Cerpen, Daisy Rahmi, Jawa Pos

Valentina

3.5
(10)

Sepasang sepatu membuatku mengingat-ingat kapan kali terakhir ia pulang. Benda cokelat tersebut tergeletak serampangan di dekat pintu.

SAMBIL menghela napas, aku geser keduanya ke samping dengan kaki, kemudian mengalihkan perhatian pada sosok lelaki yang berdiri di depan kompor. Yang ditatap melirikku masuk. Lars memindahkan telur yang telah matang dari wajan ke piring dan membawanya ke ruang makan.

“Kubuatkan sarapan,” ucapnya.

Aku menuju kamar tanpa menjawab, melepas jaket dan menggantungkannya. Lars telah mulai menyuap ketika aku keluar.

“Kapan datang?” tanyaku.

“Baru saja,” gumamnya di sela-sela kunyahan.

“Ke mana selama ini?”

Pertanyaanku diabaikan.

“Setidaknya kau bisa memberi tahuku.”

Lars mendengus.

“Aku tinggal di sini bukan agar kau bisa bersikap seperti seorang ibu.”

Tak ingin memperpanjang, kutarik kursi di seberang meja dan mulai makan. Sesaat tak ada yang bicara.

“Ada pos hari ini?” tanyanya tiba-tiba.

“Entahlah.”

Lars bangkit dan bergegas keluar. Ia kembali beberapa menit kemudian dengan setumpuk amplop di genggaman. Kulanjutkan aktivitas mencuci piring tanpa keinginan bertanya.

“Ada surat untukmu.”

Terkejut, aku spontan berpaling. Lars membalikkan benda segi empat di tangan.

“Dari Donie. Kau kenal?”

Sesuatu berdenyut di dada. Aku menelan ludah.

“Letakkan saja di meja,” jawabku, kemudian melanjutkan pekerjaan yang terhenti.

Bunyi pintu terbuka dan tertutup di belakangku. Laki-laki itu pasti masuk ke kamarnya dan takkan keluar sampai sore seperti biasa. Aku berhenti mencuci, menekan pinggiran bak dengan tangan berbusa. Kelopak mata mulai terasa panas. Tidak siap menghadapi sepucuk surat yang berjarak semeter sekaligus luka masa lalu yang dibawanya. Aku tak mengharapkan apa-apa lagi, tidak surat atau yang lain, sejak hari itu. Hari ketika hidupku yang sebenarnya dimulai.

“Aku tak percaya kau menunggu ayah dan ibu meninggal sebelum melakukan ini!”

“Apa yang kauharapkan dari kami?! Mendukungmu?!”

Kalimat Marin dan Stefie terngiang bersamaan dengan mengucurnya air dari mulut keran. Mereka benar. Aku tidak sanggup melakukannya saat orang tua kami masih hidup dan berharap pengertian kakak-kakak perempuanku setelah keduanya tiada. Harapan berakhir dengan cercaan dan pengusiran. Lars satu-satunya kerabat yang memahami pilihanku.

Baca juga  Lelaki yang Tubuhnya Habis Dimakan Ikan-Ikan Kecil

Aku bersihkan tangan, lalu meraih surat tersebut. Sudut bibir terangkat melihat gaya tulisannya masih sama; besar, acak-acakan, dan condong ke kanan. Jari telunjuk menelusuri coretan dengan mata berkaca-kaca. Setitik air mata jatuh, menimbulkan bercak di permukaan amplop. Gagang pintu kamar Lars bergerak. Tak ingin tepergok menangis, cepat kusurukkan ke saku dan bergegas pergi.

***

Setelah tiga hari aku putuskan menemui seseorang yang bisa diajak bicara. Matahari tepat ada di puncak kepala ketika mesin mobil dimatikan, sinarnya memantul di kaca gedung. Gadis cantik di meja resepsionis menyapa ramah. Kubalas sapaannya dengan senyum dan anggukan. Usai melewati selasar panjang, aku naik tangga dan mengetuk pintu di ujungnya.

“Aku ingin bicara,” ucapku kepada si pembuka pintu.

Ia menyisih memberi jalan. Ruangan di belakangnya berantakan. Tumpukan piring kotor memenuhi bak cuci, beradu kotor dengan gorden yang tergantung. Di lantai bertebaran kertas-kertas yang telah diremas. Seekor kucing tidur melingkar di dudukan kursi. Hewan tersebut mengangkat kepala saat aku masuk dan menatap dengan mata hijaunya.

“Duduklah di mana kau suka.”

“Aku dipecat minggu lalu,” lanjutnya menjawab pertanyaan di sorot mataku.

“Kalau kau butuh bantuan….”

“Aku bisa mengurus diriku sendiri.”

Disingkirkannya kotak bekas makanan sebelum mengempaskan tubuh ke sofa.

“Ada apa? Mustahil kau jauh-jauh ke sini hanya untuk mengecek kondisi keuanganku.”

Memilih tetap berdiri, kuulurkan amplop yang masih tertutup.

“Bacakan untukku.”

Setelah membaca lembar surat, mata lawan bicaraku menyipit di balik kacamata.

“Ini dia?”

Aku mengangguk. Si lelaki meringis.

“Dia ingin bertemu.”

“Ironis, bukan?”

Diselipkannya lipatan surat ke dalam amplop, lalu mengembalikan padaku.

“Tampilan luarmu memang telah berubah, operasi memberi hidup yang kau inginkan, tapi di dalam kau tetap saja bocah lelaki yang takut mengakui masa lalu.”

Aku menghindari tatapannya. Pria itu bangkit dan menepuk bahuku.

“Temui dia.”

