Asma Nadia, Cerpen

Telepon Pinky

Telepon Pinky - Cerpen Asma Nadia

Telepon Pinky ilustrasi Istimewa

4
(6)

Cerpen Asma Nadia

KEINGINAN itu begitu kuat. Ia ingin menelepon. Deras, menggelitik, tak bisa ditawar-tawar. Ia harus menelepon.

Ada jalinan manis dulu. Mungkin cinta. Meski cuma sesaat.

Sampai di situ, Inne menggeleng. Tidak! Tiga tahun bukan waktu yang pendek, pikirnya tak sepakat. Begitu banyak cerita indah yang menyisakan kenangan. Begitu banyak senyum dan tawa.

Pertemuan mereka memang singkat. Tapi hubungan jarak jauh yang kemudian terbina, berjalan mulus. Surat-surat, kartu ulang tahun, kartu valentine, hadiah-hadiah kecil. Semua itu pernah meramaikan masa remajanya dulu. Tiga tahun yang ceria. Tiga tahun yang pinky, penuh keromantisan bersama lelaki itu. Mas Aan.

Pertama kali mengenal cowok Jogja tulen itu ketika ia menemani Mama bersilaturahim ke tempat guru Mama ketika SD dulu. Sambutan hangat keluarga guru Mama tersebut, tidak membuat Inne terbebas dari rasa rikuh dan sungkan. Maklum, ia asing sama sekali dengan guru tersayang yang disebut-sebut Mama.

Perasaan itu baru cair ketika tiba-tiba, “Halo! Kenalkan, saya Anindra. Lengkapnya Anindra Wisnuhadi. Kalau siang panggil saya Aan. Kalau malam panggil saya Ani.”

Suara baritonnya ramah mengusap telinga Inne, memancing senyum. Tak perlu mendongakkan kepala untuk melihat sebuah tangan gagah kecokelatan terulur di hadapannya.

Inne ingat, ia sempat tersipu. Tapi segera saja kagum melihat pancaran cerdas yang berasal dari dua bola mata hitam pekat di balik kaca mata minus yang dikenakan cowok itu.

Saat tangan mereka bertaut, seketika itu juga kerikuhan Inne gugur. Berikutnya yang diingat, dia sudah berada di teras kamar Mas Aan, lengkap dengan saudara-saudara lelaki itu yang bejibun. Lima orang—bukan jumlah sedikit dalam pikiran Inne.

Gadis yang masih duduk di kelas dua SMP itu ingat, betapa ia begitu semangat, hingga pipinya merah, saking kuatnya menyanyi diiringi dentingan gitar Mas Aan. Lagu jadul “Kau Seputih Melati” Dian Pramana Putra pun mengalun. Jauh dari indah, mengingat lelaki itu mengumandangkan dengan logat Jawa plek, sementara ia lebih tepat disebut berteriak daripada bernyanyi.

Tapi kenangan mereka indah. Mas Aan menuliskan ‘Inne’ dalam huruf-huruf Jawa di atas kartu berwarna merah. Juga menuliskan nama dan data-data cowok itu di balik kartunya. Dalam pikiran usia mudanya, Inne merasa hal itu sangat manis dan layak dikenang. Juga saat ia mengobrak-abrik isi kamar Mas Aan, bersama saudara-saudaranya yang seabrek tadi, dan menemukan buku rapor yang luar biasa. Luar biasa bagus dan luar biasa membuatnya minder. Angka terkecil yang ada di buku itu adalah sembilan. Itu pun hanya satu. Yang lainnya berderet nilai sepuluh!

“Aan itu pelajar teladan se-Jogja, Inne. Dia baru saja meraih PMDK untuk Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil!”

Mbak Wiwi, kakak Mas Aan, menerangkan dengan antusias. Mendadak ia merasa begitu kecil dibanding cowok Jogja tadi.

Singkat kata, ia jatuh suka. Lebih-lebih karena mereka berboncengan motor saat pulang. Mbak Wiwi memboncengkan Mama, dan dia … tentu saja bersama Mas Aan.

Mereka bercanda. Tertawa.

Satu lagi. Saling berjanji menulis surat.

Sekali pertemuan. Tapi Inne, gadis kecil yang SMP pun kala itu belum tamat, boleh berbangga hati.

Tak sampai seminggu, sebuah surat bercoretan bibir Mick Jager, diterimanya. Pengirimnya? Anindra Wisnuhadi.

