Cerpen, Jawa Pos, Juwairiyah Mawardi

Penjahit Kafan

Penjahit Kafan - Cerpen Juwairiyah Mawardi

Penjahit Kafan ilustrasi Budiono/Jawa Pos

0
(0)

Cerpen Juwairiyah Mawardi (Jawa Pos, 09 Agustus 2025)

MUNIRA meninggal. Pengeras suara di langgar ujung jalan mengumumkan kematiannya tadi subuh. Sanak saudara, handai tolan, tetangga diharap mendatangi rumah duka. Jenazah akan dikebumikan pagi ini.

Tak mungkin aku tak ke sana. Tugas menunggu. Orang-orang akan mencariku. Dan aku tak senang jika aku sampai diparani ke sini, ke rumahku. Kok rasanya aku ini ajih sekali. Gila hormat. Tapi yang meninggal ini Munira. Perempuan itu.

Bagaimana roh Munira melihatku nanti menjahit kain kafan untuk ia pakai menuju alam baka?

Tak ada yang tahu rahasiaku dengan Munira. Munira yang sepanjang hidupnya memendam kecemburuan padaku. Ia tak akan bicara jika tak perlu sekali. Aku pun sama. Tak berusaha berbicara lebih dulu padanya jika bertemu tak sengaja.

Tak ada yang tahu kalau Munira menjaga jarak dariku sedemikian jauh, tetapi terus-menerus melihat bagaimana aku hidup dalam keseharian. Diam-diam sering bertanya tentangku pada orang yang sama-sama kami kenal. Semacam itu. Ia ingin selalu tahu apa yang kulakukan dan apa yang terjadi padaku.

“Aku yang memenangkan hati Ahmad,” cetusnya dua puluh tahun lalu saat ia akan menikah dengan Ahmad.

Aku hanya diam. Gemuruh rasa kecewa dalam diriku kubungkam diam-diam.

“Boleh saja selama ini Ahmad mencintaimu. Tapi ia kini akan jadi milikku. Dan nanti ia akan melupakan cintanya padamu. Ia akan mencintaiku. Hanya aku. Kau hanya akan menjadi cerita lalu.”

Aku tahu Munira sedang memprovokasiku. Berusaha memancing emosiku. Ingin melihatku marah dan membalas kata-katanya sedemikian rupa. Tetapi aku tetap diam. Tak melawannya. Tak mengatakan apa-apa. Aku tak terpancing. Dan justru itu yang membuat Munira makin marah padaku. Ia merasa semua kalimatnya tak mempan padaku. Tak bertaji.

“Aku akan melihat apakah kata-katamu akan jadi nyata,” kataku pendek setelah ia terus menerus berbicara dan akhirnya berhenti menyerangku.

***

Aku tak datang memenuhi undangannya. Undangan pernikahan mereka. Beberapa orang meledek, bersenda gurau padaku. Bahwa aku patah hati. Bahwa aku ta’miloh. Ta’miloh Ahmad. Tak kebagian Ahmad. Tak mendapatkannya. Seolah ia barang, bukan manusia yang terdiri atas tubuh dan hati. Yang dapat menjemput dan menolak takdir.

Aku memilih tak bercerita dan tak bicara dengan siapa pun tentang kata-kata Munira. Kubiarkan saja semua mengalir. Entah air, entah lumpur, entah larva.

Dan malam itu, seperti merapal mantra dan melakukan ritual penghabisan tentang tumbangnya harapan cinta, aku memasukkan semua benda pemberian Ahmad padaku. Kumasukkan dalam peti tua. Foto-foto, catatan, surat kecil, bunga yang telah kering yang pernah ia bawakan untukku dari suatu pendakian gunung, benda-benda yang pernah ia berikan padaku kusatukan dalam peti itu.

Peti itu kuhanyutkan ke sungai di belakang rumahku. Dan aku tak berharap seseorang akan menemukan dan membukanya, kemudian menyiarkannya seperti sayembara. Peti itu tak berisi bayi Musa. Tak akan ditemukan oleh penggawa Fir’aun. Peti itu akan terus mengikuti arus, menghanyutkan diri ke pulau masa lalu.

Baca juga  Lara Lare

Dan aku melanjutkan hidupku. Tak ada ruang bagi Ahmad untuk berkata apa pun padaku. Kututup ruang itu rapat-rapat. Mengapa kita harus mendengarkan pembelaan diri dari seseorang yang tak bisa membela cintanya sendiri? Tak ada waktu untuk sebuah pleidoi.

Ahmad mencintaiku, tetapi membiarkan dirinya menikah dengan Munira. Tak memperjuangkan cinta kami di hadapan keluarganya. Cinta macam apa itu? Laki-laki macam apa yang takut kalah berperang bahkan sebelum lawan melakukan serangan?

