Cerpen Eko Darmoko (Jawa Pos, 02 Oktober 2021)
BEBERAPA jam yang lalu, ia masih bermesraan dengan istri keduanya yang sedang mengandung anak pertama di kamar mewah di perumahan borjuis. Sedangkan istri pertamanya meringkuk kesepian di kamar sederhana di perumahan lain. Namun, malam itu kemesraan bersama istri keduanya buyar setelah jongos kepercayaannya mengetuk pintu kamar tersebut.
Kini ia mengalami nasib serupa dengan nasib istri pertamanya, namun beda lokasi dan keadaan; ia meringkuk sengsara ditemani gerombolan nyamuk, sekawanan kecoak, dan belasan bajingan di dalam sel tahanan polrestabes. Baju tahanan warna oranye berbau apek membungkus tubuhnya yang pendek dan gempal. Sementara kepalanya yang nyaris botak menjadi sasaran jitak oleh kaum bajingan penghuni sel tahanan.
Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa jurus tipunya terendus dan sampai di meja dinas Kasatreskrim. Ia tak mengira bila seseorang telah menggeledah dosa-dosanya, lalu melaporkannya ke polisi. Bahkan, ketika jongosnya menyampaikan bahwa di teras rumah sedang ada sejumlah perwira dengan sepucuk surat penangkapan, ia mengira sedang kedatangan kolega dari polsek setempat.
“Heh, cebol! Namamu siapa? Kasus apa?” tanya bandit spesialis begal antarprovinsi ke arahnya. Namun, ia cuek –merasa jijik menjawab pertanyaan si bandit. Ia sibuk berburu nyamuk yang meneror tubuhnya. Jengkel karena pertanyaan itu diabaikan, si bandit mendekatinya, lalu melayangkan bogem ke wajahnya.
“Jawab pertanyaanku, goblok!” si bandit meraung.
“Kau belum tahu siapa aku? Aku bisa membeli kepalamu, cecunguk!”
Si bandit makin tersulut amarahnya. Kemudian menempeleng wajahnya dengan sandal jepit. Darah mengucur dari bibirnya yang robek.
“Namamu, goblok?” ulang si bandit. Tahanan lainnya terkekeh. Ngakak.
“Dayat.”
“Kasus apa?”
“Kriminal.”
“Di sini semuanya kriminal. Yang jelas!”
“Pokoknya kriminal,” ucap Dayat sambil agak mengejek. Ia muak.
“Si jidat hitam ini pasti ditangkap karena kasus cabul,” kata si bandit, lantang, diarahkan ke seluruh penghuni sel tahanan.
“Sikat pelirnya dengan balsem, bos!” bandar ganja menimpali.
Takut akan terjadi sesuatu dengan organ tubuhnya yang paling berharga, barulah Dayat bersikap kooperatif ketika diinterogasi sesama tahanan.
“Penipuan dan penggelapan,” kata Dayat sambil meludah. Merah mengotori lantai.
“Apa yang kauembat? Ruwet lagi, akan kami bikin babak belur kau…”
“Tanah…”
Di sel tahanan itu, Dayat merasakan simulasi hidup dalam neraka jahanam. Ia diperlakukan secara tidak pantas. Tidak ada lagi ubin marmer mahal. Tidak ada lagi ranjang empuk. Tidak ada lagi kehangatan dari istri-istrinya. Tidak ada lagi pendingin ruangan. Yang ada hanyalah kesengsaraan, gerah, segala hal yang jijik menurut standarnya, dan ketidakpercayaan terhadap peristiwa yang baru saja dilaluinya.
Sebelum dikeler masuk sel tahanan, serta sebelum dipelonco oleh tahanan senior, Dayat diinterogasi oleh tim penyidik perihal kasus yang menjeratnya. Tentunya ia didampingi oleh pengacara yang terpaksa –setelah ditolak oleh banyak pengacara. Maklum, di jagat hukum, nama Dayat sudah tercoreng dan tercemar. Hal inilah yang membuat banyak pengacara menolak mendampinginya. Namun, karena Rahmat sepi job saat pandemi, ia terpaksa menerima pinangan Dayat sebagai pengacara. Demi kebutuhan perut.
Di hadapan sejumlah penyidik berpangkat kompol dan AKBP, melalui pengacaranya, Dayat meminta penangguhan penahanan. Tapi, usaha itu sia-sia. Nominal kerugian yang ditanggung pelapor membuat Dayat mustahil menjadi tahanan kota. Ia tetap harus menghuni sel tahanan, berbagi ruang dengan bajingan lainnya.
“Uang pelapor senilai Rp 2,4 miliar kau pakai untuk apa? Sudah dua tahun tidak ada progres pembangunan pada proyek Perumahan Permata,” cecar penyidik.
Mendengar cecaran itu, Dayat hanya bisa menggerutu tak jelas. Jawabannya ngalor-ngidul. Sementara si pengacara menggigil, di jidatnya mengucur keringat sebesar biji semangka.
