Cerpen Eko Darmoko (Jawa Pos, 19 Maret 2022)
SYAHDAN, asteroid bernomor ilmiah TGL26668 yang berkelindan mendekati bumi pada sebuah malam menjadi benih kebangkitan Pangeran Kunang-Kunang. Ribuan tahun silam, penyair asal Babilonia menyingkap dwi-nubuat reinkarnasi Pangeran Kunang-Kunang di akhir zaman. Yakni, ada asteroid nyaris seukuran bulan di orbit bumi dan punahnya binatang kunang-kunang.
Pada malam suram, John Nur menggelar ritual nyeleneh ditemani anggur merah kelas bandit di petak kuburan di pedalaman desa. Sesekali mulutnya memuntahkan kidung serapah ketika nyamuk menyengat tubuhnya yang agak menggelambir. Matanya sesekali menghunus ke atas. Langit dilihatnya serupa payudara gadis belasan tahun. Memancing berahi.
“Asu! Nyamuk mirip asu! Dasar nyamuk! Oh asu!” sembur John Nur.
Di sampingnya membentang sejarah ceroboh tentang Atlantis gubahan Arysio Santos. Sampul babad itu sudah rontok. Warna kertasnya sudah menguning dengan pinggiran rapuh digerogoti rayap dan musim. Tangannya menggerayangi rokok dalam saku kemeja ketika sebintik cahaya mengerjap di langit. Tapi John Nur belum menyadarinya, kepalanya oleng jika berlama-lama mendongak ke langit. Korek dinyalakan ketika bibirnya mengempit sebatang rokok apek.
“Mengapa manusia harus membikin punah kunang-kunang? Mengapa manusia tidak membinasakan nyamuk saja?” desirnya selepas semburan asap rokok, anyir serupa kafan tua.
John Nur tak membutuhkan lilin dan sentolop. Ringis rembulan sudah cukup menerangi hidupnya yang absurd di malam yang suram. Jerit jangkrik, desis danyang, dan rintihan roh halus di sekelilingnya lenyap ketika seorang lelaki datang mengejek.
“Buang harapanmu, John! Kunang-kunang mustahil kautemukan di kuburan ini. Ilmuwan sudah menjatuhkan vonis; kunang-kunang punah ketika usiamu setengah abad.”
“Ah, culun! Tahu apa kau tentang biologi. Kau tidak membaca ramalan Babilonia.”
“Terserah kau sajalah, babi.”
“Nyambik!”
“Babi!”
“Kau pasti belum membaca berita yang dirilis NASA tentang asteroid TGL26668. Pergaulanmu hanya seluas situs cabul.”
“Masih percaya kau dengan berita sampah macam itu?” ucapnya sambil mengacungkan jari tengah, lalu melompat ke dalam parit, hilang ditelan malam.
“Sampah masyarakat! Pecandu dada siswi madrasah. Tukang onani.”
John Nur membuka acak halaman babad Atlantis. Dilihatnya gambar Gunung Anak Krakatau. Dalam bingkai gambar itu ada tulisan tangan, sangat jelek, hurufnya kecil, hanya John Nur dan iblis yang bisa membacanya. Tulisan itu adalah penggalan sajak penyair Babilonia ihwal Pangeran Kunang-Kunang yang dicomot John Nur dari situs berbayar.
Dalam kelebat penerawangan John Nur, terhampar padang rumput mahaluas tak bertepi. Seorang lelaki mengambang tidak menyentuh bumi. Sayap-sayapnya mengibas menggetarkan udara. Kakinya tergaruk ujung ilalang setinggi celeng. Rambut ikal gondrongnya menjuntai, harum daun pandan.
“Pangeran Kunang-Kunang pasti datang. Entah di belahan dunia mana…”
Kuburan mendadak bertambah bising oleh jerit jangkrik, diikuti ocehan kodok. Rintihan roh halus dan desis danyang makin keras. John Nur mendengarnya sangat jelas. Sejak masih ingusan, cowok jebolan jurusan filsafat sebuah kampus di ibu kota ini sudah memiliki keahlian nujum dan klenik. Awalnya John Nur merasa risi melihat dan mendengar kegaiban. Tapi lambat laun, ia mulai terbiasa dan nyaman. Apalagi ketika kuntilanak binal bersandar di bahunya; membuat John Nur menggelinjang.
“John, pulanglah!” pekik danyang kuburan. ”Ayahmu kumat lagi, makan botol bensin.”
“Cuih, itu sudah biasa. Masih untung makan botol. Seminggu yang lalu dia makan lampu taman,” balas John Nur sambil matanya sebentar mendongak ke atas. Melotot. Senyum giras terbit di wajahnya.
“Diancuk, nubuat itu benar. Pangeran Kunang-Kunang yang kuidolakan akan bangkit.”
