Cerpen, Gde Aryantha Soethama, Kompas

Perang Siobak

Perang Siobak - Cerpen Gde Aryantha Soethama

Perang Siobak ilustrasi Indra Indra Gunadharma/Kompas

4.2
(5)

Cerpen Gde Aryantha Soethama (Kompas, 30 Oktober 2022)

WAJAH Dirga merah padam, tak kuasa menahan geram karena Suliang ingkar janji.

“Aku tak pernah menjanjikan motor baru, Dir, cuma motor bekas.”

“Ah, jangan berkilah, Sul, aku ingat betul, kau menjanjikan motor baru, gres.”

“Tak pernah aku ngomong begitu. Aku bilang, kalau kerjamu bagus, kukasi motor, tak ada kubilang baru.”

Dirga diam lama, terhenyak, kecewa sangat. Ia telah melakukan yang terbaik, namun Suliang berkhianat.

“Ini motor baru tiga tahun kubeli, jarang dipakai.”

“Kan tidak gres, Sul. Aku ingin motor dengan surat-surat langsung atas nama anakku.”

“Kamu bisa balik nama, Dir.”

“Tetap ketahuan bekas, namamu tercantum di surat-surat.”

Suliang menyerahkan surat-surat motor dan kunci, Dirga menerima dengan enggan. Ia sangat dongkol tidak bisa mendapat motor baru seperti dijanjikan Suliang. Kepada anaknya yang kelas dua di sekolah menengah kejuruan pariwisata, ia berjanji membelikan motor baru, langsung atas namanya. Dan si anak memang cuma mau motor baru, tak sudi bekas, tak apa mencicil.

Motor hadiah itu masih sangat mulus, nyaris tak terasa getarannya ketika Dirga mengendarai melewati Jalan Ahmad Yani, menikung ke Jalan Parkit. Di warung Masawan yang menjual siobak kambing, ia berhenti. Sore-sore begini warung Masawan biasanya dipadati pembeli. Orang-orang antre sabar menunggu untuk dapat meja. Tapi petang ini tidak. Garis polisi dipasang mengelilingi warung itu, karena sebelas pelanggan terserang diare sampai masuk rumah sakit setelah menyantap siobak kambing kemarin siang.

Siobak itu masakan China yang menjadi ciri khas Kota Singaraja, dengan adonan bumbu dari cengkeh, bawang merah, kayu manis, bawang putih, lada, gula merah, dan tauco. Bahan utamanya daging dan jeroan babi direbus. Air rebusan ini dipisah, dicampur tepung maizena untuk saus, buat mengguyur siobak ketika dihidangkan. Yang paling terkenal adalah warung milik Suliang di Jalan Kutilang, tikungan pertama memasuki pertigaan Jalan Dewi Sartika. Warung siobak kambing Masawan di Jalan Parkit dan warung Suliang tak jauh, bertetangga, satu kawasan di Kaliuntu, tapi mereka berseteru kencang, bak perang.

Siobak itu pasti daging babi, tak pernah daging ayam atau sapi, apalagi kelinci. Tak sedikit warga kota menjadikan siobak Suliang yang terkenal ke seantero Bali itu sebagai kuliner wajib. Banyak yang menganggap belum lengkap ke Singaraja kalau belum menyantap siobak Suliang, jika piknik ke Bali Utara. Tapi Masawan penjual nasi campur, mencoba menu baru: siobak kambing.

Baca juga  Di Meja Makan, Rhien Menyajikan Rindu

“Ha-ha-ha mana bisa jeroan kambing buat siobak.” Suliang tertawa ngakak, meremehkan. Baginya siobak itu makanan berlemak, dan lemak babi paling enak dan gurih. “Lemak kambing kan padat, lengket seperti lem, menempel di langit-langit mulut kalau disantap.”

