Cerpen, Endang S Sulistiya, Radar Madiun

Wijaya Kusuma

Cerpen Radar Madiun

Wijaya Kusuma ilustrasi Dani Erwanto/Jawa Pos Radar Madiun

2
(2)

Cerpen Endang S Sulistiya (Radar Madiun, 06 Februari 2022)

MEREKA mengira Menur mengotot menyaksikan wijaya kusuma mekar agar harapannya terkabul. Siapa pun tahu, yang dimiliki Menur tinggal harapan. Bisnis keluarga yang sudah turun-temurun, bangkrut di generasi Menur.

Hasil pertanian serta perkebunan berturut-turut gagal. Harta yang dulu melimpah telah ludes. Rumah megah nan luas menjadi aset sitaan bank. Sementara itu, hampir tiada orang yang tidak pernah mendengar mitos mengenai wijaya kusuma. Konon, barang siapa yang melihat mekarnya bunga wijaya kusuma, keinginannya bakal terkabul.

Entah terkait mitos atau tidak, ketika uang yang tersisa di dompet Menur tinggal seratus ribu rupiah, ia gunakan hampir seluruhnya untuk membeli wijaya kusuma yang ditawarkan penjual tanaman hias di pasar. Sampai di rumah, sebuah semburat lebam tercetak jelas di pipi Menur. Kun—suami Menur yang bertemperamen kasar—menghadiahkan pukulan maut kepada istrinya.

“Pakai otakmu, Nur! Kita butuh makan, bukan bunga!” Letupan amarah Kun terdengar hingga ke deretan rumah tetangga.

Tak sepatah kata keluar dari mulut Menur. Ia tahu membalas amarah hanya akan menyulut kebakaran menjadi lebih besar. Sebagai istri dan ibu, ia harus mampu menjadi pemadam walau hatinya sendiri redam. Mengakui kecerobohannya, Menur akhirnya menyetujui desakan Kun untuk melamar kerja ke pabrik rokok. Maka, waktu Menur pun terkuras habis untuk bekerja dan mengurus rumah. Ia tak punya waktu merawat bunga-bunganya.

“Huh, bau tembakau. Cepat mandi sana! Setelah itu langsung masak, aku dan anak-anak sudah lapar,” keluh Kun tiap petang kala istrinya pulang kerja.

Selalu seperti itu. Sesampainya di rumah usai bekerja membanting tulang, Menur masih harus disibukkan dengan rutinitas harian. Memasak makan malam, mendampingi anaknya belajar, lalu membereskan piring, gelas, dan pakaian kotor. Selesai dengan tugasnya, habis pula simpanan tenaga Menur.

Ia kemudian akan tergeletak tak berdaya di ranjang. Mengayuh mimpi hingga dijemput pagi. Bahkan ia tiada punya memori, ke mana perginya Kun tiap malam. Ia selalu mendapati Kun baru pulang ketika kokok ayam jantan berkumandang. Alasan yang disodorkan Kun, ia sibuk mencari proyek. Nyatanya tak pernah ada kabar dan hasil dari proyek yang didengungkan Kun.

Baca juga  Tidak untuk Jadi Pahlawan

Baru tiga bulan Menur melinting rokok, tapi tubuhnya sudah mengeluarkan sinyal perlawanan. Kepalanya sering mengalami pening. Dadanya kerap sesak tak tertahankan. Bahkan malam-malam terakhir ini ia terbatuk-batuk. Pula tiada lagi nyenyak tidurnya.

Kun yang tengah menikmati acara dangdut di layar televisi, langsung mengamuk kala terganggu oleh suara batuk Menur. Dengan murka, dilemparnya remot hingga terantuk lantai. Lengan kokohnya menarik pintu lantas dibantingnya dengan brutal.

Entah bagaimana bermula, sekonyong-konyong Menur teringat wijaya kusumanya. Ia menyibak selimut yang membungkus tubuhnya. Dari membelinya hingga tiga bulan terlewat, ia tak tahu kondisi tanamannya itu.

Mungkin saja jika melihat tanamannya itu subur atau menuju kuntum, perasaannya akan lebih baik. Bukankah bila perasaannya baik, sakit pun tiada akan terasa.

Menur menyeret langkahnya. Di ruang tengah, dipungutnya remot yang tadi dilempar Kun. Sekilas matanya melihat jarum jam menunjuk pukul sebelas. Menur membuka pintu dengan terhuyung. Kepalanya sebetulnya agak pusing, tetapi ia tepis.

Sesampainya di taman kecil depan rumah, awan kekecewaan menggantung pekat di wajah Menur. Taman kecilnya sungguh tidak terurus. Baru kali ini ia sempat memperhatikan dengan saksama karena terbiasa pergi pagi dan pulang malam.

Tiba-tiba paras Menur berseri-seri laksana cuaca yang berganti cerah. Wijaya kusuma yang nekat dibelinya hingga berbayar amukan Kun kini sedang kuncup. Serta-merta kebahagiaan kecil itu menyelusup ke relung hati Menur. Gegas Menur berjalan menuju samping rumah. Ia berniat mengambil air di sumur untuk menyirami wijaya kusumanya.

“Aku enggak mau ditraktir mi ayam terus. Mana janji Mas mau belikan aku tas?” Suara manja seorang perempuan dibawa angin menuju cuping kuping Menur.