***

Baca juga  Sawah Subarang

Semula peristiwa saat remaja itu nyaris terlupakan. Ia sendiri tak ingat kenapa hubungan mereka kemudian tiba-tiba terhenti. Dimulai dari rasa asing, tawar, dan tiba-tiba … stop. Mereka tak lagi berkirim surat dan memberi kabar. Barangkali karena saat itu ada teman lain yang hadir, lebih nyata dan jauh melebihi tulisan atau untaian kata.

Keinginan menelepon cowok itu, apalagi membawa nostalgia merah jambu mereka, sebelumnya sama sekali tak pernah tebersit di benak Inne, yang sekarang sudah jauh lebih dewasa. Minggu depan ia berusia dua puluh tiga. Kuliahnya sudah setahun lalu selesai. Orang bilang ia cerdas. Tapi setiap kali itu pula hatinya membantah.

“Cerdas? Kamu belum lihat orang yang hanya memiliki satu angka sembilan di rapornya, karena yang lain bernilai sepuluh. Itu baru cerdas!”

Kekaguman Inne rupanya tak pernah hilang. Ia sendiri kaget, ketika menyelami suara hatinya. Tak pelak lagi. Hanya satu orang yang punya nilai seperti itu. Dan suka atau tidak, ia harus mengakui sekonyong-konyong dirinya dilanda rasa penasaran, dan barangkali kerinduan. Apalagi setelah dalam satu upaya bersih-bersih di rumah, ia menemukan surat-surat lama, kartu-kartu lama, hadiah-hadiah kecil itu … kerinduannya pun meluap.

Tapi salah kalau teman-temannya mengira cinta pertama itu yang membuatnya rindu. Sama sekali salah. Setidaknya menurut gadis itu sendiri.

“Lantas?”

Sita, teman kampus yang dijadikan tempat curhatnya tampak tak mengerti.

“Aku cuma penasaran. Rindu.”

“Rindu itu tanda-tanda cinta!”

Inne menggeleng.

“Tidak. Ini bukan cinta. Ini cuma rindu masa lalu. Kenangan. Penasaran terhadap nasib kawan baik.”

“Bohong!”

“Hei, jangan menuduh!”

“Si Aan itu bukan kawan baik. Kamu sendiri ngaku dulu pernah naksir dia. Ya, kan?”

“Tapi itu dulu! Sekarang cuma rindu yang alami, yang wajar ….”

Sita tampak kukuh dengan pendapatnya.

“Inne, cuma ada satu alasan kenapa kamu tiba-tiba penasaran dengan Anindra-mu itu. Cinta! Titik!”

Kepala Inne menggeleng lagi.

“Ini bukan cinta! Cuma kangen terhadap masa lalu. Apa salahnya aku tahu kabarnya sekarang? Tinggal di mana? Bekerja di mana?”

“Sudah married atau belum? Kalau sudah sama siapa? Impulsif!” kalimatnya diserobot Sita dengan memanyunkan bibirnya.

Ya, itu betul. Ia juga ingin tahu itu. Tapi … ahh, ini bukan cinta!

Menyaksikan wajah Inne yang menjadi muram, Sita, gadis berkerudung itu menyerah juga.

“Terserahlah.”

“Jadi aku boleh menelepon?”

“Tak ada salahnya menelepon. Lagian memangnya aku bagian perizinan?”

“Bukan. Bukan perizinan. Tapi controlling! Hehe.”

Inne serta merta memeluk Sita.

“Yang salah, kalau kamu punya ekspektasi berlebihan, Ne. Padahal dia mungkin sudah punya kehidupan sendiri. Hati-hati dengan perasaanmu, ya!”

Ia tak bisa menahan bintang untuk tak menari-nari di matanya. Sita pasti melihat keriangan itu. Biar saja.

Sita memang begitu. Petuahnya soal jaga hati, manajemen kalbu dan segala macam memang khas. Di kampus dulu Sita memang anak Rohis, yang punya kuliah segudang soal akhlak dan hati. Lebih-lebih soal cinta.

Inne belum mengenakan kerudung seperti teman baiknya itu. Tapi kebaikan memang menjadi milik nurani. Mungkin itu pula yang membuatnya merasa bersalah jika tak membagi niatnya dengan gadis hitam manis berkerudung itu.

Komen Sita bisa ditebak, kan? Apa tadi kalimatnya terakhir?

