Cerpen, Eko Darmoko, Jawa Pos

Fräulein Mönchengladbach

Fräulein Mönchengladbach - Cerpen Eko Darmoko

Fräulein Mönchengladbach ilustrasi Budiono/Jawa Pos

3
(1)

Cerpen Eko Darmoko (Jawa Pos, 18 Oktober 2025)

KABAR kematiannya berembus pada tahun 2004. Tapi, tahun 2009 aku bertemu dengannya di Gunung Argopuro. Ia meninggal dunia akibat terjebak kebakaran dalam apartemen di Surabaya. Koran lokal dan koran nasional ramai memuat beritanya. Bahkan, belasan kliping tentang kematiannya masih kusimpan rapi.

Saat mengikuti mata kuliah jurnalistik, dosen memberi tugas untuk menelaah berita yang seragam. Telaah dilakukan pada komposisi penulisan berita. Mulai judul, teras berita, hingga ekor berita. Maka berita tentang kematian gadis itu kupilih sebagai objek tugas kuliah. Uang saku kuliah pun kandas untuk membeli banyak koran.

“Aku sangat mengenal wajahmu,” sapaku padanya, memberanikan diri, saat bertemu dengannya di base camp Cikasur, Gunung Argopuro.

“Maksudnya?” balasnya.

“Aku pernah melihat wajahmu di koran.”

“Oh, itu!” ucapnya kaget, sambil memandang bekas landasan pesawat di Cikasur.

“Jadi, benar?”

“Benar!”

“Benar kamu sudah meninggal dunia?”

“Iya. Aku memang sudah meninggal dunia,” jawabnya sambil menatap dingin ke arahku.

Entah mengapa aku merasa biasa-biasa saja. Harusnya aku takut. Tapi, hawa dingin serasa melenyapkan ketakutanku. Di pertengahan tahun, suhu dingin memang menjadi momok bagi kalangan pendaki dari daerah tropis. Cikasur diselimuti suhu sekitar 5 derajat Celsius. Kopi yang kubikin sekitar 15 menit lalu kini sudah mengental, nyaris membeku.

“Kamu tidak merasa kedinginan?” tanyaku seadanya demi memecah dingin.

“Tidak!” jawabnya ketus.

Memang, aku salah melontarkan pertanyaan. Dari penampakannya saja, seharusnya bisa kusimpulkan kalau ia tidak kedinginan. Ia hanya memakai kaus dan celana kain. Rambut hitamnya dibiarkan terurai jatuh di atas pundak. Sedangkan wajah Eropa-nya terlihat pucat.

“Kamu sendirian?” tanyaku lagi.

“Seperti yang kamu lihat. Selain kita, di sini tak ada manusia lain.”

Aku merasakan nuansa aneh ketika ia menyebut kata “manusia”. Seolah-olah ia dan aku berasal dari jenis yang sama.

“Kamu telat,” ucapnya tiba-tiba.

“Telat mengapa?”

“Kopimu sudah beku,” katanya sambil melihat ke arah cangkir logam yang kugenggam.

Suhu semakin dingin. Angin kian beringas menerjang Cikasur. Sebentar lagi gelap. Aku memutuskan masuk tenda. Istirahat dan tidur demi mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan pendakian esok hari. Namun, sebelum masuk tenda, aku melakukan blunder saat melontarkan pertanyaan kepadanya.

“Kamu tidur di mana?”

“Harusnya kamu tidak bertanya seperti itu,” ucapnya, lalu tertawa. “Kamu sudah tahu riwayatku dari koran-koran itu, kan? Jadi, tak perlu kujawab pertanyaanmu.”

Di dalam tenda, aku masih memantaunya dari sela-sela ritsleting tenda. Ia berjalan menuju savana, menghampiri pohon besar yang dikelilingi pagar kayu berlapis kain, lalu berlarian di bekas landasan pesawat peninggalan kolonial. Sesekali ia menengok ke arah tendaku. Aku tak tahu persis bentuk raut wajahnya sebab kabut sangat tebal.

Baca juga  Penebusan

Malam melumat Cikasur. Kututup tenda seutuhnya. Kurebahkan tubuhku. Pikiranku melayang-layang, mencoba mengingat nama dan asal-usulnya berdasarkan kliping koran yang kusimpan. Tapi aku gagal menemukannya. Yang kutemukan cuma satu fakta; ia berasal dari Jerman.

Esok harinya, saat pagi masih basah diselimuti kabut, aku tak melihatnya. Aku nyaris melupakannya. Aku paham betul, dalam setiap pendakian, selalu kutemui hal-hal yang tak masuk akal.

Selepas sarapan nasi dan oseng-oseng kornet ala kadarnya, aku melanjutkan pendakian ke base camp Cisentor. Cuaca yang buruk ditambah medan yang berat membuatku menghabiskan delapan jam jalan kaki untuk sampai Cisentor. Pada tepian sungai, aku kembali menemukannya. Ia duduk sambil kakinya tenggelam dalam aliran sungai. Aku pura-pura tidak melihatnya. Aku langsung menyibukkan diri; memasang tenda, lalu memasak.

