya sebagai data. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan melakukan interpretasi, dideskripsikan dan kemudian dianalisis. Dalam usaha mencapai maksud yang telah ditentukan diperlukan teknik penelitian, yaitu teknik menganalisis data.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk keperluan itu adalah sebagai berikut. Pertama, mengadakan studi kepustakaan. Langkah ini dilakukan untuk memilih dan membaca teenlit Dealova dengan ancangan literasi kritis dan dipahami isinya kemudian dibuat sinopsisnya untuk mendapatkan data yang menyangkut menyuarakan ide tentang fakta sosial remaja. Kedua, mengiventariasi data dari teenlit sebagai media alternatif meningkatkan literasi dengan mempergunakan beberapa kriteria meliputi: unsur instrinsik dan ekstrinsik. Ketiga, mengidentifikasi data yang diperoleh dari pemahaman unsur instrinsik dan ekstrinsik inilah akhirnya memberi makna terhadap hasil analisis. Keempat, merumuskan simpulan penelitian tersebut yaitu membaca teenlit dengan ancangan literasi kritisteenlit dapat dijadikan media alternatif dalam meningkatkan literasi peserta didik dan mampu memahami isi bacaan akan tecermin dalam tindak dan perilaku kaum remanja pada masa yang akan datang.
TEMUAN DAN ANALISIS
Eksistensi Teenlit dan Minat Membaca pada Remaja
Tidak dapat dipungkiri, kehadiran sastra remaja yang lebih populer dengan teenlit memang cukup memengaruhi minat membaca para remaja. Remaja yang kurang menyukai bacaan berat (sastra serius) memang lebih banyak meminati bacaan teenlit, karena karya jenis ini memang lebih ringan dan mudah dicerna dengan bahasa yang tidak berat dan rumit. Mayoritas remaja mengakui, kegemaran mereka terhadap teenlit disebabkan cerita dan bahasanya yang memang dekat dengan dunia mereka. Fakta bahwa sebagian besar pengarang teenlit sendiri masih remaja, atau paling tidak anak muda menyumbang kepada bercerita yang fasih tentang lika-liku kehidupan remaja sehingga para remaja yang membaca karya mereka merasa dekat dan akrab.
Dealova karya pengarang muda Dyan Nuranindya tercatat sebagai salah satu pelopor teenlit asli (non terjemahan) yang diterbitkan Gramedia. Teenlit ini terbilang sukses, terutama setelah difilmkan dengan judul sama “Dealova”. Jelaslah bahwa potensi yang dimiliki para penulis lokal tidaklah kalah dengan para penulis luar dalam meraih pasar dalam negeri. Setelah kesuksesan Dealova, geliat penerbitan novel dengan genre teenlit ini makin bersemangat, dengan tema seputar cinta dan pernak-pernik dunia remaja, dan problematika kehidupan remaja, semangat berprestasi dengan penggambaran tokoh yang pintar, kesetiaan dalam persahabatan. Terlepas dari kritikan tentang aspek mendidik teenlit pada remaja, pertumbuhan minat baca di kalangan remaja adalah nyata dan harus disambut dengan baik dan diharapkan semakin menambah wawasan intelektual dan pengalaman hidup remaja.
Eksistensi Teenlit dan Minat Menulis pada Remaja
Fenomena teenlit membuka wawasan bahwa aktivitas menulis dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk penulis pemula, bukan semata milik kalangan elit yang berkemampuan lebih. Prosa fiksi teenlit banyak ditulis oleh para remaja putri belia yang juga adalah para penulis pemula. Menurut Wicaksono (2014:29-30), menulis merupakan sarana pengembangan daya pikir atau nalar dengan mengumpulkan fakta, menghubungkannya, kemudian menarik simpulannya. Menulis dapat memperjelas sesuatu kepada diri penulis karena gagasan-gagasan yang semula masih berserakan dan tidak runtut di dalam pikiran, dapat dituangkan secara runtut dan sistematis.
