Cerpen, Dadang Ari Murtono, Jawa Pos

Meyakinkan Soeharto

Meyakinkan Soeharto - Cerpen Dadang Ari Murtono

Meyakinkan Soeharto ilustrasi Budiono/Jawa Pos

4.1
(7)

Cerpen Dadang Ari Murtono (Jawa Pos, 13 September 2025)

SEORANG lelaki baru saja menyobek plastik besar berisi jagung berondong dan menyalakan televisi pintar, lalu membuka YouTube dan mencari-cari video yang menarik ketika ia melihat keluku Soeharto dengan kopiah dan setelan biru gelap tengah berdiri memegang selembar kertas di depan sepasang mikrofon dalam salah satu video—tampak begitu memelas dan memohon.

Si lelaki diam sejenak menatap keluku tersebut, namun kemudian menggerakkan kursor ke bawah. Akan tetapi, lantaran ia tak menemukan video lain yang memikatnya, ia kembali ke atas dan berhenti tepat di video dengan keluku Soeharto tersebut. Murni karena iseng, si lelaki mengeklik video itu. Lingkaran buffering berputar enam detik sebelum video berjalan. Dan begitulah Soeharto, dengan gerak amat lambat, menjulurkan tangan keluar untuk berpegangan pada tepi layar televisi, mengangkat kaki pelan-pelan, dan melompat.

Lelaki itu gemetar ketakutan dan segenggam jagung berondong di tangannya berjatuhan. Ia mengira ia bermimpi atau pandangan matanya mengalami galat lantaran kebanyakan karbohidrat. Si lelaki mengucek-ngucek matanya sendiri. Namun, Soeharto telah berdiri di depannya. Benar-benar di depannya dan bukan lagi dalam layar televisi.

“Jangan sakiti saya,” kata lelaki itu pada akhirnya.

Soeharto menatapnya. Pandangan Soeharto teduh, begitu teduh, dan presiden kedua Republik Indonesia itu juga tersenyum, begitu manis.

“Apa maksudmu?” tanya Soeharto. Lembut sekali.

“Jangan menculik saya,” kata si lelaki.

“Tentu saja tidak,” jawab Soeharto, lantas tertawa. “Saya hanya ingin duduk-duduk sebentar. Kamu tahu, capek sekali berdiri di sana dan membaca pidato yang sama berulang kali.”

***

Soeharto duduk di sofa bersebelahan dengan si lelaki yang masih gemetaran. Ia membetulkan letak kaca matanya sebelum kemudian menoleh ke si lelaki.

“Kenapa kamu berpikir saya akan menyakiti atau menculikmu?” tanya Soeharto setelah beberapa saat.

Si lelaki mengambil napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Yah,” katanya, “tentu saja saya takut Anda melakukannya. Selama ini, Anda selalu melakukannya, kan? Maksud saya, maafkan saya, tapi aktivis-aktivis yang hilang, lawan-lawan politik Anda, ah, Anda tahulah…”

Soeharto tertawa. Sopan sekali.

“Bukan saya yang melakukannya,” kata Soeharto. “Memangnya kamu pikir saya kurang kerjaan sehingga melakukan hal-hal semacam itu? Tentu saja ada orang orang lain yang bertugas melakukannya. Namun, bisa saya pastikan saya tidak melakukannya dengan tangan saya sendiri.”

“Tapi Anda yang memerintahkan mereka,” si lelaki mulai mendapatkan sedikit keberanian. “Maksud saya, memerintahkan penculikan dan lain sebagainya itu.”

“Tentu saja,” kata Soeharto. “Namun, seperti yang saya bilang, saya tidak melakukannya sendiri. Jadi, apa pun yang kamu lakukan, jika kamu bertemu langsung dengan saya, saya tetap saja tidak akan tiba-tiba menangkapmu langsung. Kamu seharusnya mengerti hal-hal sederhana seperti ini. Lagi pula, saya ini sudah tua. Tenaga saya, kamu tahu, tidak seperti dulu lagi.”

Baca juga  Turun Kasta

Soeharto mengangkat sedikit tangan kanannya. “Lihat,” kata Soeharto, “sedikit tremor, kan?”

“Itu sedikit melegakan,” kata si lelaki sambil mengamati lengan Soeharto yang keriput, berbintik-bintik, dan gemetar. Dan setelah diam sejenak, ia melanjutkan, “Apakah nanti akan ada tentara yang menjemput saya? Maksud saya, setelah Anda pergi.”

Soeharto kembali tertawa. “Saya tidak tahu,” katanya. “Kamu yang lebih tahu.”

***

Lelaki itu kemudian mencoba bersikap manis. Bagaimanapun, si lelaki merupakan orang yang lahir dan tumbuh dalam budaya Jawa, dan sebagai orang Jawa yang baik, ia tahu cara memperlakukan tamu, seperti apa pun jenis tamu itu.