“Saya butuh waktu untuk menjawabnya secara benar dan terperinci. Tidak pada situasi seperti sekarang ini. Setidaknya di resto atau hotel,” Dayat berkelit.
“Sebagian uang itu saya pakai untuk pesta pernikahan mewah bersama istri kedua, dan pelesiran…” sambung Dayat dalam hati, hanya bisa didengar oleh demit dan danyang penjara.
Kepala Dayat pening. Ia tak menyangka seorang customer dari perusahaan pelat merah melaporkan dosa-dosanya. Kepeningan itu makin menjadi-jadi setelah penyidik membeberkan perincian-perincian lainnya.
“Di proyek lainnya, ada puluhan pelapor yang ’nyanyi’ mengumbar tipu muslihatmu. Tapi tenang saja, kami profesional. Kami mengutamakan konsep praduga tak bersalah,” beber penyidik, “tapi jangan coba-coba menyuap kami.”
“Mereka yang ‘nyanyi’, maksudnya yang mengaduh, apakah sudah diproses?” tanya pengacara terbata-bata, gemetar.
“Sementara masih kami tampung, sebab ’nyanyian’ itu masih berupa pengaduan daring di laman kami. Segera diproses jika mereka sudah melaporkannya secara resmi, tentunya disertai bukti otentik tentang dugaan penipuan dan penggelapan yang dialamatkan ke klien Anda.”
“Kabulkan penangguhan penahanan ini! Saya akan siapkan jawaban dan bukti untuk menyanggah laporan ibu dari perusahaan pelat merah itu,” rengek Dayat.
“Kau tetap ditahan!”
“Tidak ada pengecualian?” timpal si pengacara.
“Tidak! Jumlah kerugian terhitung banyak. Demi keamanan, maksud kami agar tersangka Dayat tidak kabur atau menghilang, ada baiknya kami tahan.”
Dayat dan Rahmat saling pandang. Mereka membisu. Keringat mulai ganas bercucuran di jidat masing-masing. Dalam benak Dayat, terpampang wajah istri keduanya yang mengandung. Kemudian berganti wajah sendu istri pertamanya. Kemudian menyusul wajah anak-anaknya.
“Besok pagi pukul sepuluh, kami menggelar konferensi pers terkait kasusmu,” ucapan penyidik menyentak lamunan Dayat. “Bapak Kapolrestabes yang memimpinnya. Nanti kepada rekan-rekan wartawan kami hanya akan mengulas dugaan penipuan dan penggelapan yang Rp 2,4 miliar. Sebab, itu yang sudah dilaporkan secara resmi kepada kami.”
“Apakah tidak ada skema untuk membatalkan konferensi pers itu?” Rahmat menggarami.
“Ingat, jangan coba-coba menyuap kami…”
“Bukan menyuap, Pak Penyidik,” Dayat memotong. “Pengacara saya bilang ’skema’, bukan menyuap!”
“Sama saja itu…”
“Kami mengharapkan kerja samanya, Pak Penyidik!” Rahmat memotong.
“Baiklah. Interogasi sudah selesai. Surat penangkapan juga sudah kalian baca. Sekarang Pak Dayat resmi kami tahan.”
Tak lama kemudian, seorang petugas menyodorkan baju tahanan berwarna oranye. Awalnya, Dayat menolak untuk mengenakannya. Namun, pada akhirnya, sikap culasnya luntur oleh peraturan undang-undang. Kemeja necisnya pun tanggal.
“Heh cebol, kau melamun apa?” si bandit spesialis begal menggertak Dayat setelah beberapa waktu sel tahanan hening. Karena tak digubris, si bandit melempar Dayat dengan gelas plastik. “Heh botak! Jangan sok borjuis. Di sini status kita sama. Sama-sama bandit.” Kemudian dibalas tawa oleh tahanan lainnya.
Dayat tetap saja membisu. Meratapi nasibnya yang berputar teramat jauh. Tak terbayangkan sebelumnya. Tipu muslihatnya di dunia pengembang terbongkar. Masa keruntuhan meneror kepalanya. Nyamuk dan kecoak yang berseliweran tak dipedulikan lagi. Pikirannya sumpek!
“Biarkan dia meratapi nasibnya, bos!” gerutu tengik perampok yang masuk sel tiga hari lalu. “Biarkan si tersangka terhormat ini tidur.”
Beralas tikar kumal dilapisi potongan kardus, Dayat merebahkan tubuhnya. Meskipun matanya terpejam, tidur tak kunjung ia raih. Cahaya berganti remang, lampu terang diganti dengan pancaran watt yang lebih kecil.
Bandit spesialis begal, bandar ganja, perampok, tukang jambret, kurir sabu-sabu, dan bajingan lainnya sudah berselancar di alam mimpi masing-masing. Sebagian ada yang mendengkur nyaring. Sedangkan Dayat tetap terjaga hingga lonceng apel pagi berdentang.