Fenomena teenlit menunjukkan bahwa telah ada pergeseran posisi remaja yang sebelumnya hanya pembaca dan penikmat sastra, kini mereka berkreasi dan berimajinasi mengisahkan dunianya sendiri, karena merekalah yang paling tahu cara berkomunikasi di dalam dunianya. Selain itu, kreativitas remaja dalam menulis juga dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam karya mereka, yaitu bahwa remaja cenderung ingin bebas membentuk konvensi kebahasaan yang mereka ciptakan sendiri. Secara umum, ciri kebahasaan remaja dalam teenlit adalah penggunaan gaya bahasa lisan dalam bahasa tulis. Bahasa gaul dan bahasa tren dalam dunia remaja pun masuk dalam karya mereka. Mereka juga secara bebas mencampurkan bahasa Inggris di dalam kalimat yang berbahasa Indonesia.
Merebaknya teenlit dari tangan para remaja dan penulis pemula ini membawa satu pertanyaan besar, yaitu dari mana dan bagaimana mereka belajar menulis. Pertanyaan itu pun memunculkan pertanyaan lanjutan, yaitu apakah sekolah, mengingat para penulis ini banyak lahir dari bangku sekolah, memiliki peran terhadap kemampuan menulis yang mereka miliki.
Para penulis teenlit, di antaranya Dyan Nuranindya, Gisantia Bestari, Maria Adelia, dan Sasya Fitriana, mengatakan bahwa mereka tidak mengikuti pelatihan secara khusus untuk menulis, melainkan belajar sendiri dengan kebiasaan menulis buku harian dan corat-coret di buku sendiri. Hal ini mendukung pandangan bahwa menulis itu sebuah keterampilan, bahwa latihan menghasilkan kemahiran dan mutu tulisan. Terkait dengan peran sekolah, maka guru dapat memberi kesempatan dan kebebasan yang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk menulis, tanpa harus diikat oleh tema dan aturan penulisan yang dipandang menjemukan. Sekolah dapat berperan menumbuhkan minat membaca melalui penyediaan sarana, yaitu buku bacaan, yang memadai, karena budaya menulis tidak dapat dilepaskan dari minat baca.
Teenlit sebagai Media Pembelajaran Sastra dan Cermin Budaya Remaja
Salah satu asumsi keberhasilan pembelajaran adalah keterlibatan aktif peserta didik dalam proses belajar. Keterlibatan ini amat dipengaruhi oleh rasa nyaman peserta, salah satunya, karena kesempatan untuk memilih aktivitas yang mereka kenal dan penghargaan terhadap inisiatif tersebut. Teenlit dapat digunakan sebagai media pembelajaran karena teenlit akrab dengan peserta didik, baik dari segi isi dan bahasanya, peserta didik akan merasa lebih nyaman, terlebih apa apabila teenlit itu merupakan pilihannya sendiri.
Menurut Riana, (2016: 137) teenlit dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran apresiasi sastra. Teenlit dapat digunakan sebagai media pembelajaran sastra di sekolah karena ciri-cirinya sebagai berikut. Pertama, analisis unsur intrinsik karya teenlit dapat dilakukan karena, dari segi struktur bentuk, teenlit memiliki unsur intrinsik yang serupa dengan karya sastra yang lain, yaitu tema, amanat, tokoh dan penokohan, alur, plot, gaya bahasa, latar, dan sudut pandang. Kedua, pembelajaran tentang nilai-nilai moral dapat dilakukan, yaitu bahwa peserta didik dapat menemukan dan mengkritisi nilai-nilai moral yang terkandung dalam kisah-kisah seputar kehidupan remaja dalam bacaan teenlit. Ketiga, gaya bahasa teenlit yang cenderung ringan, sederhana, tidak baku namun komunikatif (Yudhiasari, 2005), dan sering terdapat campur kode dengan bahasa lain, dapat digunakan pula sebagai pembelajaran analisis bahasa. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat dalam dua kutipan novel berikut.
“So, I’m a lucky girl. Jarang lho, Dio minta maaf sama cewek. Dia kan paling dingin kalo sama cewek. Lo tau kan, banyak banget cewek yang cari muka di depan dia, banyak cewek yang berebut jadi pacar dia, tapi dia nggak nanggepin, kan?”
