Cerpen Venia Amanda Putri (Solopos, 17-18 Mei 2025)
HALO, namaku Rudi, dan aku adalah seorang aktor. Perempuan di dapur itu adalah istriku yang sudah melahirkan tiga anak dari rahimnya: Budi, Abdi, dan Leni. Ketiganya tidak lagi bersekolah sebab kelangkaan garam yang terjadi di kotaku.
Istriku bilang uang yang kami dapatkan lebih baik dipergunakan untuk membeli garam. Istriku tidak pernah marah, ia hanya marah ketika rumah tangga kami kehabisan garam. Katanya: apalah arti sebuah rumah yang tidak memiliki garam. Jadi, sepanjang hari urusannya cuma memenuhi piring dengan nasi berlauk garam dan birahiku setiap malam.
Namaku Rudi dan sekali lagi aku adalah seorang aktor. Tentu saja aku sibuk shooting. Hari ini, aku sudah punya janji ketemu dengan tangan kanan rumah produksi terkenal. Dia bilang ada peran yang cocok untukku dan dia segera menghubungiku lewat mantan RT yang tidak sengaja ia temui di pasar untuk menyampaikan lowongan ini.
Ketika si mantan RT itu menyampaikan kabar shooting kepada istriku, ia tentu senang sekali. Kali ini aku akan mendapatkan banyak uang untuk membeli segudang garam untuk keluargaku.
Sekarang, aku harus ke kampung sebelah untuk bertemu dengan Umar. Umar punya mobil bak terbuka di rumahnya. Kami menumpang mobilnya agar bisa ke griya tawang milik bos Umar yang merupakan seorang sutradara. Selain gemar nganggur di garasi, mobil itu juga selalu dipakai untuk mengangkut properti shooting atau disewa Pamong Praja untuk menyita dagangan kaki lima.
Umar duduk di kemudi dengan tenang meski ia tidak memiliki SIM. ”Sudah lama sekali aku tidak tersenyum di depan kamera, Mar! Ketika berakting aku merasa bisa menjadi siapa saja. Itu adalah cita-citaku sejak kecil.”
Hampir seperti orang marah, Umar menepuk-nepuk pundakku. ”Siapa yang masih memikirkan cita-cita saat sudah seusia kita, Rud. Aku hanya ingin memelihara anak dan istriku dengan baik supaya mereka tidak kekurangan garam.”
Kami berdua setuju.
Setengah jam kami berdua habiskan sambil mengisap Bentoel Sejati yang kubeli bermodal utang di warung hingga sampailah kami di gedung bos Umar. Aku mulai penasaran tentang peran apa yang akan kulakoni sekarang. Jadi, kami berlima —aku, Umar, bos Umar, dan dua asisten rumah produksi langsung terlibat meeting serius.
Aku mendapatkan beberapa lembar naskah yang harus kuhafal dalam waktu kurang dari 24 jam. Sebagai gantinya, bos Umar memberikanku uang panjar sebesar seratus ribu rupiah, terlepas dari honor utamaku. Tentu saja aku tidak menolak.
Setelah latihan beberapa adegan, aku pulang. Tidak sabar memberi tahu istriku soal peran apa yang kudapatkan kali ini. Aku tidak lagi menumpang mobil bak milik Umar karena ia bersama dengan mobil itu diminta mengangkut perlengkapan ke lokasi shooting besok. Jadi, aku tidak keberatan pulang berjalan kaki, membunuh waktu yang kumanfaatkan sesekali sambil menghafal dialog-dialog panjang.
Dalam perjalanan pulang, berbekal duit panjar dari bos Umar, aku mampir ke toko garam, bermaksud menghadiahi istriku barang yang langka ini. Dia akan memasaknya sebagai ganti sarapan dan makan siang yang absen hari ini. Agar aman, aku memasukkan sekantong garam ke celana dalam, jaga-jaga jika ada yang ingin mencurinya dariku. Orang lain mungkin bisa melakukan apa saja demi mendaparkan garam di celana dalamku ini. Seperti narkoba.