***

Entah bagaimana, aku dan Ahmad tak pernah bertemu. Mungkin hanya melihat dari jauh. Dan tak ada hasrat sedikit pun untuk mendekati menyapa, apalagi berbicara seperti tak terjadi apa-apa. Ahmad adalah suami orang. Kutulis besar-besar dalam benakku.

Sedangkan aku dan Munira masih mudah bertemu. Kami ikut arisan yang sama. Datang ke kegiatan desa yang sama. Ikut pengajian yang sama. Berbelanja di pasar yang sama meski tak selalu bersamaan waktu ke pasar. Berteman dengan beberapa orang yang sama pula.

Kemudian kudengar Munira mengandung. Melahirkan. Mengandung lagi. Melahirkan lagi. Beranak pinak dalam jarak waktu yang dekat. Mungkin ia ingin menunjukkan betapa harmonis dan romantisnya mereka sebagai pasangan. Dibuktikan dengan banyak anak.

Seseorang memang pernah berkata dan menurutku itu pandangan bodoh. Bahwa pasangan yang tak segera punya anak itu kurang harmonis, kurang romantis, dan jarang bersama. Padahal belum tentu. Justru bisa jadi pasangan yang terlalu banyak anak dalam jarak berdekatan waktunya itu mudah stres, mudah bertengkar. Ya tentu saja bertengkar urusan anak-anak yang rewel, gampang sakit, mudah bertengkar berebut mainan dan makanan, serta berebut kasih sayang orang tuanya.

***

“Kenapa kau belum menikah juga?” usik Munira suatu kali.

“Apakah menjadi urusanmu aku menikah atau tidak?”

“Setidaknya aku merasa terancam kalau kau belum juga menikah. Apa kau menunggu aku mati, kemudian bisa menikah dengan Ahmad?”

Aku ingin menampar mulutnya, tetapi kutahan.

“Jaga saja suamimu agar tidak ke mana-mana dan tidak memikirkan orang lain saat kalian bersama. Jaga otaknya dan hatinya. Kunci pikirannya. Dua puluh empat jam!”

Aku membalas dengan pedas.

Munira mempercepat langkahnya menjauh dariku dan tampak sangat marah mendengar kata-kataku. Biarlah, pikirku.

Entah bagaimana, aku mendengar saja kabar ini. Bahwa Munira kerap kali cemburu jika Ahmad pergi bekerja. Munira sering memeriksa ponsel suaminya itu. Munira selalu bertanya apa Ahmad bertemu denganku atau tidak? Dan seterusnya.

Aku merasa menang dengan siksaan yang dialami batinnya tanpa perlu kusiksa. Tanpa aku berbuat apa pun. Entah itu benar atau tidak, aku merasa senang. Senang yang aneh. Membayangkan Ahmad membandingkan Munira denganku. Membayangkan Ahmad menganggap Munira tak sebaik aku dalam memperlakukannya. Membayangkan Munira terus cemburu padaku, sementara Ahmad sudah ia miliki. Membayangkan Munira merasa menang, padahal sesungguhnya ia kalah.

Baca juga  Pertengkaran Terakhir

Aku merasa terhibur dengan bayangan lantaran ada kabar itu. Imajinasi tentang itu mengobati rasa terluka dan kecewaku lantaran kepengecutan dan sikap menyerah Ahmad pada keadaan yang memaksanya berjodoh dengan Munira.

“Laki-laki itu tak masalah sama sekali jika harus tidur dengan perempuan yang tak dicintainya. Jika harus bercinta dengan perempuan yang tidak ada dalam hatinya. Cinta itu punya kotak tersendiri. Nafsu itu punya sistem tersendiri juga.”

Seseorang berkata demikian padaku. Dan itu menjijikkan menurutku. Sebab bagi seorang perempuan, bercinta dengan lelaki yang tak dicintai itu bukan cuma tak memuaskan, tetapi menjijikkan. Tak menerbitkan selera dan nafsu.

Menurutku, dalam hal ini laki-laki dan perempuan memang berbeda. Ya itu pendapatku. Siapa saja boleh tak setuju. Tak perlu diikuti.

Kemudian kudengar Munira sakit. Aku tak menjenguk. Khawatir ia tambah sakit jika kujenguk. Jika ia melihatku datang, mungkin saja sakitnya akan bertambah parah. Khawatir ia menuduhku mengguna-gunainya.

Ia sakit cukup lama. Aku tak bertemu dengannya di arisan, pengajian, acara-acara sosial, bahkan di pasar. Ia tak pernah ke mana-mana karena sakit, katanya.

Dan kini ia meninggal. Betapa merepotkan. Sebab aku yang harus menjahit kain kafannya.

***

Aku memasuki rumah mereka. Tak berusaha mencari-cari dengan mataku di mana Ahmad berada. Aku datang ke sini hanya sebagai penjahit kafan dan menyiapkan pemandian untuk jenazah. Memintal benang untuk menjahit kafan dan merangkai bunga kematian untuk dikalungkan pada kerandanya.

