Cerpen, Koran Tempo, Risen Dhawuh Abdullah

Tahun 1948

Tahun 1948 - Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Tahun 1948 ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

0
(0)

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah (Koran Tempo, 18 Oktober 2025)

MESKI gerakan-gerakan yang dilakukan partai kian masif, kau menyadari bahwa untuk mewujudkan cita-citamu—cita-cita Partai Merah—sangatlah tidak mudah. Kau menghadapi massa besar yang sudah telanjur membenci, imbas narasi-narasi yang terus digemakan akibat kegagalan di masa lalu. Kau mengerti, jalan yang kau tempuh akan begitu berat. Sungguh berat.

“Memperjuangkan keadilan selalu sulit, apalagi dalam posisi yang tertindas. Saya akan terus berjuang di jalur ini, semua demi keberlangsungan Partai Merah, demi kesejahteraan rakyat,” katamu kepada kawanmu, Sardjono, yang baru tiba dari Australia siang tadi.

“Betul, Bung. Kita harus tetap solid, apalagi menghadapi penindasan. Saya mengikuti perkembangan tanah air, selama di sana. Suara-suara perjuangan nyatanya terus ada, meski gemanya tidak sekeras ketika saya pergi meninggalkan tanah air. Itu pertanda, kesadaran masyarakat masih ada,” ucap kawanmu dengan nada penuh keyakinan.

“Sekarang ini adalah momentum, kita mempunyai kursi di puncak kekuasaan. Perlahan demi perlahan, semoga semesta mendukung. Kita tidak boleh menyianyiakan kesempatan ini.”

Kamu mengambil cangkir yang berisi teh di hadapanmu, di sebuah meja bundar. Saat kau meminumnya, terasa pahit sekali, lebih pahit daripada teh biasanya.

“Inilah perjuangan,” bisikmu dalam hati.

Rasa yang lebih pahit daripada teh biasanya, mengingatkanmu pada keadaan saat ini, keadaanmu, juga partaimu. Begitu perih penderitaan yang harus dilalui. Partaimu harus menghadapi amuk badai yang sangat kencang; narasi-narasi kebencian yang terus diproduksi supaya rakyat menganggap bahwa akar dari segala persoalan berawal dari partaimu.

Meski begitu, Partai Merah juga tidak tinggal diam. Pergerakan di bawah terus dilakukan. Kau tahu, itu terus diupayakan. Apalagi setelah satu per satu tokoh Partai Merah yang pernah berjuang dua puluhan tahun lalu, pulang ke tanah air, termasuk Sardjono. Bagimu, itu adalah kabar yang menggembirakan. Keberadaan mereka telah menyalurkan energi berkali-kali lipat untuk berjuang.

Walau tidak jarang kau menerima berita tentang jatuh-korban akibat pertumpahan darah. Celakanya, berita yang dibuat oleh berbagai surat kabar menyudutkan partaimu. Anggapan partaimu bengis, kejam, suka membunuh orang, hingga tak bertuhan sering kau dapati dari pemberitaan yang tendensius. Sungguh, begitu besar tantangan yang dihadapi oleh partaimu.

Sebagai orang yang duduk di pemerintahan, kau senantiasa berada di tepi jurang kematian. Apalagi kala kau mendapati pimpinan Partai Hijau menuntut pembubaran kabinetmu setelah Perjanjian Renville yang telanjur sudah kau tandatangani itu. Bukan hanya Partai Hijau yang menuntut pembubaran, melainkan juga ada partai lain, seperti Partai Biru.

Baca juga  SRI PANGGUNG

Kau tidak habis pikir, bagaimana mungkin kau membubarkan kabinetmu sendiri? Dan lagi, mereka tidak menyetujui Renville. Jika hal yang satu ini kau bias memahami karena pada kenyataannya Indonesia banyak dirugikan—maka patutlah juga kau disalahkan sebab kau yang telah menandatangani. Namun, untuk hal membubarkan kabinet, akal sehatmu tidak bisa menerima.