Ketika melewati rumah Umar, kulihat dari lubang angin, rumahnya berkedap-kedip macam ada disko di dalamnya. Jadi aku mengendap, siapa tahu ada pencuri yang ingin nyolong garam di dapur rumah Umar. Sambil membenahi posisi garamku di celana dalam, sampailah aku di jendela samping.
Aku lantas mengintip dari celah yang tidak tertutup korden. Dari celah itu, kulihat istri Umar sedang bermain dengan pejantan lain. Melihat itu, tubuhku jadi ikut bereaksi, namun untung saja tertahan sekantong garam. Ternyata kedap-kedip yang kulihat itu bersumber dari lampu senter yang sengaja dipegang istri Umar sebagai penerangan.
Sebagai bentuk sopan santun dalam bertetangga, aku pun bergegas pulang. Mengelus-ngelus garam dari balik celanaku. Beberapa meter dari sana, di kampungku ini, sebenarnya ada gudang tempat menyimpan garam hasil impor dari China. Aku ingat istriku suka mengeluh harga garam lebih mahal daripada harga emas. Belum lagi jika garam itu dibutuhkan untuk pengasin ikan, mau makan ikan asin saja sampai harus menjual cincin kawin.
“Laut kita itu lo, Mas. Jembar-jembar, semua rasanya asin, masa iya garam saja mahal!”
Setiap Jumat, para istri mengantre sisa garam yang jatuh dari karung-karung yang bocor sedikit. Karung-karung itu diangkut para pekerja pemerintahan yang datang lalu membawanya ke truk-truk bermuatan besar.
Para istri lalu memilih dengan saksama garam yang bercampur pasir dan tanah itu. Begitu pula istriku – wajahnya persis keruh sepulang dari gudang garam saban Jumat.
Melihat kelelahan istriku itu, rasanya ingin kucolong segenggam garam dari setiap karung itu, tapi selalu kuurungkan.
Sesampainya di rumah, istriku terkejut ketika aku membuka celana dan memperlihatkan isi di balik celana dalamku. Ia langsung menghadiahi aku puluhan ciuman di seluruh badan. Aku mendorong tubuhnya menjauh. “Bangunkan anak-anak dulu, mereka pasti akan sangat senang juga.”
Budi Abdi dan Leni hampir menghabiskan dua piring nasi berlauk garam jika ibu mereka tidak mengingatkan bahwa makan di atas jam dua belas malam bisa membuat badan gendut. Anak bungsuku yang perempuan langsung terbirit minum dari ceret dan kabur ke kemar. Kami semua tidur nyenyak berkat sekantong garam yang berada di perut kami.
Keesokan harinya kami semua bangun terlambat, mungkin karena kekenyangan. Istriku masih berada di pelukanku dan belum ada kebisingan lain, baik dari Budi, Abdi, atau pun Leni. Kami semua baru bangun ketika pintu diketuk beberapa kali dengan kasar.
Aku bangun kemudian berpakaian, disusul istriku yang ikut memungut beberapa pakaian yang entah kubuang ke mana semalam. Aku membuka pintu dan Umar berada di baliknya dengan dua polisi. Beberapa warga sepertinya sedang marah.
“Ada apa ini, Mar?”
“Beberapa orang ini mendapatimu mencuri garam di gudang dekat perbatasan itu semalam, Rud. Sudah ada saksi mata dan bukti kehilangan sekarung garam.”
“Mana mungkin! Aku membeli garam dengan duit panjar yang bosmu berikan padaku, Mar! Itu pun hanya sekantong, aku tidak pernah mencuri.”
“Kau pikir aku gila? Mana mungkin aku mencuri sekarung garam terang-terangan dan bisa dilihat orang lain macam kau bilang. Kalau pun aku mencuri, aku akan mencurinya sekantong demi sekantong dan mengumpulkannya di bawah kasur lalu menjualnya ke pengasin ikan dengan harga murah asal untung.”
Mendengar pernyataanku yang serius itu, kedua polisi di belakang Umar saling tatap. Setelah itu, mereka menerobos masuk ke dalam rumahku. Istriku menangis sambil memeluk ketiga anak kami, sementara aku mengekor dua polisi itu ke kamar.
