Cerpen, Muakhor Zakaria, Radar Mojokerto

Orang Biasa yang Luar Biasa

3.3
(3)

“SAYA kira tak ada yang istimewa, saya hanya melakukan apa yang kalian lakukan, begitu juga sebaliknya.” Begitulah pengakuan Syamsul Bolot, seorang penulis hebat yang banyak dielu-elukan para penulis dan intelektual di Indonesia. Bagi mereka, dialah tipikal lelaki teladan yang sangat visioner, memiliki tekad sekeras baja dan sekokoh batu karang. Dia telah sanggup mewujudkan cita-cita yang membuat semua orang tercengang dan begitu mengagumkan.

Sekarang penulis muda itu bergelimang harta dan kekayaan yang melimpah. Tentu apa saja yang diinginkannya bakal terwujud. Dia memiliki kekasih bernama Syahrina Dayanti, seorang model cantik kelahiran Kota Bandung. Kekasihnya itu pernah tampil dengan pose setengah telanjang untuk cover majalah bergengsi di ibukota Jakarta.

Namun, berbeda dengan laki-laki sukses lainnya, si Bolot ini terbilang penulis yang standar dan biasa-biasa saja. Maksudnya, dia itu sama saja dengan kita-kita orang. Dari gaya bahasanya biasa-biasa saja. Orangnya juga tidak ganteng-ganteng amat. Kecerdasannya juga biasa-biasa saja. Bahkan bisa dibilang, orang ini tak punya koneksi atau pintar berdiplomasi. Bolot persis seperti saya dan Anda semua, biasa-biasa saja dalam segala hal.

Nah, inilah yang membuat banyak orang dibikin cemburu dan irihati. Bagaimana mungkin seorang penulis yang hidupnya biasa-biasa saja, kok bisa memiliki kekayaan yang melimpah ruah bagaikan gemah ripah loh jinawi?

Rahasia sukses kehidupan Bolot sangatlah simpel dan sederhana. Ia hanya menjalani hidup apa adanya, seperti yang ditempuh kebanyakan orang. Kalau seandainya ada karya sastra yang brilian, hasil buah pena sastrawan yang brilian, kemudian banyak dibaca oleh mereka yang otaknya brilian, itu adalah keniscayaan yang lazim adanya. Tetapi ini mah, si Bolot gagasannya biasa-biasa saja, tanpa hasil jerih payah dan perjuangan apapun. Sebagian orang yang mengaguminya, berpikir keras mengenai rahasia kesuksesannya. Tetapi, percuma saja. Bolot sendiri bingung ketika banyak orang sibuk menilai dirinya. “Ngapain juga harus repot-repot menilai saya, wong hidup saya begini apa adanya.”

Baca juga  Persiapan bangi yang Mudik

Banyak orang berpendapat bahwa itu adalah rizki yang tak diduga-duga. Seperti orang yang menerima amanat atau warisan yang datang secara tiba-tiba. Tetapi, warisan dari mana? Wong dia bukan anak orang kaya, yang orangtuanya punya perusahaan besar. Juga bukan anak tuan tanah yang punya berhektar-hektar seabrek gak karuan. Juga tidak ada silsilah dari keluarga besar Jenderal Cendana, yang mewariskan utang BLBI bernilai trilyunan bagi generasi berikutnya.

Capaian keberhasilan yang diraih Bolot juga bukan hasil dari temuan-temuan langka dan menakjubkan. Tapi hanya temuan biasa saja. Dan inilah yang sebenarnya dibutuhkan sebagai teladan bagi umat manusia. Jadi, bukan temuan hebat yang luar biasa. Karena, temuan hebat mungkin akan bermanfaat dan hanya dimengerti orang yang pikirannya hebat juga. Tetapi, berapa banyak sih orang yang punya pikiran hebat di negeri ini? Berapa banyak orang yang sanggup menulis novel cerdas dengan data-data sejarah yang akurat, sebagaimana Pikiran Orang Indonesia?

Novel semacam itu kan hanya bisa ditelaah dan dinikmati oleh segelintir orang tertentu, yang mungkin sama kualitas kecerdasan sang penulis dengan si pembacanya. Karenanya, dibutuhkan rentang waktu yang panjang untuk sampai pada titik pengakuan publik. Sedangkan, temuan yang biasa-biasa saja—seperti Bolot ini—tentu akan sangat berguna demi kemaslahatan umat manusia, dalam konteks kekinian dan keindonesiaan.

Jadi begini ceritanya. Suatu hari, Bolot duduk-duduk di depan rumahnya sambil menyimak sebuah cerpen berjudul “Membaca Pikiran Orang”. Selesai membaca cerpen tersebut, kepikiran olehnya untuk membuat novel berjudul “Pikiran dalam Kotak Kosong”. Novel itu dibungkus dengan cover dan kemasan menarik, tetapi lembaran-lembaran di dalamnya hanya berisi kotak-kotak kosong dalam berbagai ukuran, besar, menengah dan kecil, bahkan kecil sekali. Tak ada tulisan sama sekali, bahkan satu kata atau satu huruf pun.

Baca juga  Sedekat Mei Juni

Dalam beberapa minggu setelah terbit di pasaran, novel itu jadi perbincangan publik. Tarik-menarik pendapat kian sengit, perdebatan merajalela, kegaduhan di medsos semakin memancing pemantik keributan dan keriuhan antara yang pro dan kontra. Bolot diundang dan diwawancarai berbagai media, luring dan daring, tetapi ia hanya senyum-senyum dikulum saja. Dipersilakan para penulis dan intelektual Indonesia untuk menilai dari berbagai perspektif. Dari pihak yang suka, tidak suka, bahkan disahkan sebagian orang membenci dan mencaci-maki.

“Apakah Anda berpendapat bahwa pikiran para penulis dan intelektual Indonesia itu sama halnya dengan kotak kosong, begitu?” tanya pewawancara.

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!