Salah seorang kawanmu berkata, itu terjadi karena kau berafiliasi dengan Partai Merah sehingga kau dituntut untuk membubarkan. Ia bahkan menduga hal itu sudah lama direncanakan, tetapi menunggu momentum, dalam hal ini Perjanjian Renville.

Kemudian banyak kabar miring tentang dirimu kau tangkap, dari orang-orang Partai Hijau juga Partai Biru. Ada yang menganggap kau adalah seorang yang oportunis. Itu yang membuatmu sakit hati. Memang terasa menyakitkan, bayangkan berbagai hantaman silih berganti berdatangan dengan berbagai wujud.

“Saya menyadari ada upaya-upaya untuk menggulingkan kabinet saya,” katamu.

Sekarang kau sedang berada di kediaman pimpinan Partai Merah. Kau mengunjunginya karena tidak tahu lagi kepada siapa kegelisahanmu kau tumpahkan. Kau menganggap keadaan sudah genting.

“Saya bisa mengerti, bahkan sejak Bung mengirimkan surat yang terakhir kali, mengenai desakan untuk membubarkan.”

Pimpinan Partai Merah itu kemudian mengisap rokok setelah menyelesaikan kata-katanya. Ia memandang ke sebuah arah. Dari tangkapan matamu, raut wajahnya menyiratkan rasa lelah yang luar biasa karena menanggung beban yang begitu berat.

“Saya akan kumpulkan kawan-kawan, Tan Ling Djie, Luat Siregar, dan Sudisman. Saya akan ajukan keberatan-keberatan terhadap partai-partai itu. Apalagi Partai Biru, mereka ada andil dalam pembentukan kabinet, Bung.”

“Bung ingin mengatakan kalau Partai Biru tidak bertanggung jawab?”

“Tepat! Begitu pun dengan Partai Hijau. Ada permainan di balik semua ini. Saya yakin mereka-mereka itu takut dengan kekuatan kita.”

Pimpinan Partai Merah itu benar. Omongan itu sungguh nyata adanya, bukan omong kosong. Hampir di segala lapisan masyarakat, orang-orang yang mempunyai kaitan dengan Partai Merah selalu diguncang, disingkirkan, bahkan dihancurkan. Siang tadi, kau mendengar kabar di Madiun, antara orang-orang Partai Merah dan orang-orang Pondok Pesantren mengalami bentrokan. Entah berita macam apa yang akan muncul pada keesokan harinya.

Baca juga  Polisi Gagah di Halaman Rumah

Terkadang kau miris melihat situasi yang begitu kacau, penuh dengan pertikaian. Namun, di sisi lain kau mendukung juga perjuangan, sebagai usaha untuk terlepas dari tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar, dari penindasan. Ya, walaupun harus ditempuh dengan pertumpahan darah.

Kepada pimpinan Partai Merah kau berharap akan dipermudah dalam mengajukan keberatan, dan dari sana bisa menjadi batu loncatan untuk memukul balik partai-partai itu. Sehingga akan tetap ada bagian dari Partai Merah yang duduk di singgasana kekuasaan. Kau pun berharap presiden tidak gegabah dalam melihat permasalahan ini, meski partainya menentang Partai Merah.

Jika presiden bisa demikian, posisimu akan baik-baik saja, meski kemungkinan pertumpahan darah bisa semakin parah.

“Presiden mungkin akan dianggap plin-plan dalam bersikap, jika memang usaha yang dilakukan Bung Aidit berhasil.”

“Tapi ayah sudah keluar dari sana bukan?” tanya istrimu.

“Sama saja, partai ayah sekarang masih berafiliasi juga. Ini hanya upaya saja, agar seolah-olah kabinet tidak dikuasai Partai Merah. Agar keadaan melunak.”

