Cerpen Zaenal Radar T (Kompas, 05 Oktober 2025)
KETIKA Pak Sobrak datang ke kampung kami tiga tahun lalu, tak ada yang menaruh curiga padanya. Lelaki itu kurus, kulitnya legam, dan rambutnya nyaris memutih meski usianya belum terlalu tua. Ia hanya membawa sebuah tas lusuh, sajadah tipis, dan sebuah buku tebal semacam kitab. Ia selalu mengumbar senyum ramah setiap kali berjumpa siapa saja.
Orang mengira ia perantau biasa. Barangkali ia sedang mencari pekerjaan, atau pengelana yang sedang mencari sanak saudara yang hilang. Tetapi sejak awal, tatapannya tak biasa. Pandangannya jernih, lembut, dan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti dari kedalaman hati yang kenyang pengalaman.
Rumah kosong milik Pak Parto yang sudah lama tak ditempati, ia sewa seadanya. Atapnya bocor, dinding papan sudah rapuh. Namun ia betah di sana. Dalam sebulan, ia mulai dikenal. Anak-anak betah mendengar petuahnya tiap ba’da Magrib. Orang-orang tua perlahan mendatangi rumahnya untuk berobat. Katanya, ia pandai meracik ramuan dari daun dan akar-akaran yang tumbuh di sekitar kampung.
Tiga bulan setelah ia menetap, nama Pak Sobrak sudah dikenal hingga kampung tetangga. Orang datang berobat rematik, luka lambung, bahkan penyakit yang orang bilang karena gangguan gaib. Banyak yang sembuh, atau setidaknya membaik. Bahkan tidak sedikit warga kesurupan bisa dia atasi, atau seseorang yang dianggap “ketempelan” mampu dia tangani.
Yang berhasil dia sembuhkan kebanyakan dari warga luar kampung yang tidak pernah saya kenal sebelumnya, dan kebanyakan yang berobat bisa disembuhkan. Yang jelas, orang-orang puas setelah berobat.
Dan yang paling memikat adalah cara Pak Sobrak bicara tentang hal-hal tersembunyi. Ia bisa menyinggung tentang pusaka zaman kerajaan, tentang uang kuno yang disembunyikan penjajah, dan tentang harta ghoib. Pak Sobrak tidak pernah bercerita terang-terangan. Ia selalu berkata, “Saya ini cuma tahu sedikit, jangan dibesar-besarkan.”
Justru kalimat itulah yang membuat orang makin yakin ia tahu banyak. Termasuk saya. Menjadi semakin penasaran. Saya benar-benar ingin membuktikan kebenaran setiap kata yang diucapkannya.
Di warung kopi, Markum, tetangga saya yang paling gemar menimba cerita, sering mengulang kata-kata Pak Sobrak dengan penuh semangat.
“Pak Sobrak bilang, dulu ada laskar Pajajaran yang mengubur emas batangan di bawah pohon beringin dekat kali. Katanya, ada juga peti berisi uang kepeng dan dirham yang dibawa dari Tiongkok. Bahkan beliau sempat mimpi Bung Karno menitipkan emas batangan untuk kas negara, sebagian terkubur di tanah Jawa. Bisa jadi salah satunya ada di kampung kita ini.”
“Bukankah harta itu disimpan di sebuah bank, di negara bernama Swiss?” tanya yang lain, entah mendapat kabar keberadaan harta itu dari mana.
“Di bank Swiss tetap ada. Tapi lebih banyak yang tersebar di tanah kampung kita ini!”
Kata-kata Markum begitu meyakinkan kami semua, termasuk saya. Kabar itu cepat menyebar. Orang-orang mulai berbisik-bisik. Malam-malam jadi riuh oleh harapan baru. Beberapa orang datang diam-diam ke rumah Pak Sobrak. Kadang membawa pisang, kadang sekadar rokok, untuk menemaninya berbincang. Sampai akhirnya, pada malam Jumat Kliwon yang sunyi, Pak Sobrak mengumpulkan beberapa orang terdekatnya: Pak Darlan, Markum, dan saya. Ia menggelar sajadah, duduk bersila, lalu berkata pelan,
“Tanah ini memang menyimpan sesuatu. Saya sudah mimpi tiga malam berturut-turut. Ada harta besar yang menunggu diangkat. Tapi tidak semua orang bisa membawanya ke permukaan. Ada adab, ada mahar, ada ikhtiar. Kalau salah langkah, bisa celaka.”
Kami menatapnya dengan mata membelalak. Bayangan emas batangan, peti uang kuno, dan kekayaan yang bisa mengubah nasib, berkelebat di kepala. Saya sudah membayangkan banyak hal kalau harta itu nantinya bisa saya peroleh. Saya akan nanggap dangdut paling mahal untuk warga di kampung saya. Selain membangun rumah besar, sudah sejak lama saya ingin membuat stadion sepak bola sekaligus membentuk klubnya. Di tengah lamunan itu, saya tersentak saat Pak Darlan menyikut lengan saya. Saya perhatikan Pak Sobrak menunduk khidmat.
