Cerpen Yoga Zen (Koran Tempo, 06 September 2025)
PADA ulang tahunku yang keenam, Ayah menghadiahiku dengan nama baru. Ayah tiba-tiba menggantinya saat kami pertama kali bertatapan untuk waktu yang lama tapi kelak ia tak pernah memanggilku dengan nama tersebut. Ia memintaku melupakan nama lama dan mulai membiasakan diri dengan nama baru. Aku ingat persis usiaku waktu itu sebab itulah tahun pertama ketika aku masuk sekolah dasar namun aku tidak tahu sama sekali alasan mengapa Ayah melakukannya. Dan bertahun-tahun kemudian, di usia yang sudah lanjut, Ibu akhirnya memberi tahu bahwa namaku diganti karena, menurut mereka saat itu, nama lamaku terlalu keminang-minangan dan itu bisa jadi sumber masalah.
Selain melupakan nama lama, Ayah meminta melupakan asal-usulku. “Kalau suatu hari nanti ada yang bertanya kau berasal dari mana, jawab apa saja asalkan bukan dari Minang.” Tidak terlalu sulit berbohong pada guru atau teman sekelas atau bahkan orang asing yang kutemui di kemudian hari tetapi aku selalu gagal menepati permintaan pertama. Bagaimanapun juga, nama lama itu pernah dan akan tetap menjadi bagian dari diriku. Lagi pula, di tengah usahaku melupakannya, Ibu sering mengingatkanku dengan nama itu saat hendak memanggilku sebelum buru-buru ia ralat kembali dan mengganti dengan nama baru.
***
“NAMAMU indah,” kata sebagian besar orang yang kagum mengetahui namaku saat aku berkesempatan memperkenalkan diri. Seorang guru perempuan di sekolah baruku bilang kalau namaku ini serupa namanama orang di Soviet. Aku mengangguk setuju, berkata bahwa Ayahku yang memberi nama itu karena dia memang tergila-gila dengan Soviet—tanpa aku tahu Soviet itu di mana.
Sementara teman-teman sekelasku justru memiliki pandangan saling bertentangan. Ada yang menyukai namaku lantaran terdengar unik, belum pernah mereka temukan di anak-anak lain. Sebaliknya, ada juga yang tak henti-henti mengolok-olok karena mereka menganggap nama itu terlalu kebarat-baratan untuk seorang gadis udik sepertiku.
Ketika beranjak dewasa, aku sadar bahwa mereka ada benarnya. Kalau dipikir-pikir kembali nama itu memang tidak cocok dengan tampangku; terlalu kebarat-baratan. Tapi bagaimanapun nama itu kini sudah melekat dan menjadi identitasku selamanya.
***
DI Jakarta, kami tidak tinggal di rumah kerabat Ayah seperti yang sudah dia sampaikan. Kami tinggal di kontrakan kecil di permukiman yang padat penduduk. Di rumah, Ibu mulai mengajariku bicara memakai bahasa Indonesia karena ia bilang itu penting bagiku agar terbiasa di sekolah baru.
Untungnya aku tidak sendiri.
Beberapa minggu setelah aku pindah ke sekolah itu, kami kedatangan murid baru yang juga berasal dari Minang. Dia anak laki-laki berambut ikal yang memperkenalkan diri dengan nama Kennedy. Di rumah, ia mengaku dipanggil Ken meskipun sejujurnya wajahnya lebih pantas dipanggil Edi atau Zul. Ia tidak mengatakan berasal dari Minang namun aku tahu dari logatnya yang kaku bahwa ia pasti berasal dari Minang. Dugaanku terbukti benar ketika aku tak sengaja mencuri dengar percakapan si Zul dengan ayahnya sewaktu kami sama-sama menanti jemputan pulang. Aku pura-pura tidak mengerti apa yang mereka bicarakan sebab aku mulai belajar, sebagaimana pesan Ayah, melupakan asal-usulku.
***
IBUKU bilang Ayah ikut berperang lantaran Atuk dibunuh oleh Tentara Pusat. Mereka menembak Atuk tepat di bawah Jam Gadang bersama seratus delapan puluh tujuh orang lainnya. Dari sekian banyak nyawa melayang, hanya tujuh belas orang yang benar-benar terbukti ikut dalam gerakan yang sering kali dengan gegabah digembar-gemborkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pemberontakan—selebihnya cuma sipil, termasuk Atuk.
Atuk, ayah dari Ayahku, adalah seorang kusir bendi yang beroperasi di sekitar alun-alun Kota Bukittinggi dan ia buta huruf. Singkatnya ia tidak tahu apa-apa soal kelompok pimpinan Kolonel Ahmad Husein tersebut. Tapi Tentara Pusat tetap saja membunuhnya dengan keji.
Tentu aku mengetahui semua itu jauh setelahnya, nyaris di saat bersamaan ketika Ibu memberi tahu alasan mengapa Ayah mengganti namaku.
