Selama lebih dua tahun terakhir ini, warga Desa Bonto Cinde, selalu gagal panen di mana-mana. Hujan tidak menentu. Dan warga desa merasa heran mengapa desa itu seperti berubah seratus delapan puluh derajat. Dari desa yang semula sangat subur menjadi desa yang kini sangat kering kerontang. Lima atau sepuluh tahun yang lalu, apapun yang ditanam warga semuanya tumbuh dengan subur, namun kini hampir semua jenis tanaman mengering. Tetua adat atau orang-orang tua yang masih hidup di desa itu, menyampaikan kepada keluarganya, anakanaknya, cucu-cucunya dan kepada warga desa bahwa Desa Bonto Cinde kering kerontang, gagal panen karena sudah terlalu banyak yang berbuat maksiat. Warga desa tidak lagi malu-malu berselingkuh, berpacaran di tempat-tempat umum, berbuat kesyirikan dan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Dan di sisi lain, masjid yang ada di desa itu nyaris kosong setiap waktu salat lima waktu. Semua telah berubah.
Dulu, kata para tetua adat dan orang-orang tua yang masih hidup, anak-anak rajin mengaji di masjid tapi kini tidak ada lagi karena semua anak-anak sibuk dengan telepon selulernya masing-masing. Dulu, orang-orang tua rajin ke masjid untuk salat berjamaah tapi kini hanya segelintir orang yang salat berjamaah. Semuanya telah berubah. Warga desa semua sibuk dengan urusan keduniaannya.
Puncaknya, peristiwa mengerikan yang dialami Soreang dan Muliana dengan disambar petir, seharusnya membuat warga desa Bonto Cinde tersadar dan melakukan introspeksi diri sebelum terlambat. Begitulah Ëling dan harapan Opu Bandu, tetua adat dan orang-orang tua yang masih hidup di desa itu.
Ketika mayat Soreang dan Muliana mau dibawa pulang ke rumahnya, warga desa bingung karena kedua anak manusia itu sudah saling melengket. Mereka tak bisa dipisahkan. Berbagai cara pun ditempuh untuk memisahkannya. Ada warga yang menarik keras tubuh gosong Muliana, ada pula warga yang menarik tubuh hitam Soreang. Tetapi mereka tetap tidak bisa dipisahkan.
Bagaimana cara memisahkannya? Semua warga desa melongo, bingung dan putus asa. Karena selama ini belum pernah terjadi peristiwa seperti itu. Dua anak manusia meregang nyawa dengan cara yang tidak wajar. Mereka saling melengket.
Di tengah kebingungan itu ada warga yang mengusulkan, agar kedua anak manusia itu dipisahkan dengan cara mengikat tali satu sama lain, lalu ditarik dengan menggunakan motor. Usul itu pun dicoba, tetapi tidak membuahkan hasil.
Ada juga warga yang mengusulkan agar kedua anak manusia itu dipisahkan dengan cara mengikat satu sama lain, lalu ramai-ramai menarik seperti lomba tarik tambang. Tetapi usulan ini dibantah oleh warga lainnya, karena menganggap kekuatan manusia tidak sekuat dengan kekuatan mesin. “Bagaimana bisa, mesin motor saja tidak bisa memisahkan mereka, apalagi tangan manusia yang lemah ini,” kata salah seorang warga memberi alasan.
![]()
Leave a Reply