Cerpen, Firman Fadilah, Radar Kediri

Travelogue (2)

Travelogue - Cerpen Firman Fadilah

Travelogue ilustrasi Afrizal Saiful Mahbubi/Jawa Pos Radar Kediri

5
(1)

Cerpen Firman Fadilah (Radar Kediri, 22 Mei 2022)

KUDA dipacu. Dalam kelompok dan barisan-barisan yang memanjang, membelah daratan, sungai, laut, lembah, dan gurun, para saudagar membawa barang-barang dalam karavan yang dibebankan di punggung kuda menuju negeri-negeri jauh. Dari daratan yang masyhur dengan sutra dan teh, mereka berkelana, mengenalkan kebudayaan dan menciptakan peradaban baru. Perjalanan dimulai.

Musim dingin akan segera mengambil alih putaran waktu. Sutra, lembut dan hangat, menyelimuti perjalanan tubuh mereka. Melalui jalur ini, para saudagar dari belahan bumi Timur dan Barat saling leluasa terhubung untuk bertukar barang yang tidak mereka temukan di negara asal.

Chen, seorang lelaki Asia, putih, berkumis tipis, dan bermata sipit menuntun seekor kuda. Kuda itu berperawakan kecil. Karavan yang ditariknya cukup besar dan berisi. Berlembar-lembar kain sutra dan gerabah memadati isi karavan. Namun, di dalamnya lebih banyak berisi perbekalan—makan dan minum—untuk beberapa minggu ke depan atau bahkan bulan sebelum akhirnya ia dan rombongannya sampai ke negeri tujuan, Mesir.

“Kapan kita sampai, Ayah?” tanya seorang anak kecil. Suaranya lirih, selirih semilir angin musim dingin.

“Mungkin satu atau sepuluh tahun lagi,” jawab Chen.

“Oh,” balasnya datar saja. “Masih lama ya?”

Chen mendengkus. Ditariknya urat kesabaran dari hatinya yang paling dalam. Jika saja anak kecil itu bukan anaknya, mungkin dia sudah meremas-remas anak itu, kemudian melemparkannya ke tengah tanah lapang dan terbiar menjadi santapan burung.

“Sudah berkali-kali kaumenanyakan hal itu, Fai. Kita bahkan belum keluar dari daratan Cina! Kau diam saja di sana dan pastikan sutra itu tetap bersih. Kain itu akan dipakai oleh kaisar-kaisar Mesir.”

Baca juga  Cinta Itu Buta

“Baik, Ayah.”

Hari, minggu, dan bulan mereka habiskan dengan menyusuri Jalur Sutera. Mereka singgah di kamp-kamp untuk bertukar barang dagangan dengan emas atau dengan barang lain. Mereka saling bercengkerama dengan saudagar-saudagar lain dari negeri-negeri asing yang datang dari belahan bumi Timur dan Barat. Mereka bertukar bahasa, mengenalkan budaya, kebiasaan, adat istiadat, bahkan keyakinan.

Hidup mereka tergadai di tengah perjalanan seolah-olah langit adalah atap dan tanah adalah kasur. Ada yang singgah, lalu menikah. Mereka menetap hingga membentuk suatu perkampungan yang baru.

Perbekalan telah terisi penuh kembali. Sebagian barang telah terjual. Chen dan rombongan melanjutkan perjalanan. Jarak masih terbentang panjang.

Rombongan Chen berarak-arakan melalui jalur Selatan. Mereka telah melewati bermacam-macam kampung dan orang-orang baru. Sebentar lagi, mereka akan sampai ke tanah Turkistan.

“Ayah, kapan kita berhenti? Aku sudah tak sabar ingin segera menikmati makanan dari daratan ini. Kata Kakek, kuahnya berwarna merah kekuningan dan rasanya pedas,” ucap Fai yang tak pernah letih bertanya.

“Tanyakan saja kepada Kakekmu. Mengapa dia memberi kita warisan kuda yang sudah renta dan sudah tak bertenaga ini!?” Chen tampak kesal.

“Tapi ini sudah malam, Yah. Kalau ibu tahu, pasti dia akan sangat marah.”

Chen tertegun. Pria itu menoleh ke belakang, “Perjalanan masih panjang, Nak. Baiknya kamu tidur saja. Nanti dibangunkan saat kita berhenti cari makan,” ujarnya sambil tersenyum. Seketika, Chen rindu isterinya.

Dari kejauhan, tampak lampu-lampu berpendar. Obor minyak merah menyala menerangi sebuah bangunan besar. Tempat itu terlihat sangat ramai dan megah dengan gemerlap lampu-lampu yang mengelilinginya. Para saudagar senang. Malam ini, mereka bisa beristirahat di sana tanpa khawatir akan gangguan penyamun dan hewan buas.

Baca juga  Pokaewa Adhara

“Lihat! Itu caravan serai [1]. Kita akan bermalam di sana,” seru salah satu rombongan.

Malam makin pekat. Beberapa bintang jatuh melintas di kaki langit. Chen dan anaknya Fai segera mencari toko yang menjual hidangan khas tanah ini. Setelah itu, mereka akan mencari penginapan.

Di tengah keramaian orang, tampak seorang lelaki berpakaian tertutup layaknya sebuah jubah sedang menawarkan kuda jantan yang gagah dan besar. Di kepalanya, ada sebuah kain panjang yang diikat melingkar hingga menutupi bagian atas kepalanya. Chen tampak tertarik.

“Apakah kuda itu dijual? Saya tertarik dengan kuda itu.” tanya Chen.

“Iya, Tuan.”

“Saya hendak menukarkan kuda saya dengan kudamu.” Chen menunjuk kudanya yang tua dan ringkih itu.

Lelaki berjubah itu tampak tidak tertarik. Pasalnya kuda milik Chen tampak tidak bertenaga seolah-olah tidak ada lagi harapan untuk berumur panjang.

“Maaf, Tuan. Kuda itu kurus sekali. Jika Tuan tertarik dengan kuda saya, Tuan harus menukarkannya dengan barang yang sepadan.”

“Baiklah. Saya punya kain sutra. Harganya lebih mahal dari kudamu. Kau juga harus memberi saya barang lain sebagai tambahan.”

“Ya Rabb! Saya sudah tidak punya apa-apa, Tuan.”

“Kau punya.”

Transaksi terjadi. Chen senang karena ia mendapatkan kuda baru yang lebih besar dan bertenaga. Ia juga mendapat barang tambahan, sebuah kain yang melilit di kepala lelaki berjubah itu. Dengan kuda ini, Chen bisa sampai di negeri tujuan beberapa hari lebih cepat. Mesir masih jauh. Mungkin butuh waktu satu atau dua tahun lagi. ***

.

.

Catatan:

[1] Tempat istirahat kafilah dagang saat jalur sutra masih aktif.

.

24 Nov. 2020

.

Travelogue (2). Travelogue (2). Travelogue (2). Travelogue (2).

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!