Pagi itu, saat sarapan bersama puluhan tersangka lainnya, mata panda menghiasi mata Dayat. Kantung mata juga terlihat menggelambir. Padahal baru semalam ia meringkuk di sel tahanan. Sarapan tidak seperti biasanya. Tidak ada nasi goreng buatan istri. Tidak ada roti tawar dan selai nanas kesukaannya. Tidak ada susu atau jus jeruk. Tidak ada kenikmatan pagi sebagaimana mestinya. Yang ada hanyalah penderitaan.
Tibalah jadwal konferensi pers. Dayat masih mengenakan baju tahanan apek, celana pendek seadanya, dan sandal jepit yang berbeda warna; bagian kanan warna hijau dan bagian kiri warna biru.
“Hidayat kami tetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus penipuan dan penggelapan senilai Rp 2,4 miliar,” Kapolrestabes membuka prolog pada konferensi pers. “Tersangka menjabat sebagai direktur utama di perusahaan pengembang, PT Omah Apik.”
Wartawan dari media cetak, online, radio, dan televisi pun bergantian mengajukan pertanyaan kepada Kapolrestabes dan tersangka. Namun, hanya Kapolrestabes yang memberikan penjelasan panjang lebar. Sebaliknya, Hidayat atau yang akrab disapa Dayat hanya memberi jawaban normatif saat ditanya wartawan. Apa pun pertanyaannya, Dayat hanya menjawab: Semua sudah sesuai prosedur.
“Penyidikan kasus ini akan terus kami kembangkan. Sebab, dari data yang kami terima, total ada sekitar Rp 15 miliar uang customer yang masuk untuk proyek Perumahan Permata. Tapi, yang lapor masih korban dengan nilai kerugian Rp 2,4 miliar. Beliau adalah korban dengan nilai kerugian tertinggi,” kata Kapolrestabes menjawab pertanyaan wartawan.
Kapolrestabes menambahkan, selain Perumahan Permata, Dayat menjalankan proyek serupa di banyak titik yang diduga juga bermasalah. Modusnya sama, menjual tanah serta akan membangun rumah di tanah tersebut setelah customer membayar biaya. Namun, setelah dua tahun berjalan, proses pembangunan mangkrak alias tidak ada realisasi unit rumah seperti yang sudah disepakati dalam perjanjian jual beli. Sedangkan untuk menarik uang kembali, customer dipersulit oleh manajemen PT Omah Apik.
“Setelah kami olah TKP, ternyata tanah itu belum menjadi milik PT Omah Apik. Namun, sudah berani menjualnya. Untuk korban-korban lain, dipersilakan membuat laporan resmi,” tutup Kapolrestabes.
Dari konferensi pers ini, wajah Dayat pun menghiasi aneka rupa media massa. Bak gayung bersambut, polrestabes menerima banyak laporan terkait kejahatan Dayat. Bahkan, jajaran polres di kota dan kabupaten lainnya juga banjir menerima laporan. Pasalnya, PT Omah Apik memiliki banyak proyek yang tersebar di sejumlah kota dan kabupaten.
Beberapa hari kemudian, tersangka Dayat dan barang bukti dilimpahkan ke kejaksaan, lalu berlanjut ke pengadilan. Pada sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan yang digelar tertutup karena situasi pandemi, Dayat yang kini jadi terdakwa mendapatkan caci maki dari sejumlah korban yang menunggu di luar pagar pengadilan. Bahkan, selepas sidang, ketika menuju mobil tahanan untuk digelandang kembali ke rutan, Dayat mendapat lemparan telur busuk dari para korbannya.
“Penipu! Mafia tanah! Kembalikan uang kami!” umpat seorang korban.
Tak ada penyesalan dalam pikiran Dayat. Bahkan ia makin culas mengutuk para korban yang memaki dan melemparinya dengan telur busuk. Di dalam mobil tahanan, seorang petugas mendekatinya, duduk di samping Dayat –menyampaikan kabar gembira.
“Pak Dayat, tadi seorang keluarga Anda menelepon kami. Mengabarkan bahwa istri Anda sudah melahirkan,” kata petugas tersebut.
Tatapan mata Dayat terasa kosong dan hambar. Tapi, otaknya sibuk merancang skema untuk menyuap majelis hakim.
Dayat nanar memandang jalanan kota dari jendela mobil tahanan. Sesekali tangannya menyeka ceceran telur busuk yang masih tersisa di wajahnya. ***
.
.
Eko Darmoko. Prosais kelahiran Surabaya. Buku kumpulan cerpennya Revolusi Nuklir (Basabasi, 2021) masuk 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021. Kumpulan cerpen lainnya Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015). Bergiat di Komunitas Sastra Cak Die Rezim Surabaya.
.
Mafia Tanah. Mafia Tanah. Mafia Tanah. Mafia Tanah. Mafia Tanah.
![]()
Leave a Reply