Istrimu terdiam—kau dan istrimu sedang berada di dalam mobil. Kau tahu bahwa ia mengkhawatirkanmu. Kepadamu ia sempat menyampaikan kalau beberapa hari yang lalu bermimpi buruk. Dalam mimpi itu, kau yang sedang bersama rekan-rekanmu di sebuah ruangan dikeroyok segerombolan serigala. Bahkan muncul gerombolan-gerombolan serigala yang lain. Kau melakukan perlawanan, walau kemudian meregang nyawa. Serigala-serigala itu menguasai ruangan dan tertawatawa.

Kala kau mendengarkan penjelasan mimpi itu dari istrimu, jantungmu berdegup kencang. Kau coba tetap tenang dan menguasai keadaan seakan-akan tidak terjadi apa-apa padamu.

Di rumah, kau menerima telepon. Sebuah kabar dari kawan lamamu yang menetap di Rusia selama dua puluh tahun lebih, akan pulang ke Indonesia empat bulanan lagi. Kabar yang sama sekali tidak kau duga. Ia mengatakan, sesampainya di tanah air ia akan langsung berjuang untuk Partai Merah.

“Bung, tetap hati-hati. Jaga keselamatan, selalu waspada,” pesanmu.

“Tentu. Saya sudah rindu dan tidak sabar bertemu dengan orang-orang Madiun. Saya akan menyampaikan beberapa hal penting pada kader-kader partai.”

Kawanmu itu begitu antusias.

“Kehadiran Bung akan sangat berarti bagi kami-kami ini. Saya yakin, partai akan bisa bertahan.”

Baca juga  Alkisah Sal Mencari Kang Mad

“Semoga saja, Bung semakin hari rakyat akan semakin banyak yang berada di pihak. Kita tidak ada apa-apanya tanpa mereka.”

“Betul.”

Benar-benar kabar yang menggembirakan. Kau seperti baru saja terjun ke dalam jurang yang penuh dengan kesejukan. Kau optimistis dengan kedatangannya, presiden semakin tidak mungkin asal-asalan dalam mengambil keputusan terhadap pertikaian partai-partai yang sedang terjadi. Selain itu, kawan lamamu itu juga kawan presiden. Kau berharap begitu. Sangat berharap.

Namun, ternyata harapan yang terus kau pupuk itu membuatmu berkecamuk. Harapan itu diputus begitu saja oleh rasa kecewa dan marah. Beberapa hari setelah, kawan lamamu meneleponmu, presiden mengeluarkan keputusan yang mengejutkanmu. Sebuah keputusan yang tidak pernah kau perkirakan sebelumnya. Jauh dari harapanmu. Bukan karena ia memihak Partai Hijau maupun partainya. Tidak.

Presiden memutuskan membentuk kabinet baru. Otomatis kabinetmu bubar. Yang lebih mengejutkan lagi, tidak ada orang-orang Partai Merah. Begitu pun dengan partai yang berafiliasi dengan Partai Merah. Tidak ada sama sekali. Kau begitu terpukul. Sangat. Meski kau kemudian juga memahami sulit bagi presiden, ia di lingkaran partainya.

Tidak ada lagi kesempatan untuk menarik massa dari puncak pemerintahan. Kekuasaan telah berpindah tangan. Kau menghubungi kawan lamamu.

“Apa masih ada harapan?”

“Bung, jangan pesimistis! Justru ini kesempatan kita untuk menyerang habis-habisan mereka.”

“Saya sungguh tidak habis pikir, Bung. Sejak awal memang orang Partai Merah tidak dikehendaki keberadaannya.”

“Kita memang ditakdirkan untuk terus berjuang!”

“Sampai kapan?”

“Sampai kita menang!” ***

.

.

Jejak Imaji, 25 September 2025

Risen Dhawuh Abdullah. Sedang menimba ilmu di Magister Sastra Fakultas Ilmu Budaya UGM. Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Kini bermukim di Bantul, Yogyakarta.

.
Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948. Tahun 1948.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!