***
AYAH tidak sendiri dari keluarga kami. Ada Pak Etek yang juga ikut mengangkat senjata dan bersembunyi di hutan. Tidak ada yang dapat menghentikan kekeraskepalaan mereka demi menuntut balas atas kematian Atuk, meskipun saat itu Pak Etek baru beberapa hari resmi jadi seorang suami.
Ibu berusaha keras mencegah, meminta mereka memikirkan nasib kami apabila hal buruk terjadi. Tetapi dendam telah menutup rapat-rapat mata dan hati mereka, terutama Ayah, yang tidak dapat dijinakkan oleh kata-kata, bahkan oleh tangisan anak semata wayangnya—aku—yang waktu itu masih berusia tiga tahun.
Bertahun-tahun mereka bergerilya keluar-masuk hutan namun tidak pernah turun melihat kami. Kami hidup dari gaji Ibu yang cukup untuk makan dua kali sehari. Ia seorang bidan desa. Bisa dikatakan kami lebih beruntung daripada istri-istri gerilyawan yang sebagian terpaksa menuruti perintah Tentara Pusat menjadi pembantu atau tukang masak di markas-markas mereka. Salah satunya Tek Laila, istri Pak Etek.
***
AKU mulai menanyakan keberadaan Ayah ketika Ibu mengajakku ke dusun tetangga, membantu persalinan bayi yang sungsang. Selagi ia bekerja, aku bermain bersama anak pertama si pasien di teras. Kami sepantaran. Ayahnya takut melihat darah sehingga ikut main bersama kami. Sepulang dari sana, aku bertanya kepada Ibu, apa aku punya seseorang yang disebut ayah?
“Ya,” jawab Ibu setelah terdiam lama. “Ya, kamu punya seorang ayah.”
“Apakah dia masih hidup?”
“Ya,” balas Ibu sambil membuka dompet, mengeluarkan selembar foto hitam-putih berenda. “Ya, dia masih hidup. Tapi sekarang, pandangilah ini.”
Itulah yang kulakukan saat tiba-tiba aku merindukannya. Mata kamera menangkap sosok itu tertawa sambal manjujai bayi kecil dalam gendongan Ibuku. Mereka benar-benar terlihat bahagia dan sepanjang kami hidup bersama, aku tidak pernah lagi melihat Ibu tersenyum sebahagia dalam foto itu.
Ada masa-masa ketika aku bosan memandangi gambar itu. Aku berharap sosok itu datang mengetuk pintu. Lalu, satu waktu, Ibu sempat bilang Ayah sudah mati saat aku terus-menerus merengek ingin bertemu dengan Ayah. Aku tidak tahu alasan kenapa Ibu sampai berkata demikian kejamnya. Mungkin ia muak atau kehabisan jawaban tapi itu berhasil membuatku berhenti bertanya soal keberadaan Ayah, paling tidak sampai kabar tentang kepulangannya samar-samar terdengar.
***
KABAR itu dibawa Mak Alim, seorang Kepala Desa yang gemar tersenyum menampilkan gigi-gigi peraknya. Mak Alim selalu mengunjungi rumah kami kalau sedang patroli. Ia datang bersama sekelompok pemuda bersenjata tapi tidak berseragam layaknya Tentara Pusat dan Ayah adalah orang pertama yang selalu ia cari. Ibu muak bertemu dengannya. Meski begitu, ia tidak pernah memperlihatkan ketidaksukaannya di hadapan Mak Alim.
Aku melihat Mak Alim pertama kali ketika ia menjemput Tek Laila yang waktu itu masih tinggal bersama kami. Ia datang dengan truk tentara yang berisi perempuan lain, untuk kemudian dibawa ke Markas Tentara Pusat, menjadi tukang masak. Ibu tidak bisa mencegah sebab ia telah dapat pengecualian berkat pekerjaannya sebagai seorang bidan desa.
Pada malam saat Mak Alim meminta Ibu menjemput Ayah ke Pintu Rimba, tempat yang telah disepakati, aku bertanya dengan suara lirih, “Apakah selama ini Ayah masih hidup dan Ibu berbohong?”
“Bersabarlah, Nak,” jawab Ibu. “Sebentar lagi kita akan berkumpul bersama.”
***
KAMI berangkat pagi-pagi sekali dan tiba di Pintu Rimba jelang petang. Tek Laila juga ikut bersama rombongan kami. Selama perjalanan panjang itu, aku tidak merasa lelah apalagi sampai mengeluh. Sebaliknya, aku justru tidak bisa berhenti senyum-senyum sendiri. Hatiku begitu riang.
Kami berkumpul bersama anggota keluarga lain di Pintu Rimba, menunggu dengan harap-harap cemas. Ketika satu demi satu para gerilyawan muncul dari balik pepohonan aku bertanya, “Ibu, yang mana Ayahku?”
Tak ada seorang pun dari mereka yang menghampiri kami sampai akhirnya seorang lelaki yang mirip dengan sosok dalam foto menyapa Ibu. Ternyata lelaki itu bukan Ayah, melainkan Pak Etek. Dia bilang bahwa Ayah memilih bertahan di hutan—melanjutkan perlawanan bersama pejuang lain. Sedang kelompok Pak Etek turun karena kehabisan bekal, terlebih mendengar kabar bahwa Kolonel Ahmad Husein telah menyerahkan diri.