Pulang dalam keadaan kacau, aku berusaha keras tidak membiarkan pikiran mengembara selagi mengemudi. Belum sepenuhnya yakin akan saran tersebut, tapi juga tak punya pilihan lain. Pembicaraan barusan sama sekali tak menolong. Perasaanku masih sama tertekannya seperti tiga hari lalu. Aku menghela napas dan menginjak pedal gas.

Baca juga  Memindahkan Kota dan Seisinya

Hal lain mengganggu setiba di rumah. Keningku berkerut melihat sepeda motor Lars tak ada. Sudah beberapa lama aku curiga. Kepergian misterius selama berhari-hari serta keengganan memberi tahu mengisyaratkan ada yang tidak beres. Aku buka pintu kamar Lars dengan kunci duplikat dan menggeledah isinya. Amarah bergolak membuatku terpaku menatap sesuatu yang ditemukan. Ia telah memanfaatkanku!

Yang ditunggu muncul lima hari kemudian. Pemuda tersebut masuk rumah sambil bersiul kecil. Ia melirik tak acuh. Ayunan langkah terhenti menyadari diriku mengawasi gerak-geriknya.

“Ada apa?”

Kutunjuk dua koper besar dengan gerakan kepala.

“Pergi. Sudah kukemasi semua milikmu.”

“Kau masuk ke kamarku?” balasnya tercengang, “Apa-apaan ini?”

Sebuah bungkusan cokelat kulemparkan ke dekat kakinya.

“Bawa juga barang terkutukmu.”

“Tunggu! Aku bisa jelaskan.”

“Aku tidak butuh alasan kau menyimpan narkoba,” tukasku tajam, “Aku ingin kau angkat kaki. Masalahku sudah banyak tanpa perlu kedatangan polisi untuk menangkapmu.”

Pria itu mendekat dengan sikap mengancam. Dua tangan terkepal di sisi tubuh. Wajahnya beringas.

“Dengar baik-baik, sialan!” desisnya geram, “Hanya aku yang ada di pihakmu waktu itu!”

Kutentang tatapannya.

“Tak akan kuulangi kali kedua. Tinggalkan kunci rumahku yang ada padamu.”

Usai beberapa lama beradu mata, kepalan itu mengendur. Lars menyeringai kecut. Ia mengangkat tangan dengan sikap menyerah.

“Baiklah. Terserah.”

Diempaskannya anak kunci ke atas meja, berbalik dan keluar sambil membanting pintu.

***

Pagi yang basah dan dingin setelah hujan malam hari. Masih dalam balutan jubah mandi, kukeluarkan lembaran kertas dari amplop; membacanya untuk kali pertama. Keputusan itu dibuat tanpa pikir panjang. Lima menit berselang aku telah dalam perjalanan ke stasiun, membeli tiket kereta api dan membiarkan mobil di parkiran.

Kota yang selama ini dihindari kali ini jadi tujuan. Hangatnya sinar matahari mengiringi diriku saat menghampiri deretan taksi. Duduk bersandar di kursi belakang dengan telapak tangan lembap oleh keringat, aku abaikan ocehan si sopir yang sepertinya berniat jadi pemandu wisata dadakan. Perlu konsentrasi untuk membulatkan tekad.

Baca juga  Mafia Tanah

Taksi berhenti di seberang gedung. Aku masuk ke kafe, memesan secangkir kopi susu dan sebutir telur rebus sebagai pengisi perut. Memilih meja dekat jendela, berharap bisa melihatnya. Pesananku baru saja diantar saat sosoknya menyeberang jalan. Dia sama sekali tak berubah. Alis tebal menaungi sepasang mata yang bersinar cerdas. Setelan yang dikenakan mengingatkan aku pada hari terakhir kami bertemu.

Aku tinggalkan makanan yang masih utuh, kemudian membuntuti pria itu dengan hati-hati meski yakin ia tak mungkin mengenali. Yang diikuti masuk ke gedung lalu membuka salah satu pintu di koridor. Kupejamkan mata dan menghitung sampai sepuluh sebelum melangkah maju. Perempuan dengan rambut dicat biru merespons ketukanku.

“Ada apa?”

Tak siap berhadapan dengannya, aku sedikit tergagap.

“…Donie.”

Setelah mengamatiku dari puncak kepala hingga kaki, ia berpaling dan berteriak ke dalam.

“Donie, kemarilah!”

Langkah kaki mendekat. Laki-laki yang ingin kutemui muncul.

“Ada apa?”

“Dia mencarimu.”

“Bisa kita bicara berdua?” selaku.

Si biru memandang sinis, lalu masuk. Donie menutup pintu sebelum menanyaiku.

“Apa yang bisa kubantu, Nona?”

Ujung runcing pisau mulai menusuk hati. Ini lebih menyakitkan dari yang dibayangkan. Aku menelan ludah.

“Kau mengirim surat padaku.”

“Maaf?”

Donie menerima amplop yang kuulurkan. Lama lelaki itu terdiam setelah membaca isinya, kesulitan berkata-kata.

“…kau …berubah, Valen.”

“Valentina,” koreksiku, “Apa kabar, Donie?”

Menjaga agar senyum tetap tersungging di bibir, aku yakin tidak akan pernah terbiasa menerima tatapan itu. Tatapan dari orang-orang yang mengenalku sejak kutambahkan kata “tina” di belakang nama tahun lalu. ***

DAISY RAHMI. Penulis kelahiran Manado dan kini tinggal di Jakarta.

Loading

Average rating 3.5 / 5. Vote count: 10

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Walaupun aku merasakan sebagai cerita yang bagus, tapi kurang mengerti. Barangkali ada yang bisa lebih menjelaskan. Terima kasih

  2. fiana

    Sepertinya tokoh aku yang merubah gendernya, dan bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalunya.

Leave a Reply

error: Content is protected !!