Menur yakin bahwa itu suara Kenes. Tetangga sebelah rumah Menur yang baru mengontrak sebulan terakhir. Karena kesibukannya, Menur tak begitu akrab dengan perempuan yang kabarnya bekerja sebagai penjaga stan kosmetik di sebuah supermarket itu. Seingat Menur, ia baru tiga kali berpapasan dengan gadis yang senantiasa memakai riasan sempurna itu.

“Gampang, besok.” Suara berat laki-laki menjawab.

Selintas mirip dengan suara Kun, tetapi Menur mengabaikannya diimbuhi senyum sinis. Dalam pikiran Menur, jika suaminya itu mau selingkuh, tentu dilakukannya saat masih kaya raya dulu. Bukan kala kemiskinan begitu kental melekat seperti sekarang ini.

Baca juga  Seperti Bapak

Bener ya, jangan bohong lagi,” rajuk Kenes mesra.

Sekejap kemudian suara derit ranjang bercampur desah napas tidak beraturan memecah udara malam. Menur mengatur langkah mundur, ia merasa risi sendiri.

Malam-malam selanjutnya, Menur dengan penyakit batuknya yang kian parah memilih keluar rumah agar tidak membangunkan anak-anaknya yang tiga orang. Pun Menur punya ritual baru yang membuat hatinya riang. Apa lagi jika bukan menengok wijaya kusumanya yang hampir mekar.

Begitu pun dengan malam ini. Meski jaringan listrik tengah padam, Menur nekat menyambangi wijaya kusumanya dengan tintir. Penuh harap, Menur setia menunggu dari pukul sepuluh malam hingga sekuat matanya bertahan dari kantuk. Menur hanya pasrah kalau ia ternyata harus melewatkan momen istimewa mekarnya wijaya kusuma untuk kali pertama.

Masih ingin menunggu, tetapi mata Menur sudah terasa sepet. Ia akhirnya bangkit demi memberi hak pada tubuhnya untuk istirahat. Besok pagi sekali ia harus berangkat ke pabrik untuk membersihkan mesin lintingnya.

“Sabar, Mas. Jangan di sini, nanti dilihat orang.” Kenes lagi-lagi membawa pulang laki-laki ke rumahnya.

“Siapa yang lihat, gelap begini. Mati listrik pula.” Parau suara laki-laki itu tidak lagi bisa ditampik Menur. Jelas Menur dapat mengenalinya.

Dalam kegelapan malam yang semakin kelabu tanpa kerlip bintang dan lampu, Menur mencengkeram dadanya. Sesakit ini ternyata pengkhianatan itu, batin Menur sesak.

Jauh hari sebelumnya, para ibu di lingkungan sebetulnya sudah berdesas-desus. Mereka merasa geram, sama seperti yang dialami Menur sekarang. Hanya saja Bu Lurah menahan mereka berbuat anarkistis. Bu Lurah berkata bahwa ia punya cara jitu untuk mengatasi Kenes yang selalu bertingkah ganjen. Menur seratus persen setuju dengan strategi berkelas dari Bu Lurah.

Gejolak batin Menur telah mereda. Diraihnya tintir lalu melangkah mantap menuju rumah. Beberapa malam terakhir batuknya tak lagi kambuh berkat perasan air lemon dan kecap. Ia tak perlu khawatir mengganggu dengkur Azam, Asha, dan Attar. Ketiga anaknya merupakan kekuatan bagi Menur sehingga dapat melalui cobaan berat hidup. Demi masa depan ketiga anaknya itu, kemarin Menur bertengkar hebat dengan Kun.

Baca juga  Gadis Gandum

Bersikeras Kun meminta paksa sertifikat rumah yang mereka tinggali untuk digadaikan sebagai modal usaha. Tentu saja Menur tidak menyerahkannya. Sertifikat itu adalah harta satu-satunya peninggalan dari almarhum bapaknya. Kehilangan sertifikat berarti hilang juga masa depan anak-anaknya.

Belum jua punggung Menur menyentuh kasur, ia terperanjat tatkala mendapati pintu laci meja terkuak. Dengan jantung berdegar, Menur berlari dan segera memeriksa surat berharganya dengan penerangan tintir di tangan. Benar saja, sertifikat rumah itu raib.

Amarah Menur menggelegak. Matanya nyala dendam. Menur berdiri mematung di depan rumah Kenes. Geram, dilemparkannya tintir ke halaman rumah yang banyak kerikil. Nyala tintir seketika padam. Padahal suara setan dalam hati Menur mendorongnya agar melempar tintir ke papan kayu rumah Kenes. Jika hal itu terjadi, sudah pasti nyala api akan menyambar dua manusia yang tengah menyatukan raga di dalamnya.

Beruntung Menur telah mempelajari hakikat dari mekarnya wijaya kusuma. Sehingga Menur tidak terdorong ke jurang dendam. Dari wijaya kusuma, Menur meyakini bahwa setiap tindakan akan berbalas karma dengan sendirinya pada waktu yang tepat. Seperti wijaya kusuma yang akan tetap mekar meski ada maupun tiada yang menyaksikan keindahannya. ***

.

.

ENDANG S SULISTIYA. Alumnus FISIP UNS. Tergabung dalam Grup “Diskusi Sahabat Inspirasi”.

.

.

MAKLUMAT
JAWA Pos Radar Madiun menerima kiriman pembaca berupa cerpen, puisi, dan esai. Naskah berupa file Microsoft Word dengan maksimal 800 kata untuk cerpen; 500 kata untuk esai; dan maksimal 5 puisi. Cantumkan uraian singkat identitas diri dan kirimkan karya lewat surel ke alamat radarmadiun.litera@gmail.com

.

.

Loading

Average rating 2 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!