Cerpen, Dadang Ari Murtono, Jawa Pos

Perang di Halaman Rumah

Perang di Halaman Rumah - Cerpen Dadang Ari Murtono

Perang di Halaman Rumah ilustrasi Budiono/Jawa Pos

0
(0)

Cerpen Dadang Ari Murtono (Jawa Pos, 28 Juni 2025)

SUATU malam, seorang lelaki berangkat tidur setelah membaca berita tentang perang yang terjadi di Timur Tengah dan Ukraina. Tidurnya tidak nyenyak. Ia berguling ke kiri dan ke kanan. Lalu terbangun beberapa kali.

“Ah,” ia mengeluh pendek. “Seharusnya aku membaca sesuatu yang ringan seperti cara memelihara anjing atau menanam padi. Dan bukannya berita tentang perang.”

Si lelaki bermaksud membangunkan istrinya dan mengajak perempuan itu mengobrol barang beberapa menit untuk mengundang kantuk. Namun, istrinya tampak sangat lelap dan ia tidak tega membangunkan perempuan itu.

Si lelaki bangkit. Lantas berjalan mondar-mandir dalam kamarnya. Pada waktu itulah, ia melihat kilatan cahaya yang menembus gorden.

Si lelaki menyingkap gorden dan memeriksa apa yang terjadi.

“Perang?” si lelaki nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Bagaimana bisa?” si lelaki bergumam, nyaris tak sadar. “Bagaimana bisa ini terjadi?”

Namun, perang memang terjadi di halaman rumahnya. Dua pihak, masing-masing terdiri atas ratusan atau bahkan ribuan orang, berada di sisi yang berlawanan. Mereka mengokang senapan dan melemparkan granat. Mereka berteriak dan memaki. Mereka sembunyi di balik batang pohon atau pagar. Tank menderu. Drone beterbangan di atas kepala. Rudal-rudal melesat. Ledakan di mana-mana. Orang-orang terkapar. Sepotong kaki terlempar dan membentur jendela.

“Ini benar-benar gila!” si lelaki berseru pada akhirnya. Ia mendapatkan kesadarannya kembali dan buru-buru membangunkan istrinya.

“Sayang….” ia menjerit panik sambil menggoyang-goyangkan tubuh istrinya. “Sayang….”

Istrinya menggeliat.

“Kau gila ya?” itu adalah respons pertama sang istri begitu membuka mata. “Kau tidak lihat ini tengah malam?”

“Perang….” si lelaki berbicara terbata. “Perang… di halaman rumah kita.”

“Perang?” sang istri mengucek mata. “Kau mimpi buruk?”

“Bukan mimpi,” si lelaki kini sudah menguasai sebagian besar dirinya. “Bukan mimpi. Benar-benar perang. Dan persis di halaman rumah kita.”

“Ini tidak lucu,” sergah sang istri. “Sudah malam, ayo kita tidur.”

Namun, si lelaki menjerit semakin kencang. “Aku tidak bercanda. Lihatlah sendiri kalau kau tidak percaya.”

Dan itulah yang dilakukan sang istri. Ia bangkit dari tempat tidur dengan malas-malasan dan mengomel. Ia menyibak gorden dan memeriksa apa yang terjadi.

“Gila!” perempuan itu menjerit.

Si perempuan menjerit dan terus menjerit.

“Tamatlah kita,” katanya, “tamatlah kita.” Si lelaki berusaha menenangkan istrinya meski kenyataannya, ia sendiri juga sangat panik sehingga satu-satunya yang ia lakukan adalah berjalan mondar-mandir di dalam kamar sambil memegangi kepalanya dan berulang berteriak ke istrinya.

“Tenang,” teriak si lelaki, meski ia sendiri tak mampu mengatasi kepanikannya sendiri sepenuhnya. “Tenanglah!”

Baca juga  PUISI YANG TERUS DITULIS ULANG

“Bagaimana aku bisa tenang?” si istri menjerit. “Kau lihat apa yang terjadi di luar sana? Perang. Benar-benar perang. Dan sebentar lagi, sebuah granat akan menghantam rumah kita. Sebuah rudal akan menghancurkan kita. Kita akan mati. Kita akan mati.”

“Kita harus melakukan sesuatu,” kata si lelaki pada akhirnya.

Sementara si istri mengintip halaman dari balik jendela, si lelaki mengambil ponsel.