“Kalian benar-benar mengira aku menyembunyikan sekarung garam di bawah kasur?”
Sialnya, saat tempat tidur reot itu digeser, beberapa kantong garam ditemukan di sana. Garam merek China yang ada di gudang garam perbatasan itu.
“Mar! kau percaya padaku kan, Mar! aku tidak akan mencuri, Mar! siapa saksi matanya, Mar? Dia pasti salah mengira orang.”
Saat semua terlihat kalut, Umar memanggil istrinya. Kulihat masih nampak bau jantan itu semalam, tapi dia berani menuduhku mencuri!
“Dasar jalang!” Sedetik kemudian Umar melayangkan tinjunya sehingga aku persis jatuh ke tanah ketika istrinya mulai menangis. Dia bilang semalam saat dini hari, ia melihatku mengintip dari balik jendela. Karena takut aku berbuat jahat, ia lantas membututiku sampai ke gudang garam. Aku terlihat menyembunyikan beberapa kantong garam di belakang gudang yang sengaja ditutupi gabah kering panen.
Polisi bilang, pagi ini ketika pekerja memeriksa stok garam, satu pekerja tertangkap karena menyelundupkan satu karung garam ke belakang gudang. Dan mereka mengira aku adalah bagian dari komplotan itu. Bersamaan dengan banyak bukti dan pernyataan yang memberatkanku, aku pun diangkut ke kantor polisi.
Umar ikut dan memperlihatkan wajah tidak menyangkanya. Istriku pingsan di pangkuan istrinya Umar. Kudengar tiga anakku memangil namaku ketika kepalaku menyembul dari mobil polisi untuk kali terakhir.
“Sungguh kalian harus percaya, aku sama sekali tidak pernah mencuri!”
Dua bulan berlalu ketika Umar menjengukku dari balik jeruji. “Bagaimana aktingku, Mar? Keren, kan?”
Lagi-lagi Umar menepuk pundakku seperti orang yang marah! “Aku salut sekali denganmu, Rud. Kau lebih cocok main film ketimbang harus menjadi kambing hitam oknum kepolisian.”
Aku tersenyum. “Selagi masih bisa akting, pekerjaan apa pun akan aku lakukan, Mar asal mereka bisa menjamin keluargaku.”
“Kau tenang saja. Hasil penjualan korupsi garam bodong itu sebagian sudah dikirim ke istri dan anakmu. Mereka bahagia dan tidak sabar menunggumu pulang. Yang paling penting, mereka sudah tidak kekurangan garam. Aku juga selalu kagum dengan bakat akting istri dan anak-anakmu. Kabarnya, polisi hanya mengambil barang yang mereka butuhkan. Susah sekali katanya mereka mengimpor ini dari China. Harganya sangat mahal, aku pun kecipratan banyak, Rud! Bosku juga sangat berterima kasih atas kerja kerasmu.”
“Lalu bagaimana dengan istrimu, Mar?”
“Aku sudah membunuh jantan itu. Mayatnya kubuang ke sungai dengan karung garam yang sudah kuisi batu. Dia akan hilang bagai dimakan anak Krakatau.”
“Pasti dia sedang keasinan sekarang,” Kami berdua tertawa. ***
.
.
Venia Amanda Putri, dua puluh empat tahun yang lalu lahir di Depok. Saat ini tidak memiliki kesibukan lain selain menjadi full time wife. Beberapa kali sering membunuh waktu dengan menulis. Beberapa tulisan bosannya seperti puisi dan beberapa prosa pendek sering dimuat di akun instagram pribadinya @lynxamandaa. Saat ini, ia aktif tergabung di komunitas Lampu Tidur dan Area Penjelajah Sastra.
.
.
Gudang Garam. Gudang Garam. Gudang Garam. Gudang Garam. Gudang Garam. Gudang Garam. Gudang Garam. Gudang Garam. Gudang Garam. Gudang Garam.
![]()
Leave a Reply