Ia bertanya apa yang ingin diminum oleh Soeharto. “Saya punya susu, teh, dan kopi,” katanya.

“Air putih cukup,” kata Soeharto. “Saya sudah tua. Tidak banyak yang saya butuhkan. Dan banyak hal yang harus saya lakukan untuk menjaga kesehatan.”

“Tidak banyak yang Anda butuhkan?” si lelaki mengulang sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Itu sama sekali tidak seperti diri Anda. Oh, maksud saya, itu sama sekali tidak seperti yang dikatakan orang-orang tentang Anda.”

Soeharto kembali tertawa. Soeharto lelaki tua yang suka tertawa. “Saya tahu apa yang dikatakan orang-orang,” ia kembali tertawa. “Orang-orang memang suka membicarakan orang lain di belakang. Tapi saya juga orang yang tahu sopan santun, dan karenanya saya tidak ingin merepotkanmu dengan minta suguhan yang aneh-aneh. Yah, air putih saja,” Soeharto menegaskan.

***

Soeharto minum air putih dan makan jagung berondong pelan-pelan. Si lelaki yang masih tak mengerti dengan apa yang terjadi sesekali mencuri pandang ke arahnya.

“Maafkan saya,” kata si lelaki kemudian dengan gugup dan sungkan. “Apakah Anda benar-benar nyata? Maksud saya, Anda benar-benar Soeharto? Oh, maafkan saya, maksud saya, Anda benar-benar Jenderal Soeharto sang presiden kedua?”

“Apa maksudmu?” Soeharto balas bertanya sambil tersenyum. Manis sekali. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Siapa yang menyuruhmu?”

Si lelaki mengangkat bahu. “Tidak ada yang menyuruh saya,” katanya, masih sedikit gugup. “Tentu saja tidak ada yang menyuruh saya. Kita hanya berdua di sini. Namun, Anda tahu, saya berpikir ini hanyalah halusinasi. Maksud saya, mungkin saja saya makan sesuatu yang sudah kedaluwarsa dan keracunan, lalu mulai melihat sesuatu yang tak nyata.”

“Sepanjang yang saya tahu,” kata Soeharto. “Saya nyata. Kamu bahkan bisa memegang tanganku.”

“Apa itu boleh?” si lelaki memastikan. “Apakah tidak berbahaya? Maksud saya, memegang tangan Anda itu. Anda tidak akan membunuh saya hanya karena saya memegang tangan Anda, kan?”

Soeharto kembali tertawa. “Jangan berlebihan,” katanya. Dan ia mengangkat lengan kanannya sekali lagi, meletakkannya di telapak tangan kiri si lelaki. “Lihat,” katanya lembut. Si lelaki menggenggam lengan Soeharto. Dan kegugupannya sirna.

Baca juga  Perempuan dari Balik Pintu Kamar Berlukis Naga

***

Mereka kemudian bicara banyak hal sambil makan jagung berondong, seperti dua orang kawan lama yang kembali bertemu setelah lama berpisah. Soeharto mengatakan betapa ia benci orang-orang yang merekam dirinya ketika membacakan pidato pengunduran dirinya dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB di Istana Merdeka, lantas rekaman itu diputar orang berkali-kali.

“Sebab dengan begitu,” kata Soeharto, “saya terpaksa mengulang-ulang bagian paling menyedihkan dalam hidupku. Semacam kekalahan yang terus saya rasakan.”

“Saya kira rekaman video tidak bekerja dengan cara semacam itu,” kata si lelaki sambil memasukkan segenggam jagung berondong ke mulutnya.

“Banyak hal yang berjalan tidak seperti yang kita duga,” kata Soeharto. “Seperti yang saya alami. Siapa yang menduga saya akan dijatuhkan dengan cara semacam itu? Demonstrasi habis-habisan dan lain sebagainya itu.”

“Padahal kekuasaan Anda tak terbatas,” kata si lelaki. “Padahal Anda bisa menghilangkan siapa pun yang kaumau.”

“Memerintahkan orang lain menghilangkan siapa-siapa yang saya mau,” Soeharto meralat.

“Ya,” jawab si lelaki. “Itu maksud saya.”

“Namun itu terjadi,” kata Soeharto. “Hal-hal yang tidak bisa diduga. Yah, meski semua bermula dari krisis moneter itu. Saya tidak menduga di hari tuaku, saya mesti menghadapi zaman ruwet seperti itu. Setelah krisis itu mulai, semua menjadi tak terkendali. Kamu tahulah.”

***

“Apakah kehidupan jadi berbeda setelah saya tidak jadi presiden?” tanya Soeharto setelah beberapa saat.