“Ya ampuuunn, Asa sayang. Sehari sekali juga udah cukup, toh gue juga udah minta maaf, jangan sinis gitu dong. Asli deh, gue nggak boong! This is a good news for us, would you listen?” (Nuranindya, 2005)
Peserta didik diharapkan mampu mendata pemakaian bahasa yang tidak baku dan mencoba untuk mengkoreksinya menjadi bahasa yang baik dan benar, baik secara pribadi maupun melalui forum diskusi kelompok. Dengan demikian, teenlit dapat digunakan sebagai suatu media alternatif yang lebih menyenangkan dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dari sini diharapkan tumbuh kepekaan dan kemudian kecintaan kepada karya sastra bermutu yang sering mereka anggap sebagai karya sastra yang “berat.”
Gaya bahasa tidak baku, gaul, khususnya dialek Jakarta, yang dihadirkan dalam gaya bertutur buku harian, adalah aspek yang menonjol dalam teenlit. Gaya bahasa demikian lebih membangkitkan keterlibatan para pembacanya, dan mencerminkan budaya remaja, yang sedang dalam masa kritis pencarian jati diri. Sejumlah “teenlit” memberikan alternatif pencarian identitas diri, mulai yang normatif, sampai yang memberontak, sehingga pembaca dapat mempertimbangkannya sebagai salah satu pilihan identitas diri (Santoso, 2005).
Berkaitan dengan pemanfaatan teenlit sebagai media pembelajaran sastra di sekolah, diperlukan pendekatan dan metode yang tepat sesuai karakteristik peserta didik, dalam hal ini, pendekatan kontekstual tentu lebih tepat karena media yang digunakan adalah sesuatu yang dekat dan akrab dengan siswa.
Membaca Teenlit dengan Ancangan Literasi Kritis
Membaca teenlit dengan ancangan literasi kritis akan membangun kesadaran kritis pembelajar bahwa materi dan pesan dalam teks novel yang dibaca mengandung bias yang mewariskan fakta sosil dan kesadaran sosial. Membaca teenlit dengan ancangan literasi kritis ini dilakukan dengan langkah berikut. Pertama, memilih teenlit yang akan dibaca. Teenlit yang dipilih adalah Dealova yang menyuarakan ide tentang fakta sosial remaja. Kedua, membaca teenlit yang telah dipilih tersebut dengan cermat, membuat sinopsisnya, memahami isi dan unsur instrinsik dan ekstrinsiknya. Dari pemahaman unsur instrinsik dan ekstrinsik inilah akhirnya ditemukan dan dikupas pola bahasa yang menyuarakan ide tentang fakta sosial remaja.
SINOPSIS DEALOVA
Dealova menceritakan tentang seorang gadis yang duduk di bangku SMA yang bernama Karra, gadis tomboi pemarah yang jago basket, namun bertampang manis dan santai. Karra memiliki seorang kakak lelaki bernama Iraz yang bersahabat dengan Ibel, cowok yang jago bermain gitar, penggemar warna biru, dan yang menunjukkan perhatian kepada Karra. Menganggap Ibel sebagai kakak, Karra mengabaikan perhatian Ibel, dan mau ditaksir oleh Dira, anak baru sekolah yang jago basket dan yang sempat dibencinya. Namun ketika cinta Karra mulai berkembang terhadap Dira, ia pergi untuk selamanya. Dalam kesedihan dan kesepian, Karra akhirnya menyadari perhatian Ibel. Karra pun jatuh cinta pada Ibel, dan mereka saling mencintai.
UNSUR INSTRINSIK TEENLIT DEALOVA
Secara umum, teenlit mempunyai unsur yang membangun dari dalam teenlit itu sendiri (intrinsik) dan unsur yang memengaruhi penciptaan teenlit dari luar (ekstrinsik). Unsur intrinsik sebuah teenlit adalah unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah teenlit berwujud. Dilihat dari sudut pembaca, unsur cerita inilah yang akan dijumpai ketika membaca sebuah teenlit. Unsur intrinsik Dealova sebagai berikut.
Tema
Setiap cerita rekaan mempunyai tema, yaitu gagasan, ide pokok, atau persoalan yang menjadi dasar cerita yang ingin disampaikan pengarang (Pratiwi, 1991:53). Tema pada umumnya disampaikan secara berangsur-angsur tersembunyi, dan tidak berterus terang. Cara sederhana untuk menemukan tema adalah dengan membuat ringkasan teenlit, kemudian menyusun rincian beserta alasan mengenai hal yang ingin dicapai oleh tokoh protagonis. Alur, penokohan, dan latar saling berhubungan dan berfungsi untuk mengonklusikan tema dan amanat. Tema Dealova adalah rasa benci yang berubah menjadi cinta. Perhatian, rasa sayang, dan kesabaran akan menumbuhkan rasa cinta. Seorang gadis yang awalnya membenci seorang pemuda, kemudian lama-kelamaan mereka saling mencintai.