“Di sini tidak sedingin Cikasur,” tiba-tiba ia mendekatiku. “Hutan di sini sangat lebat. Aman dari sergapan angin.”

“Tapi tetap saja masih dingin menurutku,” timpalku sambil mengunyah Indomie.

Hari belum malam, tapi suasana Cisentor sudah gelap. Cahaya jingga matahari terhalang hutan lebat. Pohon-pohon tinggi berjajar rapat, seolah-olah sedang menggaruk langit. Gemuruh suara alam menusuk telinga. Deras air sungai mengingatkanku pada bising kendaraan di jalanan Surabaya. Benar kata gadis itu, Cisentor tak sedingin Cikasur. Kopi yang kubikin sekitar 15 menit masih berbentuk cair.

“Lama sekali kamu sampai sini,” ia memancingku untuk memulai obrolan.

“Sepanjang perjalanan, hujan sangat ganas. Diselingi badai, medan juga berat. Tanah berlumpur. Belum lagi banyak pohon tumbang, bikin perjalanan bertambah susah,” gerutuku.

Sebenarnya gerutuan itu ingin kulanjutkan dengan pertanyaan. Tapi, setelah kupikir-pikir, pertanyaan itu tak ada gunanya. Aku tak butuh jawaban tentang di mana ia tidur atau bagaimana ia bisa sampai Cisentor. Kliping koran yang kusimpan sudah menjelaskannya.

“Aku lupa namamu,” aku memberanikan diri mengoreknya.

“Sudah tertulis dalam koran.”

“Iya,” jawabku. “Yang kuingat karena kebakaran. Itu saja sih. Soal namamu aku lupa.”

“Nah, panggil saja aku Fräulein. Toh koran-koran itu menyebutku dari Jerman.”

“Benar juga sih.”

“Kalau kuperhatikan, kamu pasti asli Surabaya.”

“Kok tahu?” aku mulai terpancing.

“Hei, aku mati di Surabaya. Jadi, aku tahu logat orang Surabaya kebanyakan. Logatmu Suroboyo banget.”

“Masuk akal sih,” aku mematung agak lama. “Mengapa bahasa Indonesiamu bisa selancar ini?”

“Sejak usia 2 tahun sampai aku mati, aku tinggal di Indonesia. Dari Mönchengladbach aku diboyong orang tuaku ke Malang.”

“Malang?”

Baca juga  Perempuan Berwajah Palsu

“Ya!”

“Malang mana?”

“Perumahan Bukit Dieng.”

Jawaban itu membuka pintu ingatanku. Dari kliping koran tentangnya, aku ingat kronologi kematiannya. Dari Malang, ia datang ke Surabaya bersama beberapa temannya. Mereka pergi ke kelab di Surabaya untuk dugem. Selepas dugem, ia menginap di apartemen milik orang tuanya di selatan Surabaya. Sedangkan teman-temannya langsung balik ke Malang.

“Tapi aneh!” umpatku lirih.

“Aneh mengapa?”

“Hanya kamar apartemenmu yang terbakar.”

“Oh itu, aku sengaja membakarnya,” jawabnya enteng.

“Jadi….”

“Iya, aku memilih untuk mengakhiri hidup.”

“Alasannya?”

“Albert Camus membuatku untuk mengakhiri hidup yang absurd ini.”

“Siapa dia?”

“Dia penulis buku Myth of Sisyphus.”

“Dia ikut dugem sebelum insiden kebakaran?”

“Tidak!” ia geleng-geleng kepala sambil menatapku tajam.

“Berteman dengan penulis memang banyak ruginya. Penulis selalu membawa pengaruh buruk dalam pergaulan. Seandainya kamu masih hidup, sebaiknya akhiri saja hubungan pertemananmu dengan Albert Camus.”

“Kamu benar-benar tidak tahu tentang Albert Camus?” tanyanya sambil melotot.

“Tidak!”

“Payah!”

“Tidak ada untungnya aku tahu tentangnya.”

Tiba-tiba ia memasang wajah angkuh, sinis, dan seolah-olah meremehkanku. Malam bertambah dingin. Di kejauhan sana kudengar jerit ayam hutan. Kurasakan air sungai pasang. Permukaan airnya kian mendekati tendaku.

“Ngomong-ngomong namamu siapa?”

“Wildan. Namamu?”

“Sudah kujawab tadi. Panggil saja Fräulein.”

“Baiklah. Aku ngantuk,” itulah kalimat terakhirku. Aku masuk tenda. Tidur.