Si lelaki mengedikkan bahu. “Saya tidak tahu,” katanya. “Saya masih bocah ketika Anda menjadi presiden dan karena itu saya tidak tahu banyak hal. Namun kalau Anda ingin tahu, bisa saya katakan bahwa Golkar masih ada meski kini ia menjadi sebuah partai. Banyak pejabat yang terpergok melakukan korupsi, dan sebagian dari mereka sepertinya kebal hukum. Beberapa orang ditangkap setelah melakukan kritik di media sosial. Anda mungkin tidak tahu apa itu media sosial. Yah, setahu saya, ini sesuatu yang belum ada di masa Anda. Pokoknya, itu adalah sesuatu yang… ah, saya tak tahu bagaimana menjelaskannya. Yah, hal-hal semacam itu. Oiya, DPR juga baru saja mengesahkan UU TNI. Kata orang, itu akan mengembalikan dwifungsi TNI. Orang-orang kemudian takut akan ada penculikan terhadap orang-orang yang mengkritik pemerintah.”

“Terdengar familier,” Soeharto kembali tersenyum. “Maksudku, banyak pejabat yang korupsi, orang-orang ditangkap setelah melakukan kritik, penculikan aktivis. Hal-hal seperti itu. Itu terjadi setiap hari pada masaku. Sepertinya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Ya,” kata si lelaki. “Hal-hal yang terjadi setiap hari. Hidup berjalan terus dan selalu semacam itu di negeri ini.”

“Negeri yang indah,” kata Soeharto.

“Oh,” kata si lelaki. “Satu lagi. Prabowo Subianto, mantan menantu Anda, kini menjadi presiden.”

Soeharto menoleh ke si lelaki. Dan ia mendesah panjang. “Benarkah?” ia menggumam. Si lelaki mengangguk. Dan Soeharto kembali bergumam, “Benar-benar tak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang.”

Baca juga  Laki-Laki Bermata Dingin

***

Soeharto mengeluh lapar. Dan si lelaki memasak mi instan. Mereka makan berdua di dapur. Dan setelah beberapa saat, si lelaki menengok jam dinding dan berseru. “Sebentar lagi istri saya pulang,” katanya.

“Terus?” Soeharto bertanya. “Apa masalahnya?”

“Ia tidak menyukai Anda,” kata si lelaki. “Maksud saya, ia sangat membenci Anda. Maafkan saya, tapi memang begitu kenyataannya.”

“Kenapa ia membenciku?”

“Karena kakeknya,” kata si lelaki, “adalah salah satu orang yang menjadi korban peristiwa 65. Dan ia menyalahkan Anda untuk hal itu.”

“Oh,” sahut Soeharto pendek. “Bisa dipahami.”

“Anda harus pergi,” kata si lelaki. “Tapi Anda bisa kembali besok. Saya akan memutar video itu dan Anda bisa kembali melompat ke sini dan kita bicara banyak hal seperti dua orang kawan lama.”

Soeharto tertawa sekali lagi. “Itu terdengar menyenangkan,” katanya.

“Dan Anda akan mengulang pidato pengunduran diri Anda sekali lagi,” kata si lelaki. “Saya harap itu tak masalah.”

“Tidak,” kata Soeharto. “Itu tidak masalah. Saya yakin itu tidak masalah sekarang. Setidaknya, meski saya harus mengulang adegan mengerikan itu, toh saya punya teman untuk bicara. Capek sekali merasa sendirian. Aneh rasanya penguasa seperti saya bisa merasa sendirian pada akhirnya.”

***

Dan begitulah Soeharto kembali melompat masuk ke dalam televisi pintar, berdiri dalam keluku video, dan si lelaki memutar video tersebut. Ia merasa suara Soeharto bergetar ketika membacakan pidato tersebut. Dan Soeharto mengedipkan mata kepadanya.

Pada waktu itulah si istri pulang.

“Apa yang kaulakukan?” si istri bertanya.

“Menonton omong kosong,” jawab si lelaki. ***

.

.

Dadang Ari Murtono. Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), Cara Kerja Ingatan (novel, 2020), Sapi dan Hantu (kumpulan puisi, 2022), Cerita dari Brang Wetan (kumpulan cerpen, 2022), serta Peta Orang Mati (kumpulan cerpen, 2023). Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.

.

Jawa Pos menerima kiriman cerpen dengan panjang naskah 1.500 kata. Sertakan biodata singkat, foto terbaru, foto kartu identitas, nomor rekening, dan NPWP. Cerpen dikirim ke sastra@jawapos.co.id
.
Meyakinkan Soeharto. Meyakinkan Soeharto. Meyakinkan Soeharto. Meyakinkan Soeharto. Meyakinkan Soeharto. Meyakinkan Soeharto. Meyakinkan Soeharto. Meyakinkan Soeharto. Meyakinkan Soeharto.

Loading

Average rating 4.1 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!