Tokoh dan Penokohan
Penokohan adalah gambaran watak dan kepribadian yang digambarkan oleh pengarang melalui hasil karya sastranya. Penokohan melibatkan penamaan, pemeranan, keadaan fisik, dan karakter, yang saling berhubungan untuk membangun permasalahan fiksi (Hasanuddin dan Muhardi, 2006:30). Tokoh utama dalam Dealova, yaitu Karra, ditokohkan sebagai seorang gadis tomboi yang ramah, memiliki solidaritas yang tinggi, pintar main basket, dan tidak mudah percaya kepada laki-laki. Karra berwajah yang cantik, baik namun agak keras kepala, seperti ditunjukkan dalam kutipan berikut:
Meskipun gayanya cuek, Karra ramah banget sama orang. Buktinya, dari tukang bakso sampai tukang es campur di sekitar rumahnya kenal sama dia. Belum lagi hansip kompleks yang ngakunya fans berat Karra, yang kalo setiap Karra lewat selalu menebar senyum Closeup-nya. Karra memang punya solidaritas yang tinggi (Nuranindya, 2005).
“Emang anaknya kayak gimana?”
Ibel tersenyum. “Dia cantik, baik, keras kepala.”
“Elo suka sama dia?” Niki penasaran (Nuranindya, 2005).
Di dalam teenlit ini juga terdapat tokoh tambahan yang cukup berperan dan berhubungan langsung dengan tokoh utama. Dalam Dealova ada tiga tokoh tambahan: pertama, Iraz (kakak Karra), memiliki watak penyayang, tampan, jail dan berisik; kedua, Ibel (sahabat Iraz), memiliki watak penyayang, cenderung pendiam, dan berpenampilan santai; ketiga, Dira anak baru dan Kapten basket di sekolah. Dira yang kemudian menjadi kekasih Karra, memiliki watak keras kepala dan mengindap penyakit kanker paru-paru.
Alur atau Plot Cerita
Alur atau plot adalah menentukan keberhasilan karya prosa. Alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Keterkaitan peristiwa dapat diwujudkan oleh hubungan waktu dan oleh hubungan sebab akibat. Alur merupakan rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian. Alur terbagi atas beberapa jenis, yakni: alur bawahan, alur balik, alur buka, alur erat, alur konvensional, alur longgar dan sebagainya. Dealova memakai alur konvensional, karena peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya.
Latar
Fungsi latar dalam bangunan cerita rekaan adalah merinci tempat dan waktu kejadian untuk memperkuat tema, menentukan watak tokoh dan membangun suasana cerita. Latar dapat digolongkan atas latar material dan latar sosial. Latar material berkaitan dengan tempat dan waktu bersifat kongkret; sedangkan latar sosial berkaitan dengan situasi atau kondisi sosial, ekonomi, politik atau kebudayaan di masa peristiwa itu diceritakan. Dalam corak sastra yang lebih modern, latar kadang-kadang tidak memenuhi fungsi seperti karya konvensional tadi.
Dealova sangat banyak melibatkan latar material, di antaranya: sekolah/SMU Persada, rumah besar Karra di daerah Permata Hijau Jakarta yang mirip villa di Puncak, lapangan basket dan cafe di Plaza Senayan. Sedangkan latar sosialnya yakni masyarakat kota Jakarta yang berbudaya cukup maju oleh arus globalisasi. Hal itu dapat dilihat dari kehidupan para tokoh dalam Dealova, di antaranya dilihat dari cara pergaulan tokoh Karra dan kakaknya Ibel, kefleksibelan orang tua Karra dan Ibel yang bekerja di New York sebagai diplomat di KBRI dalam memberi kepercayaan terhadap anak-anak mereka untuk tinggal dan sekolah di Jakarta.
Sudut Pandang
Dalam Dealova, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, tetapi pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator bersifat mahatahu: ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh “dia” yang satu ke “dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya “menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata. Berikut ini beberapa penggalan narasi dalam teenlit “Dealova” sebagai berikut.
