Cerpen, Padang Ekspres, Seprianus

Mak dan Tanahnya

0
(0)

Kehilangan yang terjadi berturut-turut dalam waktu yang berdekatan itu telah membuat hati Mak kebas. Air mata Mak telah mengering. Kesedihan Mak seperti tak lagi punya tempat menghempas. Kakak laki-lakinya, sejak beristri, tidak pernah lagi mengunjungi. Sementara itu, suaminya, walau bukan tipe laki-laki yang suka beristri banyak, tetapi malah sangat temperamental. Terlambat saja makanan terhidang, semua bisa berterbangan dan berserak di lantai. Satu potong saja bajunya tak dicuci, mata suaminya bisa memerah dalam sekejap seperti kerbau marah hendak menyeruduk. Sekali saja lantai lupa disapu, kursi dan meja bisa berderak dihantamnya. Jika sudah demikian, Mak akan segera berlari ke kamar. Tentu bukan untuk melindungi dirinya, melainkan memeluk ketiga anaknya yang menggigil ketakutan.

Sekali waktu di tengah malam yang khusyuk, Mak benar-benar ingin doanya dikabulkan. Kenapa Tuhan tak mengambil saja nyawa suaminya? Bahkan sampai sejauh ini, Mak masih tak mampu mencari sebab, mengapa Mak harus mendampingi laki-laki gila itu. Soal makan dan membesarkan anak, Mak masih sanggup melakukannya seorang diri. Apa gunanya bersuami hanya untuk membuat Mak dan anak-anaknya berada dalam ketakutan setiap hari?

Walau bagaimanapun keberadaan suami itu penting, Rubiah. Perempuan yang tak bersuami, tak ada nilainya di mata orang. Akan jadi bahan gunjingan. Mau kau seperti itu?

Masih terngiang jelas dalam benak Mak, andeh berkata seperti itu sambil meniup bara api di tungku, beberapa bulan sebelum hari perkawinannya. Saat itu sebenarnya Mak belum ingin bersuami. Tapi seorang perempuan yang masih lajang di usia yang sudah menginjak dua puluh tahun dianggap sudah terlampau tua untuk menikah. Andeh tak mau Mak disangka orang sebagai gadis tak laku. Tak banyak yang bisa Mak debat setelah itu. Kata-kata andeh selalu final. Mak akhirnya hanya bisa melempar lamunan ke luar jendela dapur yang dipenuhi bubungan asap, pasrah menerima garis tangannya.

Baca juga  Bilal dan Hewan Kesayangannya

Barangkali doa yang pernah Mak panjatkan malam itu akhirnya dikabulkan juga. Suami Mak mati kejang karena kemarahannya sendiri, sehabis memarahi ketiga anaknya yang kotor bermain lumpur di ladang yang baru saja disirami suaminya. Tak sedikitpun air mata Mak jatuh menangisi kematian suaminya itu. Mak merasa pintu kebebasan baru saja dibukakan untuknya.

Maka demikianlah setelah itu, kehilangan demi kehilangan tidak membuat Mak patah. Bagi Mak, ketiga anaknya adalah harapan, penyemangat Mak untuk berjuang mengembalikan hidupnya yang pernah hilang di masa lalu. Jika sudah sampai waktunya, tanah pusaka yang kini sudah terlantar sejak kematian suaminya itu, akan dijual Mak untuk menyekolahkan ketiga anaknya. Bagi Mak, tak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Semua sama saja. Laki-laki maupun perempuan bisa sekolah tinggi-tinggi untuk masa depan. Mak tak ingin ketiga anaknya bernasib sama dengannya.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Fitria Ratnawati

    Cerita tentang Mak dan Tanahnya sangat menyentuh banget,

Leave a Reply

error: Content is protected !!