Tapi Masawan piawai mengolah lemak kambing menjadi aduhai nikmat. Bagi dia, jika pintar mengolah, jeroan kambing jauh lebih mantap dibanding jeroan babi. Menyuguhkan siobak kambing ia siasati dengan menghangatkannya, sehingga lemaknya mencair, meluber seperti lelehan pasta atau makaroni, meliuk di sela marbling daging dan jeroan. Aromanya menyengat, menggoda selera.

Orang-orang akhirnya lebih menyukai siobak kambing dibanding babi, digemari segala lapisan masyarakat dan etnik, karena dibuat dari jeroan kambing. Yang paling digemari adalah lumuran lemak itu, disuguhkan dengan plate panas, hangat berkebul-kebul, membuat orang ketagihan.

Siobak Suliang sepi perlahan, redup, kehilangan banyak pelanggan yang pindah ke warung Masawan. Berderet-deret pembeli dari seluruh Bali mampir ke warung yang dinaungi dua pohon akasia rindang itu. Warung Suliang yang biasanya buka sampai pukul sepuluh, kini tutup sebelum pukul enam petang. Warung Masawan buka sampai pukul sebelas, tetap ramai. Akhir pekan dan hari libur bisa buka sampai tengah malam.

Tak ingin menjadi pecundang, Suliang mengatur siasat. Ia membujuk Dirga, laki-laki yang biasanya memasok daging kambing ke warung Masawan. Kadang-kadang ia menerima titipan membeli bumbu dan rempah-rempah dari Masawan. Kebutuhan daging babi Siulang juga dipasok oleh Dirga.

Suatu hari, ketika Dirga menyerahkan daging babi, Suliang menukar garam yang dititip Masawan. “Kau bawa ini saja,” ujar Suliang menyerahkan sebungkus plastik garam.

“Garam apa ini?”

“Tak usah banyak tanya, kau serahkan saja pada tukang masak Masawan.”

“Tak mau aku kalau tidak diberi tahu.”

“Ini garam inggris.”

Samar-samar Dirga pernah mendengar kehebatan garam inggris itu, sebagai urus-urus, pencahar, pencuci perut, membuat orang diare.

“Apa imbalannya buat aku?” taya Dirga ketika Suliang terus mendesak.

Baca juga  Lilin Merah di Belakang Meja Mahyong

Dirga setuju karena ia yakin akan mendapat motor baru. Tapi akhirnya ia geram dan merasa ditipu, kemudian berniat sepenuh hati membalas dendam. Ia mendatangi Masawan yang duduk termangu lesu di teras rumahnya.

“Aku yakin Suliang menukar garam itu,” ujar Dirga.

“Bagaimana bisa kau yakin?”

“Pasti Suliang menukarnya ketika aku mengantar daging. Kita lapor polisi, Mas.”

Masawan menggeleng. “Kita tak punya bukti Suliang melakukannya.”

“Kau biarkan pengecut busuk itu menikmati kemenangan?”

“Akan kuselesaikan sendiri. Sampaikan aku menantangnya berkelahi, duel.”

Dirga terkesiap mendengar tekad Masawan, dan dada Suliang berdegup kencang menerima tantangan itu.

“Apa syaratnya?” tanya Suliang.

“Kalau kamu menang, Masawan akan menutup warungnya. Selamanya dia tak akan menjual siobak kambing. Menjual nasi campur pun tidak. Dia akan pulang kampung ke Banyupoh menjadi petani anggur. Tak ada saingan lagi kan Sul? Siobakmu akan kembali menduduki puncak tangga.”

“Kalau aku kalah?”

“Kau sekeluarga harus menggelar upacara guru piduka menghaturkan sesaji, tanda permohonan maaf dan ampun pada keluarga Masawan dan leluhurnya.”

“Apakah aku masih diizinkan menjual siobak?”

“Tak masalah.”

Suliang tak hendak berpikir panjang, karena tidak ingin disebut pengecut. Ini saat melampiaskan dengki dan iri hati. Mereka menentukan hari bertarung saat bulan mati di kuburan Singaraja yang luas dengan pohon kepuh menjulang, beringin rindang, dan semak belukar padat sepanjang sisi makam. Dirga akan menjadi saksi pertarungan dua pengusaha siobak itu.