“Pertama-tama,” katanya, “kita harus memastikan bahwa semua tetangga tahu apa yang terjadi.”

“Itu ide yang bagus,” kata si istri tanpa menengok. “Ya, itu memang yang harus kita lakukan.”

Namun, beberapa menit kemudian, si lelaki menghela napas besar.

“Sepertinya kita tidak bisa melakukannya,” katanya.

“Apa maksudmu dengan tidak bisa melakukannya?”

“Ternyata, aku tidak punya satu pun nomor telepon tetangga kita,” kata si lelaki.

“Apa?” si istri melotot. “Bagaimana bisa kau tidak punya satu pun nomor telepon tetangga kita? Kalau begitu, kirim info di grup WhatsApp lingkungan.”

Si lelaki kembali menggeleng. “Kau tahu itu juga tidak mungkin,” katanya pelan. “Kau tahu itu grup yang tidak ada gunanya selain ruang untuk berbagi meme dan berita bohong dan kau tahu aku ke luar dari grup itu sehari setelah dimasukkan. Kau sendiri yang menyuruh aku keluar.”

“Demi Tuhan…” si istri menepuk keningnya. “Ya, ya… aku yang menyuruhmu.”

“Dan kau,” si lelaki kembali berkata, “apa kau punya nomor tetangga kita?”

Si istri merenung sejenak. Lalu mengambil ponselnya. Lantas menggeleng. “Aku juga tidak,” katanya pelan.

Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk bersiap menghadapi kemungkinan yang terburuk. Mereka mengemasi dokumen-dokumen penting dan barang berharga, bersiap mengungsi jika kondisi memung kinkan. Mereka duduk di ruang makan, lalu bergeser ke ruang tamu, lantas pindah kembali ke kamar tidur. Mereka berkali-kali mengintip dari jendela untuk memeriksa perkembangan perang yang terjadi di halaman rumah mereka.

“Apakah menurutmu kita harus kabur sekarang dari pintu belakang?” si istri berbisik ketika mereka tengah berimpitan di depan kaca jendela.

“Tunggu dulu,” kata si lelaki. “Lihatlah lebih saksama. Apa kau tidak merasa ada yang aneh?”

“Tidak merasa ada yang aneh?” si istri mengulang. “Apa kau gila? Tentu saja aku merasa ada yang aneh. Bayangkan, ada perang yang tiba-tiba terjadi di halaman rumah kita. Dan kita tidak tahu apa yang menyebabkan perang ini terjadi atau apa yang mereka perebutkan lewat perang sialan ini. Itu sudah cukup aneh. Bahkan ini adalah hal paling aneh yang pernah terjadi di hidupku.”

Baca juga  Kuala Kapuas

“Aku tahu,” kata si lelaki. “Aku tahu. Tapi coba kau perhatikan. Ada ribuan orang yang berperang di halaman rumah kita. Ada banyak sekali kendaraan dan ledakan. Dan kau tahu berapa ukuran halaman rumah kita? Hanya sepuluh kali lima meter. Bagaimana bisa ribuan orang dengan sebegitu banyak alutsita muat di halaman sesempit itu? Dan lihat, meski banyak sekali ledakan, tak ada satu pun ledakan yang mengenai rumah kita. Tidakkah ini sangat aneh?”

Si istri menatap si lelaki. “Apa maksudmu?”

“Mungkin kita tidak perlu mengungsi,” kata si lelaki. “Perang itu sepertinya tidak akan membahayakan kita.”

Si istri kembali melihat perang melalui kaca jendela. Dan ia mengangguk. “Kau benar,” katanya. “Mungkin kita tidak perlu mengungsi. Lagi pula, ke mana kita mesti mengungsi kan?”

Kenyataan bahwa perang tersebut tidak membahayakan mereka atau rumah mereka cukup membuat pasangan suami istri tersebut tenang. Mereka menata ulang ruang tamu, meletakkan sofa menghadap ke jendela dengan kaca-kaca besar, dan membuka gorden lebar-lebar.

“Dengan begini,” kata si lelaki, “kita bisa melihat lebih leluasa.”

“Seperti menonton film,” kata si istri.

“Persis. Atau menonton berita tentang perang di TV.”

“Apakah menurutmu aku perlu menyiapkan kopi dan camilan?” si istri bertanya.

