Cerpen, Fajar, Muhammad Amir Jaya

Petir

0
(0)

“Kalau begitu digergaji saja tubuh yang saling melengket itu,” usul warga lainnya. “Tapi apakah itu cara yang manusiawi untuk memisahkan mereka?” sanggah warga lainnya.

“Tidak perlu! Mayat ini di bawah saja pulang apa adanya,” kata Opu Bandu, yang sejak tadi bingung dan prihatin melihat kondisi dua mayat yang ada di hadapannya.

Persoalan selanjutnya mulai semakin keruh saat kedua mayat itu ingin disalati. Tidak ada warga yang ingin menjadi imam salat jenazah. Imam Desa yang biasanya memimpin salat jenazah, berhalangan hadir karena sedang berada di Ibu Kota Kabupaten. Imam masjid, yang juga sekaligus Imam Dusun, yang biasanya menggantikan Imam Desa ketika berhalangan hadir, juga tidak kelihatan batang hidungnya. Kata istrinya, suaminya sudah seminggu di kota Makassar mengikuti anak sulungnya yang akan di wisuda minggu depan.

Keluarga kedua mayat tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Selain menanggung malu yang tiada tara, tidak mungkin mendesak warga desa untuk memaksa menyalati kedua mayat tersebut. Apalagi cemohan dan cibiran dari sejumlah warga desa telah membuat kuping menjadi meledak.

Namun di antara sejumlah warga yang hadir di rumah duka, ada sosok lelaki tua dengan pakaian compang-camping, yang bersedia menjadi imam salat jenazah. Lelaki tua itu ditaksir berumur sekitar 80 tahun-an, dan bukan warga desa Bonto Cinde. Lelaki tua itu datang saat semua orang didera kebingungan dan saling silang pendapat terkait, apakah kedua mayat ini perlu disalati atau tidak. Dan kalau disalati  siapa yang akan menjadi imam salat jenazah.

“Nanti saya jadi imam salat jenazah,” kata lelaki tua itu.

Pihak keluarga dari kedua mayat itu tentu saja merasa senang dan gembira, karena sudah ada yang bersedia menjadi imam salat jenazah.

Baca juga  Air Mata yang Pecah di Tanah Ini

“Bagi yang mau salat jenazah, silakan ambil air wudhu,” kata lelaki tua itu dengan suara lembut.

Namun, sejumlah warga yang hadir, termasuk keluarga kedua mayat tersebut bertanya-tanya di dalam hati, siapa sesungguhnya lelaki tua itu? Dari mana asalnya. Apakah dia tinggal di desa seberang? Demikian pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk disetiap benak warga desa.

Baru saja lelaki tua itu mengangkat takbir diikuti makmun sekitar sepuluh jamaah, tiba-tiba langit bergemuruh. Guntur dan petir bersahutsahutan. Namun nun jauh di langit sana, langit memancarkan sinar terang. Tak ada mendung, tak ada hujan, bahkan tak ada hujan rintik-rintik sekalipun. Akan tetapi, guntur dan petir seolah mengamuk di langit Desa Bonto Cinde.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!