Sekonyong-konyong, suara tumbukan terdengar gamblang. Puting beliung menari di atas kuburan. Gerombolan pohon juwet bergoyang aduhai. Atap bangunan di sekitar kuburan menjadi semburat. John Nur bingung ketika mendapati sekujur tubuhnya bercahaya dan sayap-sayap tumbuh di punggung, merobek kemejanya.
“Raga yang dijanjikan. Berbahagialah!” suara ampuh menikam telinga John Nur.
“Kau siapa, heh?”
“Tak penting aku siapa. Yang jelas ragamu terpilih sebagai suaka roh Pangeran Kunang-Kunang. Bangkitlah! Bangkitlah!”
“Ah, tai. Kau siapa? Tunjukkan rupamu!”
“Dasar tolol.”
John Nur tersungkur sejenak ke tanah kuburan yang agak basah. Tangisnya menyeringai memecah malam suram. Kepalanya mendongak, bulan dilihatnya berwarna merah darah. Sejurus kemudian, tangisnya berubah menjadi kelakar bengis.
“Akulah Pangeran Kunang-Kunang!”
“Kau sudah menyadarinya,” suara ampuh itu kini menghunjam jantungnya.
“Jerangkong! Akhirnya aku bisa melihatmu!”
“Bukankah kau sudah membaca berita tentang asteroid TGL26668 itu?”
“Sudah dong!”
“Gelombang magnet buah dari radiasi kimia asteroid TGL26668 yang melintasi orbit bumi memicu peremajaan biologi pada roh Pangeran Kunang-Kunang.”
“Masuk akal.”
“Berhubung bangkai Pangeran Kunang-Kunang sudah lenyap dimakan cacing di galaksi lain jutaan tahun silam, ragamu yang dipilih. Raga yang dijanjikan.”
“Keuntungannya bagiku apa?”
“Nanti kau juga akan tahu. Jangan banyak cincong. Sekarang nikmatilah! Kau berhak menyandang nama Pangeran Kunang-Kunang TGL26668 dengan nomor seri AN53.”
Suara ampuh itu tak terdengar lagi. John Nur masih diselimuti nelangsa. Suasana sekitar berubah menjadi normal secara ajaib. Tak ada bekas-bekas kerusakan akibat tumbukan keras dan puting beliung. John Nur ingin pulang. Ketika akan melangkahkan kaki, tiba-tiba sinyal misterius mengirim pesan pada otaknya. “Gerakkan sayapmu, bodoh!” Dan, cihui, John Nur melayang-layang di atas kuburan, kemudian menjurus pulang ke rumah.
Ayahnya duduk selonjoran di teras, kaget ketika melihat John Nur mendarat tepat di hadapannya. Botol bensin jatuh dari genggamannya, sudah separo dimakan.
“Kau siapa? John Nur?” ayahnya penasaran.
“Benar. Aku anak kesayanganmu. John Nur.”
“Mengapa tubuhmu bercahaya seperti kunang-kunang? Sayap-sayap mainan itu dari mana kau mencurinya?”
“Ini bukan sayap mainan. Ini tulen dan paten. Tubuhku dianugerahi cahaya. Sekarang namaku Pangeran Kunang-Kunang TGL26668. Tapi kalau ayah keberatan dengan nama itu….”
“Kau tetap John Nur,” sambar ayah sebelum John Nur menuntaskan kalimatnya.
“Oke, sesuka ayah saja.”
“Kau masih ingat seminggu yang lalu aku makan lampu taman?”
“Ingat.”
“Aku memakannya karena aku ingin tubuhku bercahaya seperti lampu taman.”
“Licik!”
“Sekarang aku ingin memakanmu, John. Aku ingin memiliki tubuh bercahaya.”
“Ah, ayah kumat lagi.”
“Anak durhaka. Semoga kau dikutuk jadi babi.”
“Mustahil kunang-kunang jadi babi.”
Tanpa disadari John Nur dan ayahnya, warga kampung sudah menyemut di depan rumah mereka. Warga kompak mengarahkan bidikan kamera ponsel ke arah John Nur. Melihat keseruan warga yang sedang merekamnya, John Nur merasa bangga dan girang.
“Pasti viral,” ucap seorang warga.
“Iya, viral dong,” celetuk warga lainnya.
“Silakan diunggah. Aku pasti viral. Terkenal. Nama desa ini akan terangkat. Panggil aku Pangeran Kunang-Kunang TGL26668,” balas John Nur.
Pada waktu yang sama, di tempat yang berbeda, di sebuah gurun jahanam di California Selatan, markas NASA gempar karena menangkap sinyal misterius dari Jawa Timur. Para dedengkot NASA menduga-duga bahwa sinyal itu buah pancaran UFO yang mendarat di bumi.
“Aneh! Apakah UFO mendompleng asteroid TGL26668 untuk mendarat ke bumi?” mulut dedengkot NASA berbisik pada kompatriotnya.
