Di dalam sebuah kafe terkenal ada seorang laki-laki duduk berdempet-dempetan dengan seorang perempuan, dan meskipun tidak ada yang memperhatikan mereka, sebetulnya masing-masing mereka adalah orang terkenal. Dalam sebuah kafe di mana tamu-tamunya adalah pengusaha-pengusaha besar dan sekian banyak orang terkemuka lain, mereka tidak saling peduli karena mereka tidak punya kepentingan bersama.
Sebetulnya seorang laki-laki dan seorang perempuan yang duduk berdempet-dempetan itu tidak ingin duduk berdempet-dempetan, tapi karena ketika mereka masuk, yang laki-laki dari pintu samping, dan yang perempuan dari pintu belakang secara hampir bersamaan, pelayan mengatakan tidak ada lagi kursi kosong selain kursi berdempet-dempetan itu.
Laki-laki itu, tanpa memperhatikan perempuan itu, segera membuka laptop, dan perempuan itu, tanpa memperhatikan laki-laki itu pula, dalam waktu bersamaan juga membuka laptop.
Ketika pelayan datang, masing-masing mereka memesan minum dan makanan ringan, dan meskipun mereka tidak menyapa satu sama lain, ternyata pesanan mereka sama, yaitu milk-shake aroma avocado, dan sandwich club daging sapi dengan roti gandum.
Lalu mereka asyik dengan laptop masing-masing. Karena mau tidak mau mereka manusia, dan bukannya robot tanpa perasaan dan tanpa pikiran, maka laki-laki itu berkata dalam hati “mengapa, ya, selama sepuluh harian terakhir ini kok saya dan dia beberapa kali mengalami peristiwa ajaib?” Kata-kata sama, tepat pada waktu bersamaan, juga bergaung-gaung di dalam hati perempuan itu.
Mereka pernah bertemu di bandara Juanda secara kebetulan, lalu naik pesawat bersama secara kebetulan, dan kebetulan pula kursi mereka berjejeran. Sehari kemudian mereka pulang ke Surabaya, tanpa diduga, mereka naik pesawat sama, dan mereka duduk di kursi berjejeran pula.
Pernah pula mereka nonton bioskop, di sebuah plasa super besar yang memiliki dua puluh gedung bioskop, tanpa diduga mereka membeli tiket di gedung sama dalam waktu yang tidak sama, tapi ternyata kursi mereka berjejeran.
Setelah film usai masing-masing mereka berjalan-jalan berlawanan arah, dan tanpa diduga, tas laptop laki-laki itu hampir terpelanting karena tali cangklongannya hampir putus. Tanpa diduga pula, tas laptop perempuan itu juga hampir terpelanting, karena tali cangklongannya hampir putus pula.
Tepat ketika laki-laki itu akan masuk ke kedai reparasi tas dan sepatu Stop N Go, perempuan itu juga siap memasuki kedai sama. Dua laki-laki melayani mereka masing-masing, dan karena yang melayani laki-laki itu lebih cekatan, maka laki-laki itu pun keluar terlebih dulu. Dia jalan-jalan membunuh waktu, menunggu perbaikan tas laptopnya lebih kurang satu jam.
Kafe penuh, hanya tersisa sepasang kursi, yang satu sudah ada tulisannya “sudah dipesan”, dan ternyata yang memesan tidak lain dan tidak bukan perempuan itu juga. Maka, beberapa menit kemudian, setelah perempuan itu datang, laki-laki dan perempuan itu pun, mau tidak mau, duduk berdempet-dempetan.
Dan sekarang, di sebuah kafe terkenal itu tanpa dirancang dan tanpa diduga, mereka duduk berdempet-dempetan lagi, dan tanpa diduga dan dirancang pula, mereka memesan minuman dan makanan sama, yaitu milk-shake rasa avocado dan club-sandwich roti gandum.
Tidak lama kemudian seorang pelayan perempuan datang. Sebetulnya pelayan ini sakit, dan sudah minta izin untuk tidak masuk. Tapi karena kafe sangat laris, pelayan ini dipaksa masuk. Karena itu jangan heran, ketika dia berjalan ke meja laki-laki dan perempuan ini, jalannya agak limbung. Tepat pada waktu dia akan meletakkan pesanan laki-laki dan perempuan itu, tubuh dia limbung lagi, dan mau tidak mau, secara bersamaan tangan laki-laki itu dan tangan perempuan itu tertumpahi minuman sama. Beberapa kali dia memohon maaf, dan beberapa kali pula laki-laki dan perempuan itu secara bersamaan mengatakan “Tidak apa-apa.”