Hati-hati dengan perasaanmu, ya!

Sita, ia hanya ingin menelepon. Take it easy! Cuma menelepon. Bukan yang lain. Ekspektasi apa pun ia tak punya. Kalaupun ada, hanya menjalin percakapan sederhana yang menarik, yang meninggalkan kesan. Cuma itu!

Baca juga  Pertunjukan

***

Keinginan Inne untuk menelepon dan mengetahui kabar cowok Jawa itu, tak segera terkabul. Pasalnya, Mama butuh waktu lebih dari dua bulan untuk menemukan kembali daftar alamat yang menyimpan nomor telepon guru Mama, ibu Mas Aan.

“Kenapa, sih, kamu tiba-tiba ingin sekali menelepon Mas Aan?”

Pertanyaan Mama hanya dijawabnya dengan senyum. Orang tua selalu ingin tahu. Sudah dari sananya begitu.

Tapi senyumnya melahirkan cubitan, ketika Adi, adiknya yang baru masuk kuliah meledek, “Mungkin Kak Inne frustrasi, Mam, belum ada yang lamar juga sampai sekarang! Haha, makanya buka stok teman-teman lama!”

Sembarangan!

Ia tak peduli kalau Adi meringis-ringis karena cubitan kecil yang membekas merah di kulitnya.

Ketika nomor telepon Mas Aan akhirnya terlacak, anehnya Inne bukannya merasa senang, malah resah. Awalnya ia begitu ingin menelepon cowok itu. Bertukar kabar. Tapi sekarang?

Inne melirik telepon selulernya. Menggoda. Setia menunggu aksinya.

Keinginan itu bukan pupus, malah semakin deras. Menjadi keharusan yang mesti dilakoni. Hanya saja, ia luput satu hal. Itu yang membuat hati Inne sekarang maju-mundur.

Apa yang akan dikatakannya pada Mas Aan nanti? Pastilah cowok itu kaget luar biasa menerima telepon dari seseorang di masa lalu, yang sudah lama hilang kontak.

Inne melirik lagi ponsel yang terbaring—terlihat sedikit angkuh—di atas tempat tidur. Tangannya sudah nyaris terulur, tapi tak jadi meraih. Sebaliknya, mengambang di udara, menari-nari tepat di atas ponsel. Dipejamkannya mata. Mencoba menebak-nebak reaksi Mas Aan ketika mendengar suaranya nanti.

“Halo?”

“Ya, dari siapa, nih?”

“Inne!”

“Inne? Ya ampun, apa kabarmu? Sudah lama sekali. Aku rindu!”

Inne membuka matanya. Mustahil Mas Aan langsung mengatakan rindu. Meski kalau itu yang terjadi, ia tak bisa memungkiri, perasaannya pasti senang. Siapa yang tak senang dirindukan.

Terserah rindu apa tidak. Tapi ia yakin Mas Aan akan senang dan ceria menerima teleponnya. Bukankah kenangan mereka indah dan lucu? Surat-surat konyol yang mengundang gelak tawa?

Tapi sesudah itu, apa yang harus diucapkannya? Apa yang bisa menjelaskan alasan ia tiba-tiba menelepon? Bagaimanapun ia seorang perempuan yang harus menjaga harkat dan martabat, dan tidak boleh terkesan agresif. Seperti propaganda Sita selama ini. Jadi?

“Mama titip salam, Mas.”

Alasan gampang. Mengkambinghitamkan Mama. Tapi apa itu sopan? Bagaimana kalau Adi saja?

Inne menepis pikiran ngawurnya. Adi? Kenal saja tidak Mas Aan dengan adik lelakinya itu. Lantas?

“Silaturahim, Mas. Gimana kabarnya? Sudah menikah? Sama siapa, Mas? Teman kampus dulu? Terus sudah punya anak berapa, Mas?”

Hmm, Inne menggelengkan kepala. Itu terlalu terburu-buru. Masa baru mulai kontak lagi sudah membombardir dengan pertanyaan seperti itu. Bagaimana kalau ia ternyata sudah punya anak lima, lalu balik melontarkan pertanyaan serupa padanya?

Pasti dengan tersipu-sipu dan suara pelan, ia akan menjawab, “Anu… Mas. Inne… Inne belum punya anak!”