Karra menghentikan dribelan bolanya, lalu bersiap-siap memasukkan bola ke dalam ring dan … Masuk!
Karra berjalan menuju rumahnya. Setiap hari dia memang selalu pulang sekolah berjalan kaki, meskipun sebelumnya ia harus naik bus umum dulu.
Dira memang cowok misterius. Kalau di-flashback dari saat cowok itu ketemu Karra, kayaknya banyak banget kejadian yang dia timbulkan terhadap Karra.
Dira membawa Karra menuju bukit di pinggiran kota Bogor, yang masih asri dan terbebas dari asap knalpot kota Jakarta.
Ibel mengusap-usap bahu sambil nyengir menahan sakit. Ia melihat Karra cekikikan karena tingkah pembantunya itu.
Ibel menganggukan kepalanya dan terus memperhatikan adik sahabatnya menaiki tangga (Nuranindya, 2005).
Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapat efek tertentu. Dealova menggunakan beberapa jenis gaya bahasa antara lain hiperbola dan perbandingan. Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan dari kenyataan. Contoh sebagai berikut.
Dio yang gantengnya nandingin Brad Pitt.
Di taman belakang terdapat beranda kecil yang telah disulap oleh teman-teman Iraz menjadi tempat untuk latihan band
Hati Karra hancur. Dunia terasa gelap tanpa harapan (Nuranindya, 2005 ).
Perumpamaan adalah gaya bahasa perbandingan yang pada hakikatnya membandingkan dua hal yang berlainan dan yang dengan sengaja kita anggap sama.gaya bahasa perumpamaan, tidak dapat disatukan, dan hanya dapat dibandingkan. Contoh sebagai berikut.
Ada yang berjalan seperti pasukan pengibar bendera
“Heh! Gila lo, ngangkat telepon udah kayak mau teriak maling!”
Cewek itu melayang bebas di udara
Betapa ajaibnya pengaruh kata-kata Ibel barusan (Nuranindya, 2005)
Amanat
Amanat berhubungan erat dengan tema, maka amanat disusun berdasarkan tema, sebagai pandangan pengarang dalam memecahkan masalah dalam karyanya. Menurut (Suroto, 1989: 89) amanat berisi pesan positif pengarang kepada pembaca.
Dari Dealova cukup banyak amanat yang dapat diambil, di antaranya: jangan terlalu membenci sesuatu, karena kebencian itu dapat berbalik arah menjadi cinta. Karra yang pada awalnya sering bertengkar dan membenci Dira kemudian berubah menjadi cinta. Amanat atau lain yang terdapat dalam Dealova adalah jangan menyesali apa yang telah terjadi, jangan menyesali cobaan apa pun yang menimpa kita, karena semua cobaan itu telah digariskan dan ditentukan oleh Tuhan.Terlihat pada cuplikan berikut.
“Jangan pernah nyesel sama apa yang udah terjadi.” Iraz terlihat lebih dewasa semenjak balik dari New York (Nuranindya, 2005:12)
UNSUR EKSTRINSIK TEENLIT DEALOVA
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangun karya sastra. Secara lebih khusus unsur ekstrinsik memengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, meskipun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
Biografi Dyan Nuranindya
Biografi pengarang adalah unsur ekstrinsik utama yang menentukan corak karya yang dihasilkan oleh pengarang (Nurgiyantoro, 2010:24; Hasanuddin dan Muhardi, 2006:25), sementara pengaruh lain akan masuk ke dalam fiksi melalui pengarang. Dyan Nuranindya lahir di Jakarta, 14 Desember 1985, anak terakhir dari dua bersaudara. Dyan yang lebih akrab disapa “Dichiel” (Dyan Kecil), memiliki bakat menulis yang terpendam, juga bakat menggambar, dan pernah menyabet Juara I Lomba Poster sewaktu SMP dan beberapa penghargaan. Dyan juga menggeluti berbagai kegiatan termasuk dunia tarik suara dan pencinta alam yang membuatnya menyukai dunia panjat tebing.