Inilah awal laki-laki dan perempuan itu saling menyapa.
“Saya merasa mendapat kehormatan bisa bertemu secara kebetulan dengan seorang atlet terkenal. Itu kalau dugaan saya betul,” kata laki-laki itu.
“Kita bertemu lagi, ya,” laki-laki dan perempuan itu berkata serempak.
“Tampaknya begitu,” jawab laki-laki dan perempuan itu, serempak pula.
Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat sama dan nada sama pula, seolah-olah dua orang itu sebetulnya hanyalah satu orang yang memiliki dua tubuh, dua mulut, dua pasang tangan.
Agak lama mereka diam.
“Agaknya saya sudah mengenal Anda,” kata laki-laki itu.
“Agaknya saya juga mengenal Anda,” kata perempuan itu.
“Boleh saya tebak?”
“Tanpa taruhan? Tidak boleh.”
“Taruhan?”
“Ya, kalau tebakan Anda benar, saya traktir Anda.”
“Kalau tebakan saya salah, saya traktir Anda?”
“Nama Anda Winarti?”
“Nama Anda Isbondo?”
“Kok tahu?”
“Saya melek huruf. Sering baca koran. Baca majalah. Nonton tv.”
“Samalah, kalau begitu.”
“Anda Winarti. Atlet. Beberapa kali pembawa medali emas di SEA Games. Pembawa medali emas dalam Olympic Games tahun lalu. Lompat tinggi. Tapi Anda juga hebat dalam lompat galah. Juga lompat jauh.”
“Anda Isbondo. Sastrawan terkenal. Tapi maaf, saya tidak suka sastra.”
“Berapa nilai Bahasa Indonesia kamu di sekolah?”
Tanpa sadar, Isbondo memindah lidahnya dari “anda” menjadi “kamu”.
Juga tanpa sadar, Winarti merasa “kamu” jauh lebih mantap.
“Maaf, ya. Saya tidak mau sombong. Semua nilai saya bagus. Nilai Bahasa Indonesia bagus, meskipun saya tidak suka sastra, hehehe.”
“Dan saya tidak suka olahraga, hehehe. Makanya nilai olahraga saya jeblok. Jeblok mulai SD sampai universitas.”
“Saya agak tidak percaya.”
“Lho, kok?”
“Hati kecil saya bilang, kamu jago nendang. Tentu saja tendanganmu tidak sedahsyat tendangan Paratoon Chaykapra, jago tinju Thailand dari Bangkok. Tapi tendanganmu pasti hebat. Mana mungkin nilai olahraga kamu di sekolah jeblok.”
“Di sekolah kan saya hanya diajari teori-teori. Membosankan.”
Kemudian mereka diam sampai lama. Mata mereka saling memandang. Mata yang syahdu. Mata yang menyelidik ke masa lalu.
“Isbondo, tahukah kamu mengapa saya sering diolok-olok?”
“Tahu. Kaki kamu penuh goresan luka lama. Kamu agak pincang.”
“Isbondo, bolehkah saya menerka?”
“Apa?”
“Kamu bukan atlet. Kamu selalu pakai celana panjang. Baju lengan panjang. Bukankah kaki kamu boresen bekas kudis-kudis ganas dan luka-luka besar? Tanganmu juga.”
Mereka sama-sama diam.
Winarti kemudian mewek-mewek, wajahnya yang ayu perlahan-lahan berubah menjadi seonggok karet yang digulung-gulung, matanya meredup dan menjatuhkan butir-butir mutiara indah, mirip dengan kelereng-kelereng mainan anak-anak para dewa di langit sana yang terjatuh ke bumi.
Mereka diam sampai lama.
“Kamu Winarti. Winarti dari Jalan Besar Burikan. Anak orang kaya.”
“Kamu Isbondo. Asal Kampung Jembel di Gang Burikan. Rumahmu macam kandang babi. Seluruh tubuhmu penuh kudis. Tapi kamu adalah dewa penolong. Kamulah yang menyelamatkan saya dari kematian.”
“Kamu umur empat tahun? Waktu itu?”