Maka ketahuanlah bahwa ia ternyata belum berkeluarga, belum ada yang mengawini, belum ada yang melamar. Belum OTW nikah atau menuju halal. Pendeknya, belum laku!

Tidak. Pertanyaan ke arah sana harus dihindari. Bisa jadi jebakan yang membuat personal record-nya jelek. Jangan-jangan dikira ia menelepon karena belum laku lagi.

Baca juga  Piagam

Sebaiknya berhenti saja pada kata silaturahim. Itu sudah bagus. Apa jeleknya silaturahim?

Inne menatap ponsel yang sudah berada di pangkuan. Keraguan memang masih ada. Tapi keinginan itu mengalir kian deras. Sekarang sudah mencapai stadium air bah. Ia harus menelepon segera!

Detak jantungnya berdebar kian cepat. Makin keras. Mengetuk-ngetuk cepat. Makin menyiksa.

Dengan satu sentakan kuat, Inne mengambil ponselnya. Namun keringat yang mengalir di dahi membuat matanya tak bisa jernih melihat keyboard ponsel. Gadis itu cepat menaruh gadget-nya kembali. Meraih tisu di dekatnya. Mendekapkan kedua telapak tangan ke wajah. Ya Allah, kenapa urusan menelepon jadi begitu merisaukan?

“Cuma ada satu alasan kenapa kamu tiba-tiba penasaran dengan Anindra-mu itu. Cinta! Titik!”

Cinta? Benarkah?

Tapi tidak. Ia yakin tak akan terpukul bahkan bila Mas Aan sudah menikah, dengan satu atau dua orang istri sampai empat, tak masalah. Punya anak atau tidak. Ia tak peduli. Ia hanya ingin bertukar kabar. Sungguh!

Tapi kenapa begitu berat?

Inne tercenung. Di telinganya bertumpu ponsel, membunyikan nada tunggu. Tanpa disadari gadis itu, jemarinya sudah sejak beberapa menit lalu menekan nomor telepon Mas Aan.

“Halo? Anindra Wisnuhadi di sini.”

Sebuah suara bariton terdengar, ramah. Menyanyikan melodi masa silam.

“Halo! Kenalkan, saya Anindra. Lengkapnya Anindra Wisnuhadi. Kalau siang panggil saya Aan. Kalau malam, panggil saya Ani.”

Inne tersenyum. Suara itu masih sama ramah seperti kala pertama ia mendengarnya. Mewah dengan keakraban.

“Halo? Mau bicara dengan siapa, ya?”

Sapa yang kedua. Inne lega. Ia meraih sebuah bantal, lalu menyandarkan punggung dengan lebih santai, di sandaran tempat tidur. Benaknya menari-narikan pikiran bahagia. Ahh, seperti apa Mas Aan sekarang?

“Halo?”

Inne tergagap. Bibirnya menyunggingkan senyum cerah. Lantas saja gadis itu menjawab. Hangat dan antusias.

“Ini Inne, Mas. Apa kabar?”

Suasana beku melayang beberapa detik. Inne bukan tidak merasakan itu. Untunglah kemudian dari seberang sana terdengar suara tawa renyah. Mengalir teratur dan sopan. Ahh, syukurlah! Mas Aan pasti teringat juga kekonyolan masa remaja mereka.

“Umm … Inne yang mana, ya?”

Inne tersentak. Lelaki itu tidak ingat? Memangnya berapa Inne yang dikenalnya?

“Halo? Maaf Inne. Ini Inne yang mana, ya?”

Mulut Inne mengatup kencang. Sungguh, ia tak siap dilupakan. Tidak setelah ia berusaha membuat percakapan nostalgia yang berkesan. Memperkenalkan ulang dirinya secara panjang lebar, sungguh di luar skenario yang selama ini disiapkannya.

Inne masih mematung. Terpukul.

Sementara lelaki yang dikaguminya, di seberang sana masih terus bersuara.

“Inne Asokawati? Bukan? Inne Febriyantika yang anak diplomat? Bukan juga? Inne anak Mesin 87? Inne-nya Bulik Tini? Inne … Inne yang mana, sih?” ***

.
Telepon Pinky. Telepon Pinky. Telepon Pinky. Telepon Pinky. Telepon Pinky. Telepon Pinky. Telepon Pinky. Telepon Pinky.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Anonymous

    tentukan Alur/plot di dalam cerita tersebut
    Dan tentukan sinopsisnya

Leave a Reply

error: Content is protected !!