Kami adalah orang terakhir yang pulang dari Pintu Rimba. Seakan tak percaya pada Pak Etek, Ibu tetap menunggu hingga menjelang malam. Ibu menoleh setiap mendengar gemerisik daun, berharap Ayah muncul dari balik pepohonan. Ketika Ibu memutuskan pulang, matanya berlinang. Ia menggenggam erat tanganku, berkata, “Mungkin ayahmu memang sudah mati, Nak. Mari kita pulang menyiapkan tahlilan.”
***
GAMBARAN Ayah dalam imajinasiku seketika buyar ketika orang itu datang menenteng sehelai daun pisang beberapa hari setelah kami memastikan dia sudah mati. Lelaki itu sangat berbeda dengan sosok yang kulihat di foto ketika Ibu bilang orang yang selama ini kunanti-nanti telah pulang. Rambut kusut. Pakaian kumal. Kuku-kuku panjang dan hitam. Di pundaknya tersampir sebuah senapan. Ibu bahkan sempat mengira lelaki itu maling saat menyelinap masuk ke rumah mengingat betapa sulitnya hidup di masa itu.
Aku lari ke dalam bilik, mengintip mereka di balik tirai. Ibu lagi menanak nasi dan orang itu duduk di sebelahnya. Aku berkali-kali menolak ajakan mereka bergabung di depan tungku. Aku merasa belum diyakinkan bahwa sosok itu adalah ayahku sampai akhirnya dia tersenyum lalu berkata, “Selamat ulang tahun, Nak!
Aku luluh dan menghampiri mereka. Aku hampir saja berteriak sebelum dia buru-buru menempelkan telunjuk ke bibir lalu merentangkan tangan. Kami berpelukan dan aku menatapnya untuk waktu yang sangat—sangat lama. Lalu dia melambungkanku ke udara. Kepalaku hampir membentur strongking dan dia mengeluhkan berat badanku yang bertambah. Aku seakan-akan pernah merasakan sensasi itu—ya, sensasi terbang di udara, tapi entah kapan, bisa jadi aku pernah memimpikannya di suatu malam.
“Aku lega mengetahui kau masih hidup tapi aku kecewa saat kau tak memilih turun hari itu,” ujar Ibu.
Ayah cuma terdiam.
“Ta—tapi kami bersyukur kau melakukannya.” Air mata Ibu tumpah. Ia tertunduk menutupi wajah dengan ujung sarung. Ibu terisak.
“Apa yang terjadi dengan mereka?” tanya Ayah seraya menenangkan Ibu.
Ibu menggeleng. “Bahkan belum sehari bersama, malam itu mereka dijemput sudah rombongan si Alim, dan—,” Ibu memberi jeda sebelum kembali melanjutkan, “dan—mereka—semua—dibantai—Tentara Pusat.”
Bunga-bunga api membubung menyentuh tongkol jagung yang disimpan Ibu di langit-langit saat ayah menyepak kayu bakar. Dia mengumpat dan menggerutu.
***
ANJING-ANJING menyalak di luar dan tak lama kemudian orang-orang itu masuk ke rumah tanpa mengetuk pintu apalagi mengucap salam. Melihat pelepah daun pisang tergeletak dekat tungku, Mak Alim meminta para pemuda bersenjata itu menggeledah seisi rumah.
Ibu hanya diam dan aku bersembunyi di belakangnya.
Sebelum menyelinap keluar dan menghilang, Ayah berusaha meyakinkan Ibu untuk segera pergi dari ranah ini ke rumah kerabatnya di Jakarta.
“Terlalu bahaya kalau aku ikut bersama kalian, tapi aku berjanji setelah semua ini selesai, aku pasti segera menyusul.”
Sambil berlutut, Ayah memegangi bahuku dan tiba-tiba saja ia mengganti namaku. “Ingat, Nak, ini demi kebaikanmu—dan kalau suatu hari nanti ada yang bertanya kau berasal dari mana, jawab apa saja asalkan bukan dari Minang.”
Aku sudah berbohong nyaris sepanjang hidupku tetapi Ayah, jika sebutan itu masih pantas disematkan kepadanya—tak pernah menetapi janji. ***
.
.
Yoga Zen adalah penulis yang lahir di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Naskah novel pertamanya, Tersesat Setelah Terlahir Kembali, memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2023.
.
.
Nama yang Menawan. Nama yang Menawan. Nama yang Menawan. Nama yang Menawan. Nama yang Menawan. Nama yang Menawan. Nama yang Menawan. Nama yang Menawan. Nama yang Menawan. Nama yang Menawan. Nama yang Menawan.
Mo
Sedih bgt. Ayahnya ketangkap kah? 😭
Anonymous
tugas sekolah cuyy
mencari unsur intrinsik