Dirga memeriksa sekujur tubuh dua petarung itu, memastikan mereka tidak membawa senjata tajam. Masawan mengenakan celana pendek dan kaus oblong, Suliang memakai celana jins dan kemeja. Sudah larut, lewat jauh tengah malam, sebuah lampu merkuri di ujung jalan menerangi remang-remang kuburan itu. Selebihnya gelap oleh bayang-bayang pohon.

Mereka sepakat berlaga di bawah beringin, menjaga jarak tiga langkah. Saking geram, Masawan mencoba menatap tajam Suliang, namun tak kuasa karena gelap. Masawan belum sepenuhnya bersiap ketika Suliang merangsak maju menumpukan kekuatan pada siku, sekuat tenaga ia bergerak lurus, namun geraknya lamban, terhuyung karena kaki terantuk pada akar pohon yang melintang. Masawan memiringkan tubuh, mengirim pukulan sekuat ia sanggup ke tengkuk Suliang.

Baca juga  Ratu Rawit

Suliang tersungkur, Masawan mengejar, berjongkok, mencengkeram kepala Suliang dan menekan tengkuknya dengan lutut. Suliang menggelepar, kepalanya miring ke kiri, terbenam dalam debu. Masawan terus menekannya dengan lutut, semakin kuat, sampai terdengar bunyi gemeretak, dan Suliang menggelepar-gelepar, tangan kanannya menggapai-gapai mohon ampun.

“Cukup Mas… cukup!” teriak Dirga.

Tapi Masawan, yang dalam duel itu dibekap amarah, tak hendak melepas. Dia mengangkat kepala Suliang, membenturkannya ke tanah. Suliang meringis, melengking, mata terpejam, otot-otot wajah mengerut, napasnya pendek-pendek tertahan.

“Sudah Mas…, cukup…. Bisa mati dia.”

Masawan berdiri, mengusap-usap telapak tangan, kemudian berlalu, melangkah ke jalan raya. Kota sepi, tak terdengar lolong anjing, bunyi serangga pun tidak. Malam Agustus begitu dingin, pohon-pohon termangu.

Dirga membopong Suliang ke motor, memboncengnya pulang. Betapa gembira Dirga menyaksikan Suliang terseok-seok memasuki gerbang rumah. Terbayang Suliang akan meminta tolong untuk mempersiapkan sesaji mohon maaf. Dirga tahu rumah orang-orang suci penjual sesaji, yang belakangan semakin banyak. Ia paham, sebagai perantara akan menerima untung lumayan, upah besar, karena sesaji guru piduka itu mahal. Semakin banyak untung dia renggut kalau membengkakkan harga.

Dirga berencana menjual motor hadiah itu, akan ia tambah dengan fee sesaji untuk membeli motor baru. Kalaupun masih kurang, ia akan menggenapi dengan meminjam di lembaga perkreditan desa.

“Yang penting berusaha, rezeki tak akan ke mana,” kata hati Dirga riang, berbunga-bunga, serasa dicium pujaan hati bertubi-tubi. ***

.

.

Gde Aryantha Soethama, banyak menulis cerpen dan esai tentang tanah kelahirannya, Bali. Tahun ini menerbitkan ulang karyanya kumpulan dua lakon sebabak Langit Dibelah Dua. Kumpulan cerpennya, Malam Pertama Calon Pendeta, segera terbit, memuat belasan cerpennya yang pernah dimuat Kompas.

Indra Gunadharma, lahir di Bandung, lulusan DKV FSRD ITB. Sehari-hari adalah desainer grafis, pelukis, guru gambar, desainer artwork di Indra Artwork Studio, Tangerang Selatan, Banten. IG: indra_gunadharma. Blog: Indragunadharma.blogspot.com

.

Perang Siobak. Perang Siobak. Perang Siobak. Perang Siobak.

Loading

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!