“Apakah UFO itu mengangkut bangsa alien?” bisik lainnya, menggarami.
“Segera kirim jet siluman ke lokasi pendaratan UFO dan ciduk alien itu dengan metode penyedotan! Awak yang ikut utamakan yang paham bahasa setempat,” ucap bos NASA.
Ketika warga kampung terlelap, ketika embun subuh merayapi dedaunan, suasana mendadak mencekam di sekitaran rumah John Nur. Jet siluman meraung-raung membuyarkan mimpi warga kampung. Kumandang azan kalah oleh deru mesin. Sejumlah awak terjun mendarat di tanah lapang di samping rumah John Nur, sementara jet siluman masih mengambang di udara.
“Anjing!” umpat John Nur sambil mengucek mata dengan ujung sayapnya.
“Hei kecoak, keluar!” terdengar teriakan dari luar.
“Iblis apa lagi ini, heh?” John Nur membanting pintu rumah. Ayahnya tergeragap, tapi kembali melanjutkan mimpinya. Warga kampung kembali datang menyemut, merekam peristiwa janggal yang mereka saksikan.
“Kau harus dimusnahkan! Kehadiranmu akan membahayakan peradaban,” kata seorang awak jet siluman sambil menunjuk jidat John Nur dengan tombak hologram.
“Kalian siapa? Celakalah kalian sudah mengusik ketenangan Pangeran Kunang-Kunang TGL26668. Buka penutup kepala yang kalian pakai. Bahasa Indonesia kalian terdengar aneh.”
“Nama aslimu siapa?” awak jet siluman lainnya bersuara.
“Pangeran Kunang-Kunang TGL26668 nomor seri AN53.”
“Jangan bikin hoaks, cecunguk! Siapa nama aslimu? Setidaknya kami ingin tahu nama aslimu sebelum meledakkan batok kepalamu.”
“Bacot!” sayap John Nur mengepak, mentari mulai genit meringis di atas sana. ”John Nur nama asliku, huh. Puas?”
“Oh, jenis baru. Kami kira, kamu adalah Sukra atau Djarot yang bangkit dari semaput abadi,” kata awak jet siluman pembawa alat penyedot alien.
“Siapa Sukra dan Djarot? Aku tidak kenal mereka,” mata John Nur melotot, sedikit terhalang oleh rambut gondrongnya.
“Mereka adalah demit rekayasa bioteknologi dan zombi buah energi kosmis meteorit rancangan Master Sony Karsono di abad 20.”
“Hah, siapa itu Sony?”
“Dia trubadur ulung. Cerpennya tentang meteorit sangat masyhur di tahun 1990-an. Ah, sudahlah, jangan banyak tanya! Rasakan ini!”
“Eh, tunggu dulu, broer! Mau kalian ini sebenarnya apa sih?”
“Membunuh kecoak macam kau, tolol.”
“Sepenting itukah aku buat kalian? Aku hanya manusia jebolan jurusan filsafat. Bisakah aku mengancam dunia seperti yang kalian tuduhkan kepadaku?”
“Sudah, lakukan metode penyedotan!”
John Nur merasakan siksa daya tarik magnet mahadahsyat. Tubuhnya kejang-kejang. Cahaya di tubuhnya berpendar-redup tak beraturan. Sayap-sayapnya lumpuh. Sementara warga kampung terbengong-bengong melihat insiden ini. Logika tak diperlukan lagi.
“Ampun! Ini bukan keinginanku. Aku hanya korban dari raga yang dijanjikan. Bebaskan aku!” John Nur menyeringai ketika tubuhnya menggelepar di tanah seperti ayam usai digorok.
“Bodo amat!” awak jet siluman terus mengarahkan alat penyedot ke tubuhnya.
“Aku bukan debu yang harus disedot. Sudahi hukuman ini, bajingan!”
“Debu? Ya, kau adalah debu yang mengotori semesta ini. Kau harus mampus.”
“Tidakkah kalian membaca sejarah Babilonia atau berita yang dirilis NASA?”
“Hohoho, justru karena itulah kami ingin melenyapkanmu.”
Tubuh John Nur alias Pangeran Kunang-Kunang TGL26668 mangkat dari pandangan mata ketika pagi di fase ranum. Warga kampung ngacir, ketakutan, menggigil, cemas.
“Hei alien, kalian boyong ke mana anakku?” jerit ayah John Nur dari ambang pintu.
“Ke Manhattan, bandot tua.” ***
.
.
EKO DARMOKO. Prosais kelahiran Surabaya. Buku kumpulan cerpennya Revolusi Nuklir (Basabasi, 2021) masuk 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021. Kumpulan cerpen lainnya berjudul Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015). Bergiat di Komunitas Sastra Cak Die Rezim Surabaya.
.
.
![]()
Leave a Reply