Cerpen Khanafi (Solopos, 13 Mei 2023)
MALAM menyusup seperti jubah malaikat maut. Kubiarkan ia berkibar ke dinding kamarku yang tak berpenerang.
Aku sudah tahu sesuatu akan datang meski aku tak usah melihat keluar melalui jendela kamar terbuka itu. Firasat. Apalah namanya menurutmu.
Aku merasakan ada yang terbayang di pikiranku sebelum senja angslup ke tebing barat itu. Pada suatu ingatan aku pernah manatapnya dari tebing di pinggir lautan. Senja itu seperti wajah perempuan yang pernah kucintai yang kini terbayang begitu kuat ketika gelap merambat-memekat.
Seperti malam bagi para orang tua. Malam di kamarku ini seperti sebuah akhir, seperti takdir, kuharap demikian bagi penantian panjangku pada hidup yang lain, hidup yang tidak menjemukan, yang tidak renta, yang tidak rawan terancam pecah dan sendiri-sendiri seperti nasib para orang tua, sepi.
Malam barangkali adalah perjalanan terpanjang seperti mengenal kedalaman rasa perempuan. Malam mengenakan celana yang menyembunyikan rahasia dalam goa-goa waktunya. Malam juga bergincu keputihan seperti sabit untuk mengarit rerumputan di sawah. Malam juga berkelip matanya seperti cahaya pada air mata ketika menangis, dan seterusnya.
Aku belum tua. Aku berumur 26 mendekati 27. Tapi impianku tua sekali dan matang serupa buah mangga di halaman rumah kakek yang kini kosong itu.
Sekali lagi perempuan yang dulu kulihat dalam ingatan sebelum kata perpisahan itu berkembang sedemikian hampa, kini menampakkan bibir kemerahannya pada waktu menjelang malam. Ya tadi barusan.
Ini malam sudah berapa kali memonyongkan masa lalu yang itu-itu juga, sendu. Aku bosan ketika waktu mengulumku dan membiarkan senyum lenyap dari bibirku setelah sadar bahwa bayangan itu palsu.
Di cermin itu senyum meninggalkan bibirku pada dingin bibirmu yang tiada lagi bekasnya di bibirku.
“Seperti senyum seorang penjahat?”
“Apakah penjahat suka tersenyum?”
“Kalau begitu malaikat?”
“Malaikat maut tersenyumkah?”
Sebuah percakapan dalam cermin yang dihapus malam yang berjubah seperti maut dengan tongkat sabitnya memenggal waktu di urat lehermu. Ini barangkali hanyalah sebuah khalayan sebelum aku beranjak meninggalkan ranjang untuk menutup jendela dan memberi penerang pada kamar yang tak pernah sempat dirapikan ini.
Aku berusia 26 hampir 27. Aku seorang lelaki yang merindukan perempuan yang kini tak ada lagi di sisiku, yang mungkin saat ini ia berada di sisi lelaki lain yang tak pernah kukenal dan jika aku melihatnya sekali saja aku bisa amat marah, mungkin akan kutantang lelaki itu untuk memenangkan hatimu, atau justru kubutakan mataku dari melihatnya agar kamu senantiasa ada di ingatanku dan lelaki lain itu kuganti sebagai aku sehingga yang kukenang adalah kamu yang tengah memelukku dengan mesra. Persetan!
“Apa aku cantik?”
Begitu katanya suatu kali padamu ketika tengah duduk bersama menatap senja yang belum sempat mencuri wajahmu untuk kukenang selamanya lewat sebuah jendela.
“Tentu.”
“Apakah aku akan tetap cantik?”
“Selalu cantik untukku.”
Betapa gombal aku waktu itu. Apa saja yang meluncur dari bibirnya sebagai pernyataan, terutama memuji dirinya sendiri pasti kujawab dengan yakin sesuai yang diharapkannya dan dia senang. Aku pun senang.
Aku tak pernah tahu kalau pernyataannya itu sebenarnya tidak pernah betul-betul ditujukkan untuk kujawab, tetapi ia mengonfirmasi apakah dirinya benar-benar pantas mendampingi lelaki yang jauh lebih tampan dariku. Sialnya aku tidak pernah berprasangka buruk begitu.
Kamarku telah melindungiku dari intaian jubah maut yang berkelebat di luar jendela. Ia tak bisa membunuhku begitu saja walaupun aku berharap segera mati.
Tapi yang lebih penting adalah bahwa masih tersisa pertanyaan di kepalaku yang belum selesai tentang perempuan di masa lalu itu.
Aku masih penasaran dengan kata-kata yang diucapkannya yang kini masih menjadi teka-teki buatku. Ada motif apa di balik kata-katanya yang lewat perjalanan waktu mulai terbukti tidak menghadirkan aku melainkan dirinya dan orang lain.
Aku berkeras menolak lupa atas kejahatan perasaan itu. Maka aku menutup jendela untuk membuatnya tampak jelas di bawah lampu kamarku. Maka kubiarkan malam dan jubah maut itu berkelebat dan bergentayangan tanpa bisa menyentuhku.