“Kamu umur lima tahun? Waktu itu?”
Pikiran mereka melayang-layang ke belakang, jauh ke belakang sana, ketika mereka masih kanak-kanak.
Winarti tinggal di kawasan Burikan, tapi Burikan yang terhormat. Isbondo tinggal di kawasan Burikan, tapi kawasan Burikan yang dihuni oleh orang-orang jembel.
Tidak jauh dari kawasan Burikan ada kawasan Barongan, dan tinggallah di situ kakak beradik tua, kaya raya, dan bukan main jahatnya. Yang laki-laki bernama Dimulyo, yang perempuan bernama Dimukti. Kata orang Dimulyo tidak punya istri, dan kata orang pula Dimukti tidak punya suami. Tapi kata orang pula, Dimulyo sebetulnya punya istri, yaitu setan perempuan berhati iblis. Dimukti sebetulnya juga punya suami, yaitu setan berhati iblis pula.
Untuk menjaga harta kekayaan mereka, Dimulyo dan Dimukti memelihara sepasang anjing herder, besar, panjang, tinggi, dan galaknya bukan main. Pada saat-saat tertentu Dimulyo dan Dimukti melepas sepasang anjing herdernya di jalan, untuk mengejar-ngejar barang siapa pun yang tidak berkenan di hati dua binatang buas itu.
“Andaikata kamu dulu tidak menyelamatkan saya, pasti saya sudah mati,” kata Winarti.
Perempuan di sebelahnya, tidak lain adalah anak orang kaya yang dia selamatkan dulu. Anak yang seluruh tubuhnya akan diremuk-redamkan oleh sepasang anjing ganas. Untung, anak itu mempunyai kemampuan luar biasa hebat dalam lompat tinggi dan lompat jauh.
Tepat ketika Winarti kecil akan menyerah pasrah kepada anjing-anjing itu, datanglah seorang anak kecil bernama Isbondo, dan dengan kemahirannya yang luar biasa hebat beberapa kali Isbondo kecil menghajar anjing-anjing itu dengan tendangannya.
Setelah agak lama diam, Winarti berkata: “Sesudah peristiwa mengerikan itu saya tidak pernah melihat kamu. Dengar-dengar ayahmu pindah ke Semarang. Jualan gethuk lindri. Dan klepon.”
“Dan tidak lama kemudian ayah kamu meninggal. Kata orang, kena serangan jantung. Lalu ibu kamu juga meninggal. Lalu seorang paman kamu menjemput kamu. Kamu senang, mengira kamu akan diambil anak angkat. Itu kata koran,” kata Isbondo.
“Ternyata paman saya melemparkan saya ke panti asuhan. Harta benda ayah saya entah kabur ke mana. Dan sejak saat itu saya tidur di lantai.”
“Tapi, kata koran pula, kamu lulus SD dengan hasil gemilang.”
“Ayah dan ibu saya di surga sana, selalu mengirimkan doa-doa buat saya, dan Tuhan Maha Pemurah mengabulkannya. SMP, SMA, semua, saya lulus dengan gemilang.”
“Dewi penolong menghampiri kamu. Kamu dapat beasiswa ke Jepang. Kamu diangkat anak keluarga Jepang. Dan kamu tidak boleh pulang. Itu juga kata koran dan majalah.”
“Tapi saya memaksakan diri pulang. Tanpa sadar saya menunggu. Menunggu dewa penyelamat. Tanpa dia saya sudah lama mati. Dicabik-cabik sepasang anjing jahanam.”
Ketika mereka keluar dengan bergandengan tangan, di luar sudah gelap.
“Kamu dengar tadi, Isbondo? Saya kembali karena saya menunggu. Saya hanya mau punya anak dari Dewa Penyelamat saya. Dewa Penyelamat waktu saya empat tahun. Waktu dia lima tahun.”
“Winarti. Kamu pasti tahu makna ungkapan bahasa Inggris, manusia merencanakan, namun Tuhan yang menentukan.”
“Maksud kamu?”
“Dalam perkelahian melawan anjing-anjing jahanam itu, satu bagian penting tubuh saya lumpuh. Lumpuh selamanya.”
“Maksud kamu?”
“Saya tidak mungkin mempunyai istri.”
Mereka berpisah, tanpa mengatakan apa-apa. ***
Ina gazali
Wow just wow