MATAHARI mulai condong ke barat. Desis angin serta pepohonan saling berebut bayang. Satu dua suara petikan gitar bak pelipur jiwa, sebagian mereka dengan terpaksa memilih menikmatinya, sebagian lain sibuk dengan gadget-nya dan sebagian besar lagi sibuk dengan pikirannya. Sementara seorang perempuan bermata sipit di pojokan terlihat lebih membutuhkan lengan untuk sejenak bersandar, yah begitulah kehidupan yang sesekali berjalan tak sesuai harapan.
Hari ini aku berniat mengantar Sofia pulang lagi ke rumahnya. Kita berteman sudah lama yakni kurang lebih empat tahun tetapi kita jarang bertemu, hanya sesekali ketika di jalan itu pun karena memang tak disengaja. Meski demikian untuk urusan antar jemput aku layak menjadi kekasihnya, ia selalu meminta tolong dan mengandalkanku, jika luang seperti hari ini maka aku bisa tetapi jika tidak pun ia bilang tidak apa-apa.
Ia duduk menikmati minumannya sembari mendengarkan lagu kedua yang belum kunjung habis, aku tau ia menyukainya dan mulai menyiapkan uang untuk penyanyinya, seorang laki-laki berusia 40 tahunan dengan penampilan seperti anak muda kekinian, terlihat dari jaket dilan yang sekarang ia kenakan. Sofia mengeluarkannya, lima ratus rupiah untuk lagu Iwan Fals.
“Maaf saya berada di sini karena sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang, persaingan yang banyak ditambah lagi karena saya adalah seorang preman pensiun.”
Sofia tiba-tiba mengambil sesuatu dari dalam tas, rupanya ia menambahkan lagi lima ratus rupiah. Kini menjadi seribu rupiah untuk kejuju[1]ran laki-laki tersebut.
“Terima kasih Mbak,” ucapnya.
“Sama-sama Pak.”
Aku menatap Sofia cukup lama tapi ia memilih tetap diam kemudian ia bersandar di bahuku pun tanpa bicara apa-apa. Ia menatap keluar dengan mata sipitnya. Menatap pepohonan, seperti sedang berbicara dengan mereka atau barangkali dengan pikirannya sendiri tapi hanya butuh waktu sebentar ia sudah menutup kedua kelopak matanya.
Di belakangku kulihat seorang perempuan datang membawa gitar, dengan suara merdu ia menyanyikan lagu pergi pagi pulang pagi milik Armada. Tak jadi terlelap Sofia mengangkat kepalanya dan ia bangun untuk meneguk minumnya kemudian menatap sendu perempuan itu. Aku yakin ia terharu meski sama-sama perempuan aku tau Sofia tak seberani dirinya, ia menatapnya dengan serius perempuan yang kira-kira belum berusia akhir 20 tahunan dengan pakaian rapih dan jam tangan yang tidak kalah dengan miliknya.
Ia mengorek-ngorek isi dompetnya tapi hanya mengeluarkan lima ratus rupiah.
“Matur nuwun Mbak”
“Nggeh, Bu.” Belum selesai sampai di sana seorang laki-laki sudah datang lagi. Sofia menarik nafas panjang, mengeluarkannya begitu saja. Dahinya berkerenyit dan mengeluh, “Mengapa banyak sekali!”
Aku diam saja mendengarnya walaupun ingin sekali menjawab, “Bukannya sudah biasa, Sofia!”
Ia membuang pandangan keluar, kali ini tidak melihat pepohonan tapi ia beralih ke penjual di seberang. Aku mengikuti arah matanya, di balik kaca kami melihat buah durian bergelantungan juga di sampingnya terdapat tulisan dawet ireng. Setelah dilihat lebih jauh ternyata banyak sekali penjual yang serupa dan beberapa diantaranya bertuliskan dawet ireng asli Purworejo.
Pasti sangat segar melahap durian atau sekadar meneguk es dawet dalam cuaca panas seperti ini tapi lagi-lagi aku tidak bisa mengajak Sofia kesana, mungkin lain kali.
Beberapa saat kemudian Sofia melihat laki-laki tersebut, lengkap dengan penutup kepala, batik lusuh panjang dan sedikit berjenggot sedang memetik gitarnya, menikmati lagu Opick yang sering kita dengar menjadi soundtrack sebuah sinetron. Allah Engkau dekat penuh kasih sayang Takkan pernah Engkau biarkan hamba-Mu menangis
***
Sofia terenyuh dan tak lagi mengeluh barangkali ia menyadari pekerjaan ini pasti bukan pilihannya, kalau ada tempat yang tidak membuatnya harus berpanas-panasan ditambah dengan gaji yang cukup pasti akan diambilnya. Dan ia mengorek[1]ngorek- lagi dompetnya, ia selalu menyiapkan uang dua ribu rupiah setiap akan akan pulang dan ia baru mengeluarkan seribu lima ratus rupiah sebelumnya. Diantara kartu-kartu di dompetnya ia menemukan lima ratus rupiah.
“Suwun Mbak.”
Sofia membalasnya dengan anggukan.
***
Matahari kian condong ke barat tetapi panasnya masih saja membuat peluh kami menetes. Di ruangan ini orang-orang mulai berkurang, sebagian pulang setelah seharian mencari rezeki sebagian lagi barangkali baru akan berangkat.
Sofia bergeser sedikit, seorang Ibu berjilbab biru meletakan tas ransel kemudian duduk di sampingnya.
“Mau pulang kemana Mbak?” tanya Ibunya
“Kebumen Bu”
“Ibu mau kemana?” tambahnya
“Oh sudah dekat, saya mau ke Purwokerto Mbak.”
“Iya, Bu.” Jawabnya singkat.
Tidak lama datang seorang laki-laki membagikan sebuah amplop kecil pada setiap orang di ruangan ini, pun kepadanya dan Ibu di sampingnya. Amplop kecil itu penuh dengan tulisan yang kalau kita lihat dengan seksama adalah hasil tulisan tangan yang sudah difotokopi beberapa kali. Kurang lebih isinya meminta bantuan dengan keikhlasan untuk dirinya dan keluarganya meski laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa.
![]()
Pages: 12
syafiqoh
bagus bangettt