Namun sejak kematian suami Mak terdengar sampai ke Munawir, kakak laki-lakinya itu jadi sering datang mengunjungi. Alih-alih menanyakan keadaan kemenakannya, yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, dia malah tak segan-segan bertanya soal tanah itu. Sejak kecil hingga kini beranak bini, Munawir tak pernah berubah. Mementingkan dirinya saja. Mak sangat paham akan kemana arah tujuan pembicaraan udanya itu. Apa yang ditakutkan Mak, kekhawatiran yang dulu pernah diutarakan andehnya, kini mulai menghampiri. Munawir ingin ambil bagian atas tanah pusaka itu.
“Kalau sudah tinggi semaknya, nanti pancang-pancang batasnya bisa hilang, Rubiah.” ujar Munawir pagi itu, setelah menghabiskan sepiring besar lontong dan dua gelas teh telor tanpa bayar. “Orang-orang kampung bisa saja seenaknya menegakkan pancangnya di tanah kita. Lama-lama bisa berkurang luasnya.”
“Iya, aku tahu,” kata Mak. “Itu bisa aku urus nanti. Uda tak kerja hari ini?” Mak mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Ah, kantor itu sudah seperti rumah sendiri. Yang penting isi absen dulu, setelah itu bisa kemana-mana.”
Munawir kerja di kantor pemerintahan. Seperti kebanyakan pegawai negeri di daerah ini, begitulah sehari-harinya. Pergi ke kantor hanya untuk menandatangani daftar hadir, lalu keluyuran sampai sore atau duduk-duduk di kedai rokok dan main domino setelah itu pulang. Tak ada yang dikerjakan. Kecuali proyek-proyek lapangan dengan dana menggiurkan. Di situlah baru mereka namakan kerja. Baju seragam hanya untuk dibangga-banggakan saja.
“Begini saja,” Munawir mulai lagi. Kedua pipinya sampai kempis menghisap rokok sedalam-dalamnya. “Aku uruskan saja sertifikat tanahmu itu. Kebetulan aku kenal orang-orang dalam. Kau tak perlu susah-susah. Urus sajalah ketiga anakmu.”
Maka demikianlah Mak membiarkan kepengurusan tanah itu dilakukan oleh udanya itu. Awalnya Mak mengira Munawir hanya ingin ambil bagian tanah pusaka. Namun untunglah Munawir hanya membantu menguruskan pembuatan sertifikat. Dalam hati, Mak bersyukur, mungkin udanya sedikit banyak sudah berubah dan mulai peduli pada anak kemenakannya.
Banyak sekali lembaran yang harus Mak tandatangani setelah itu. Kadang di waktu sibuk pun, saat pembeli lontong sedang banyak-banyaknya Mak terus saja didesak-desak Munawir menandatangani surat-surat bercap biru dan berlogo Pancasila yang isinya entah apa. Karena percaya saja, Mak tak memikirkan apa-apa selain tandatangan-tandatangan itu harus selesai dibubuhkan saat itu juga.
![]()
Fitria Ratnawati
Cerita tentang Mak dan Tanahnya sangat menyentuh banget,
seprianus
terima kasih.