Cerpen, Padang Ekspres, Seprianus

Mak dan Tanahnya

0
(0)

Buat apa kau lanjut sekolah. Perempuan itu ujungujungnya ke dapur dan dipan juga. Itulah kodratnya.

Mata Mak selalu saja berkaca-kaca setiap kali mengenang kata-kata andeh itu. Bagi Mak kata-kata itu jelas bukan sebuah pesan melainkan sebuah permintaan. Sementara kakak laki-lakinya bisa terus bersekolah sampai ke tingkat SMA, Mak harus menerima takdirnya hanya tamat SD saja. Mengapa perbedaan antara lakilaki dan perempuan sedemikian mencolok? Sementara Mak dan andehnya setiap hari bangun pagi-pagi memasak ke dapur, menyiapkan semua bahan dagangan, kakak laki-lakinya itu masih saja terlelap nyenyak dan baru bangun setelah matahari terbit untuk membantu mereka membawa barang dagangan yang beratberat. Dan itu juga tidak setiap hari. Lalu mengapa pula Mak tak berhak sama-sama melanjutkan sekolah sama seperti kakak laki-lakinya itu? Apa karena Mak seorang perempuan yang sisa usianya akan ditakdirkan terdampar di dapur dan dipan saja? Seperti kata andeh?

Munawir itu akan terbang suatu hari nanti. Pergi ke rumah bininya. Andeh tak punya apa-apa untuk diberikan. Tanah itu, seperti yang telah digariskan adat, jelas atas nama kau. Andeh tak mau nanti dia mengungkit-ungkit soal harta pembagian. Karena itu, Andeh mengusahakan dia lanjut sekolah, berharap dia dapat kerja layak suatu hari nanti. Mampu menghidupi diri sendiri dan anak bini. Tidak menghempas nasib ke siapasiapa lagi.

Seperti yang sudah-sudah, Mak terpaksa setuju dengan keputusan andeh itu. Namun entah mengapa, jauh di dalam dada, Mak merasa ini sebuah hukuman. Kodratnya sebagai perempuan tak lebih dari sebuah kutukan. Kebebasan Mak bagai tercerabut. Bahkan nasibnya sendiri, Mak tak mampu menentukannya. Apalah artinya menjadi pemilik tanah pusaka itu jika pada akhirnya tetap juga butuh tenaga laki-laki untuk menjadikan tanah itu berguna? Apakah dengan demikian Mak tak ubahnya mengulang-ulang saja roda kehidupan yang telah dijalani andehnya selama ini? Sebuah tanah pusaka yang diwariskan turun temurun pada garis perempuan sembari menunggu datangnya suami? Dan itu artinya Mak akan menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada suaminya untuk mengolah tanah itu?

Baca juga  Berbagi Bekal Makanan

Maka memang demikianlah hidup. Tahun-tahun bergulir cepat dan begitu membosankan. Mak akhirnya berjodoh dengan seorang laki-laki dari kampung sebelah. Sama seperti abaknya, suaminya itu datang ke rumah dengan tak membawa apa-apa kecuali badannya saja. Sementara Mak meneruskan berjualan lontong, lotek, bubur putih, lupis, dan kue-kue, suami Mak berladang di tanah itu, meneruskan apa yang telah dikerjakan abaknya yang telah meninggal tepat sebulan setelah hari perkawinannya. Bahkan, masih merah tanah di kuburan abaknya, andehnya pun menyusul pula akibat radang paru yang dideritanya beberapa tahun terakhir sebelum hari kematiannya.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Fitria Ratnawati

    Cerita tentang Mak dan Tanahnya sangat menyentuh banget,

Leave a Reply

error: Content is protected !!