“Kafannya sudah ada?” ujarku pada perempuan yang ada di hadapanku dan seolah menunggu perintah dariku.

Seseorang menyodorkan kantong plastik. Kain kafan putih bersih. Kapas kelas satu. Parfum dan pensil alis, lipstik, serta bedak bayi.

Setelah mengukur panjang jenazah yang terbujur, aku duduk agak menjauh dari jenazah. Mulai menggunting kain kafan. Seseorang membantu memegang ujung kain.

Aku menjahitkan rangkaian kain kafan itu seperti busana setengah jadi. Jenazah tak pernah benar-benar memakai baju. Jahitan hanya dimaksudkan untuk merekatkan ujung ke ujung. Dan merekatkan potongan agar seolah terpakai seperti baju.

Aku menyiapkan beberapa lembar kapas untuk setiap lubang di tubuh jenazah. Termasuk untuk penutup mata jenazah.

Beberapa orang mengangkat jenazah Munira ke lincak pemandian yang sudah disiapkan. Perempuan-perempuan kerabatnya menyiramkan air dan mengusapnya dengan sabun. Aku hanya memberi petunjuk dari arah sisi yang aman dari cipratan air. Aku tak harus ikut memandikan jenazah. Apalagi jenazah Munira.

“Badannya dibalik agak setengah badan, jangan lupa sabun harus sampai ke semua lekuk. Siramkan lagi airnya sambil usap badan.”

Baca juga  Percintaan Kakek Agus

Barulah ketika sudah dianggap selesai dibasuh, aku yang menyucikan jenazah. Beberapa orang memegangi untuk membalikkan setengah badan agar air sampai pada bagian yang terhalang.

Semua orang menyingkir ketika aku mulai memulasara jenazah Munira. Kutaburkan bedak putih ke tubuh beku di hadapanku. Kulukis alisnya dan kupakaikan lipstik. Kemudian ia tampak cantik. Tapi ia mati. Mata tertutup kapas.

Kemudian sepenuhnya ia terbungkus kain kafan yang telah kujahit dan kuikat tali pocong di kepalanya sebagai sentuhan akhir tugasku.

Tutup keranda diturunkan dan keranda dibawa ke tempat jenazah akan disalati.

Aku pamit pada beberapa perempuan di dapur yang sibuk memasak untuk suguhan penggali kubur.

Perempuan-perempuan tetangga yang bukan kerabat ikut beranjak. Di desaku, orang-orang bubar meninggalkan rumah duka tak menunggu sampai jenazah dibawa ke kuburan. Asal sudah siap disalati, satu per satu orang-orang akan pulang karena kesibukan.

Hanya kaum lelaki yang banyak tinggal untuk salat Jenazah dan membawa keranda ke tanah pekuburan.

***

Senja sudah berlalu beberapa jenak yang lalu. Aku teringat bagaimana pagi tadi memulasara jenazah Munira. Apa kabar kamu di sana? Pikirku. Apakah di alam baka sana kamu masih ingat bagaimana kau mengataiku dan tak sempat minta maaf padaku sampai matimu? Apakah kamu menyesal karena akulah yang memulasara jenazahmu? Apakah kamu masih bisa marah dan cemburu atau kini menangis. Membayangkan bahwa sampai mati ia tak pernah dicintai meski dinikahi Ahmad, rasanya aku menang.

Dan kini, aku juga memenangkan diri sendiri. Menolak pinangan Ahmad. Kadang-kadang atas nama cinta dan masa lalu, laki-laki memang tak tahu diri. Dipikirnya cinta masa lalu akan terus menunggu. Cinta yang hanyalah tinggal kerangkanya. Tak ada lagi batang tubuh dan darah serta rohnya. Ia hanya semacam tengkorak. Sebaiknya juga dikebumikan sebagaimana mestinya karena tak lagi berguna. ***

.

.

Juwairiyah Mawardi. Cerpenis kelahiran Sumenep, Madura. Cerpennya terkumpul dalam antologi tunggal Mati Tua (2021) dan Perbincangan tentang Pihak Ketiga (2024). Tinggal di FB dan IG Joe Mawar.

.

.

Jawa Pos menerima kiriman cerpen dengan panjang naskah 1.500 kata. Sertakan biodata singkat, foto terbaru, foto kartu identitas, nomor rekening, dan NPWP. Cerpen dikirim ke sastra@jawapos.co.id
.
Penjahit Kafan. Penjahit Kafan. Penjahit Kafan. Penjahit Kafan. Penjahit Kafan. Penjahit Kafan. Penjahit Kafan. Penjahit Kafan. Penjahit Kafan. Penjahit Kafan. Penjahit Kafan. 

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!