“Nah,” kata si lelaki. “Tak ada yang lebih baik dari itu.” Dan itulah yang dilakukan si istri.

Menjelang subuh, si lelaki memutuskan membuka pintu rumah. Namun, si istri menahannya.

“Bagaimana kalau salah satu dari mereka tiba-tiba lari dan berlindung ke dalam rumah kita?” si istri bertanya.

“Kita akan menahannya,” kata si lelaki. “Rumah kita bukan pengungsian.”

“Bagaimana kalau salah satu dari mereka meminta bantuan kita?”

“Kita katakan bahwa perang mereka adalah urusan mereka,” kata si lelaki. “Tak ada urusannya dengan kita.”

“Bagaimana kalau mereka memaksa kita membantu mereka?”

“Kita akan berpura-pura menjadi batu,” kata si lelaki. “Diam seperti batu dan menonton. Itulah yang harus kita kerjakan. Sesuatu yang bukan urusan kita tak selayaknya kita campuri.”

“Aku tidak yakin itu akan bekerja,” kata si istri.

“Diam seperti batu,” kata si lelaki. “Seperti yang selama ini kita lakukan setiap kali menonton atau membaca berita tentang perang di mana-mana.”

Sinar matahari pertama baru saja menyentuh permukaan tanah ketika pada akhirnya si lelaki membuka pintu rumah. Perang terlihat lebih mengerikan tanpa lapisan kaca yang menghalangi pandangan. Seorang bocah meraung-raung dengan setengah kepala meleleh, seorang lelaki sempoyongan dengan usus yang menjuntai, serpihan tubuh di mana-mana, dan ledakan-ledakan terdengar lebih memekakkan.

Baca juga  Pria dan Purnamanya

Lantas seorang lelaki dengan kaki hancur merayap ke teras rumah.

“Tolong saya,” ia merintih. “Tolong saya….”

Namun, si lelaki membisu.

“Aku hanya penonton,” si lelaki bergumam. “Aku hanya batu.” Semakin lama, semakin banyak korban terluka yang merayap ke teras rumah. Dan itu membuat si lelaki memutuskan untuk kembali masuk ke dalam lantas menutup pintu.

“Apa kita akan menolong mereka?” si istri bertanya ketakutan.

“Perang ini tidak ada urusannya dengan kita,” kata si lelaki. “Kita tidak tahu apa penyebabnya. Dan mereka sama sekali bukan keluarga atau kenalan kita.”

“Tapi mereka terluka.”

“Ingat,” kata si lelaki. “Kita adalah batu.”

Menjelang siang, terdengar suara ketukan di pintu.

“Mereka mau masuk,” si istri menjerit ketakutan.

“Abaikan,” kata si lelaki. “Ingat, kita adalah batu.”

Semakin lama, suara ketukan terdengar semakin sering dalam irama dan bunyi yang berbeda-beda. Si lelaki tahu, orang yang mengetuk telah berganti-ganti semenjak pertama kali.

“Abaikan,” kata si lelaki kepada si istri. “Ingat, kita hanyalah penonton. Kita adalah batu.”

Dan sebagai penonton dan batu, mereka duduk diam dengan takzim di sofa menghadap kaca jendela.

“Kita adalah penonton,” ulang si istri. “Kita adalah batu.”

Menjelang sore, seseorang mendobrak pintu rumah tersebut.

“Tolong saya,” seru si seseorang. Namun tak terdengar sahutan. Di sofa, hanya ada dua onggok batu. Diam dan seperti menonton apa yang sedang terjadi di luar sana. ***

.

.

Dadang Ari Murtono. Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), Cara Kerja Ingatan (novel, 2020), Sapi dan Hantu (kumpulan puisi, 2022), Cerita dari Brang Wetan (kumpulan cerpen, 2022), serta Peta Orang Mati (kumpulan cerpen, 2023).

.

Jawa Pos menerima kiriman cerpen dengan panjang naskah 1.500 kata. Sertakan biodata singkat, foto terbaru, foto kartu identitas, nomor rekening, dan NPWP. Cerpen dikirim ke sastra@jawapos.co.id
.
Perang di Halaman Rumah. Perang di Halaman Rumah. Perang di Halaman Rumah. Perang di Halaman Rumah. Perang di Halaman Rumah. Perang di Halaman Rumah. Perang di Halaman Rumah. Perang di Halaman Rumah. Perang di Halaman Rumah.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!