Paginya, aku tak melihat penampakan gadis itu. Selepas sarapan, aku melanjutkan perjalanan ke puncak gunung. Seorang diri aku berjalan di medan curam dan licin. Aku serasa memasuki dunia yang asing ketika sampai Rawa Embik. Badanku sempoyongan setelah berjalan sekitar empat jam. Tapi tanda-tanda mendekati puncak belum terlihat. Pada sebuah persimpangan, di antara barisan batu-batu sebesar mobil Jeep, aku melihat Fräulein duduk-duduk di atas salah satu batu itu. Aku tak punya tenaga untuk memanggilnya. Aku hanya mendongak ke atas untuk melihatnya.

“Sebentar lagi sampai puncak,” katanya, lalu melompat dari atas batu. Ia mendarat tepat di depanku. “Kamu ke puncak mana dulu?”

“Rengganis, kemudian lanjut Argopuro.”

“Kamu tampak payah. Terlihat sangat kelelahan. Cara berjalanmu juga terlihat oleng.”

“Aku mau istirahat sejenak di sini,” ucapku sambil duduk, menyandarkan punggung pada sebuah batu. “Berapa lama lagi sampai puncak?”

“Mungkin sekitar satu atau dua jam lagi.”

“Dengkul dan boyokku seperti mau rontok.”

“Dasar lemah!”

“Ngomong-ngomong gimana ceritanya kamu sampai gunung ini?”

“Panjang ceritanya.”

“Dibikin pendek saja,” kataku sambil mengatur napas yang masih ngos-ngosan.

“Selepas insiden kebakaran itu, aku luntang-lantung nggak jelas. Gentayangan di banyak tempat. Singkat cerita, aku mengembara,” tiba-tiba ia menghentikan ceritanya, terlihat menerawang jauh. “Lalu teringat legenda Dewi Rengganis. Itulah alasanku ke sini.”

Baca juga  Ke Mana Domba Pergi?

“Mengapa tak kembali ke Mönchengladbach saja?”

“Aku merasa tak punya ikatan apa pun dengan kota itu.”

“Mengapa tak pulang ke Perumahan Bukit Dieng Malang?”

“Ada kenangan pahit di sana. Aku tak mau ke sana lagi.”

“Kenangan pahit?”

“Semalam suntuk aku diperkosa lima pria yang tak kukenal.”

“Sungguh pahit.”

“Perusahaan otomotif milik orang tuaku di Malang juga hampir gulung tikar. Sepertinya sekarang sudah benar-benar gulung tikar. Orang tuaku ditipu rekan kerja. Kabar terakhir yang kuketahui, orang tuaku pulang ke Mönchengladbach.”

“Stop!”

“Aset-aset orang tuaku juga berpindah kepemilikan, termasuk rumah di Bukit Dieng. Semuanya lenyap.”

Selanjutnya ia terus nyerocos. Telinga dan otakku tak bisa fokus menyerap kalimat-kalimatnya. Termasuk saat ia menyebut beberapa kali nama Dewi Rengganis. Aku lelah.

“Aku mau tidur sejenak sebelum melanjutkan ke puncak. Bangunkan aku sekitar satu jam lagi,” pintaku.

Mataku memang terpejam. Terasa lengket. Tapi aku belum benar-benar tidur. Pikiranku masih melayang-layang tak karuan. Kurasakan hawa dingin menampar kulitku. Tiba-tiba kurasakan cubitan lembut pada lenganku.

“Mas, bangun! Sudah hampir terang. Buruan salat Subuh.”

Kubuka kedua mataku. Kulihat wajah cantik istriku. Aku terbengong agak lama.

“Kita di mana, Dik?” tanyaku sambil mengucek mata.

“Hah? Ya di rumahlah. Kamu habis mimpi apa, Mas?”

Kuperhatikan suasana di sekelilingku. Benar, aku sedang berada di kamar, di sebuah rumah mungil yang kubeli dengan uang tabungan hasil kerja bertahun-tahun.

“Kamu tahu tumpukan kliping koran zaman kuliahku dulu? Tersimpan di mana?”

“Masih tersimpan di laci kamar kerjamu.”

“Tolong ambilkan!”

“Untuk apa, Mas?”

“Aku ingin menulis novel berdasarkan kisah nyata dari kliping koran itu.”

“Bukannya Mas membenci kaum penulis. Mengapa Mas sekarang ingin jadi penulis?”

“Iseng saja.” ***

.

.

Eko Darmoko. Prosais kelahiran Surabaya. Buku kumpulan cerpennya Revolusi Nuklir (Basabasi, 2021) masuk 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021.

.

.

Jawa Pos menerima kiriman cerpen dengan panjang naskah 1.500 kata. Sertakan biodata singkat, foto terbaru, foto kartu identitas, nomor rekening, dan NPWP. Cerpen dikirim ke sastra@jawapos.co.id

.
Fräulein Mönchengladbach. Fräulein Mönchengladbach. Fräulein Mönchengladbach. Fräulein Mönchengladbach. Fräulein Mönchengladbach. Fräulein Mönchengladbach.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!