Nilai Karakter dalam Teenlit Dealova
Menurut Kaswardi (1993:20), nilai bermanfaat untuk pedoman hidup yang merupakan sesuatu yang abstrak yang tidak dapat ditangkap dengan indra, namun dapat dirasakan oleh setiap individu. Nilai berkaitan dengan hal yang baik yang dapat menuntun seseorang menjadi manusia yang baik pula. Banyak nilai kehidupan yang ditemukan dalam Dealova. Dealova dapat memberikan nilai pendidikan karakter yang kuat dan memotivasi pembacanya agar mencontoh perilaku.
Berdasarkan Kompetensi Dasar apresiasi prosa yang ada pada jenjang SMP dan SMA, Dealova memiliki potensi sebagai alternatif sumber belajar karena dapat mengisi sebagian dari 18 nilai pendidikan karakter yang ditetapkan. Pendidikan karakter diperoleh baik melalui tokoh dan penokohan, maupun dari tema, amanat, latar (waktu dan tempat), nilai, bahkan biografi pengarang. Nilai dalam Dealova (Nuranindya, 2005) adalah cinta damai, peduli sosial, nilai sosial saling membantu teman dan nilai moral saling menghargai antara teman.
Makna yang Terkandung di dalam Teenlit Dealova
Dealova mencitrakan atau merefleksikan tentang kehidupan yang tidak dapat ditebak. Pertemuan, jodoh, maut, dan rezeki semua telah ditentukan oleh Tuhan. Kita sebagai manusia hanya dapat berikhtiar dan berusaha. Karra yang semulanya sangat membenci Dira dapat berubah menjadi cinta, ketika maut menjemput Dira, dan ketika cinta Ibel disambut kembali oleh Karra. Walaupun Karra telah menjadi kekasih Dira, tetapi Ibel tetap menunggu dengan setia dan terus berusaha dan berikhtiar untuk mendapatkan cinta Karra.
PENUTUP
Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca teenlit dengan ancangan literasi kritis dapat menjadi media alternatif dalam meningkatkan literasi remaja untuk mampu membaca dan memahami isi bacaan. Dealova dapat dijadikan sebagai salah satu media dan materi alternatif dalam meningkatkan literasi remaja dalam pembelajaran apresiasi sastra karena Dealova sesuai dengan minat dan usia perkembangan peserta didik dan mengandung berbagai macam nilai positif yang berguna bagi kehidupan peserta didik. Penggunaan teks sastra secara langsung dalam proses pembelajaran apresiasi sastra dapat mencetak peserta didik yang tidak hanya pandai dalam hal berteori sastra saja, tetapi juga dapat mencetak peserta didik yang berbudi, toleran, dan berbudaya. Nilai kehidupan dalam teenlit Dealova yaitu cinta damai, peduli social, nilai sosial, saling membantu, nilai moral, dan saling menghargai antara teman akan tercermin dalam tindak dan perilaku kaum remaja pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Dewojati, C. 2010. Wacana Hedonisme dalam Sastra Populer Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Caps.
Kaswardi, Em. K. 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Kusmarwanti. 2005. “Teenlit” dan Budaya Menulis di Kalangan Remaja, “Menuju Budaya Menulis: Sebuah Bunga Rampai”, Ed. Pangesti Wieadarti. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mahmud, K.K. 1987. Sastra Indonesia dan Daerah: Sejumlah Masalah. Bandung: Angkasa.
Muhardi dan Hasanuddin W. S. 2006.Prosedur Analisis Fiksi: Kajian Strukturalisme. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Nuranindya, Dyan. 2005. Dealova. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pratiwi, Y. 1991. Memahami Tujuan dan Materi Pengajaran Apresiasi Sastra. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan IKIP.
Priyatni, E.T. 2010. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara.
Riana, Desri. 2016. Teenlit dalam Sastra Indonesia. Bandung: CV Angkasa.
Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan: Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Santoso, Satmoko Budi. 2005. “Chicklit” dan “Teenlit”: Relativitas Paradigma Kualitatif, dalam “Matabaca”, Volume 3 Nomor 8 April 2005.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraani. Jakarta: Gramedia.
Wicaksono, Andri. 2014. Menulis Kreatif Sastra. Yogyakarta: Garudhawaca.
Yudhiasari, Astuti. 2005. Cupid Where are You. Yogyakarta: Gerai Pop.
.
.
Sumber: Parafrase Vol. 17 No.02 Oktober 2017 ISSN 0854-6126 (Cetak); 2580 -5886 (Online)
.
CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA. CERITA REMAJA.