Pintu telah kukunci pula. Kini tak ada lagi kegelapan yang merambat ke kamarku kecuali bayangan dari tubuhku sendiri dan benda-benda yang membias ke pelosok dinding.
Jam melirik mataku dan malam seakan terus merambat di jantung jarumnya. Dunia mimpi seakan mau menyambutku pada sebentuk pil tidur yang terbaring tidur di meja itu. Sebuah novel detektif terbuka seolah menyerahkan kasusnya pada lampu yang menyala.
My Name is Red, aku suka membaca kisah cinta di dalamnya. Pamuk seakan menghiburku yang tak pernah mengalami romantisme cinta semacam itu. Barangkali aku adalah Eneste Effendi yang tergeletak di sumur tua seperti Syams, sebuah batu masa lalu memukul kepalaku dari arah belakang jam.
“Namaku Eva.”
Ia memperkenalkan diri seperti tokoh-tokoh dalam cerita Pamuk di buku itu. Sebuah pil tidur memanggilku.
“Tenanglah dan bermimpilah.”
“Apakah ini sebuah halusinasi?”
Suara detik memotong kalimat-kalimatku menjadi “apa-kah-su-ara-ini-se-bu-ah-ha-lu-si-na-si-?” Tak ada yang bersuara selain diam yang rata di tembok biru itu. Dan malam masih berkelebat di luar dengan jubah mautnya.
Sekarang malam mengganti celana dalamnya dan berbaring di sampingku. Ia memelukku dalam mimpi-mimpi aneh, dengan kilasan-kilasan cahaya yang aneh dari masa lalu. Wajah siapa tak pasti lagi. Kemudian perempuan itu jatuh dari jarum jam panjang yang jatuh di angka enam pukul tengah malam itu.
“Kau mencintaiku?”
“Apakah aku masih cantik?”
“Kenalkan ini kekasihku.”
Mataku sudah tak ingat lagi apa yang hinggap sejak pil itu lari ke perutku untuk tidur selamanya sebagai kenangan. Kegelapan seperti jubah maut memelukku dengan penuh semenjak lampu memutuskan cahayanya dan memperalat tanganku agar ia bisa padam menjadi malam.
Aku terbangun karena kebelet kencing. Sesosok berjubah hitam, pasti itulah maut, datang menyapaku di dekat pintu.
“Sudah bosan dengan dia?”
“Siapa?”
“Perempuan itu?”
“Tapi aku mencintainya.”
“Dia telah menikah dengan lelaki lain.”
“Dari mana kau tahu? Apakah kau Tuhan?”
“Aku maut yang telah menjemputnya di hari Sabtu lalu.”
“Maksudmu kau telah mengamankan perempuan itu?”
“Ya.”
Aku berpikir sambil menahan kesadaranku yang surut.
“Apakah kau siap melupakannya?”
“Aku ….”
Aku adalah lelaki 26 menjelang 27 tahun. Di tanah ini aku dimakamkan oleh malam dengan jubah mautnya. Ia rupanya sosok perempuan yang dulu pernah kupuja-puja, yang dulu menghianatiku, yang dulu suka menyatakan tapi yang sebenarnya mengukuhkannya sebagai pencinta lelaki yang jauh lebih tampan dariku.
Aku akhirnya berurusan dengan seorang petugas konseling di sebuah rumah sakit. Ia menyarankan aku untuk melemparkan pil ke dalam perut sebelum mimpi tiba di saraf-saraf otakku. Aku ….
Semua tetanggaku berkerumun di sekitar rumah tempat aku mati itu. Mereka telah mengantarku ke sebuah permakaman dengan baju hitam-hitam. Seekor burung koak-koak mengabarkan keberangkatanku. Mereka bergunjing tentang kematianku.
“Dia gila.”
“Dia bunuh diri.”
“Dia menelan segenggam pil tidur.”
“Dia seorang pemurung yang ….”
“Perempuan itu kemarin mengunjunginya untuk terakhir kali.”
“Kini perempuan itu tak kelihatan lagi.”
“Katanya perempuan itu telah menikah dengan lelaki lain.”
“Jadi dia bunuh diri?”
Dan seterusnya.
Aku telah dimakamkan sebagai seorang pengidap bipolar. Orang-orang mengira aku baik-baik saja sejak lama. Mereka … aku tak bisa bercerita lagi. Sesuatu di kepalaku kini benar-benar malam. Tolong biarkan aku tenang terbaring di tanah ini. Hai, tuan penulis, kau kejam padaku! ***
.
.
Khanafi, lahir di Banyumas, Jawa Tengah. Tulisan-tulisannya tersiar di media daring maupun cetak. Sehari-harinya bekerja sebagai editor lepas, penerjemah, perancang sampul buku, dan penjual buku-buku lawas. Sekarang tinggal bersama keluarga di Srandakan, Bantul, Yogyakarta, dan tengah menyelesaikan novel perdananya juga sebuah buku terjemahan. Buku kumpulan puisinya yang telah terbit berjudul Akar Hening di Kota Kering (2021).
.
Malam di Kepala Tokoh Aku. Malam di Kepala Tokoh Aku. Malam di Kepala Tokoh Aku.
![]()
Leave a Reply