“Kalau kalian serius ingin mendapatkan harta ghoib itu, kita bisa usahakan. Tapi perlu modal. Untuk alat gali, sesajen, mahar, dan perjalanan batin.”
Jumlah yang ia sebut lumayan besar. Tapi apa peduli saya, kalau semua itu nantinya akan kembali berlipat-lipat. Lima juta per orang. Tidak seberapa dibanding harta yang dijanjikan, katanya nilainya miliaran bahkan triliunan. Saya pernah melihat uang dua miliar di televisi, saat pemerintah menyita uang korupsi. Apa jadinya kalau uang satu triliun saya simpan di dalam stadion sepak bola yang nanti akan saya bangun?
Keesokan paginya, kampung kami seperti diselimuti semangat baru. Orang-orang saling berbisik, mata mereka berbinar. Ada yang menggadaikan sawah, ada yang menjual kambing, ada yang meminjam dari koperasi. Saya sendiri menjual seekor sapi. Uang terkumpul cepat.
Dua bulan pertama, dua puluh juta sudah di tangan Pak Sobrak. Ia membeli cangkul baru, linggis, lampu senter, beberapa benda pusaka kecil yang katanya pelengkap ritual. Ia juga membayar “orang pintar” dari luar yang akan membantu.
Malam-malam kami terisi oleh doa dan zikir yang panjang. Pak Sobrak memimpin dengan suara lirih, serupa bisikan angin di pucuk-pucuk daun pisang. Saya dan para pengikut yang sudah kolekan uang hanya cukup menemani dan mendengar. Kami merasa bangga. Merasa terpilih sebagai pewaris rahasia besar.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Malam Jumat Wage. Halaman rumah Pak Sobrak dibersihkan. Lubang selebar dua meter digali. Wewangian dibakar. Ayam putih disembelih. Doa-doa dibacakan panjang hingga dini hari.
Pak Sobrak berdiri di tepi lubang berukuran empat kali enam meter. Dua penggali, orang dari kampung Sindang, yang sudah terbiasa gali menggali, terus bekerja menggali tanah. Sorot mata Pak Sobrak tajam, tapi tenang. Tangannya bergetar halus setiap kali mengusap pusaka kecil di pangkuannya.
“Sebentar lagi,” bisiknya lirih, “sebentar lagi pintu gaib terbuka,” lanjutnya dengan antusias dan meyakinkan. Tanah terus digali, semakin dalam sampai lebih dari tiga meter dalamnya, sudah seperti orang sedang membuat empang.
Namun saat pagi menjelang. Lubang lumayan besar hanya memperlihatkan tanah basah, akar tua sisa galian, dan batu kali. Tak ada peti, tak ada emas seharga miliaran itu.
Kami tertegun. Pak Sobrak menepuk pundak kami.
“Jangan goyah. Kadang hal-hal gaib menguji kesabaran kita. Ini pertanda dekat.”
Kami tetap percaya pada kesungguhan Pak Sobrak. Tak ada seorang warga pun merasa ragu atau kecewa. Semua yakin akan segera mendapatkan harta ghoib yang dijanjikan.
Beberapa minggu kemudian, rumor baru beredar. Katanya harta itu bukan di halaman rumah, melainkan di hutan bambu dekat sungai. Ada suara gaib yang membisikkan begitu.
Malam berikutnya, kami berpindah lokasi. Menggali lagi. Menyewa orang kampung Sindang itu lagi. Doa lagi. Sesajen lagi. Uang pun terus keluar. Lagi dan lagi.
Saat lubang digali sekitar dua meteran lebih, ada salah seorang warga bersumpah melihat kilatan emas di dasar lubang ketika lampu sentir hampir padam. Ia menjerit histeris, tapi saat orang lain menengok, kilatan itu lenyap.
“Gaib memang begitu,” kata Pak Sobrak tenang. “Ia hanya menampakkan sedikit, untuk menguji keyakinan,” lanjutnya, menguatkan kami agar tetap optimistis menunggu galian.
Saya masih belum melupakan ucapan Pak Sobrak. Pada suatu malam, ia berkata kepada saya dan warga lainnya, “Bung Karno menitipkan emas buat Negara ini. Ada sebagian yang ditanam di lereng gunung, ada di tanah datar. Salah satunya ada di sini. Kalau kita ikhlas, kita bisa menjadi perantara sejarah. Bayangkan, emas Bung Karno dan emas Pajajaran akan kita angkat. Dan kalian akan jadi saksi.”
Mata kami panas oleh api harapan. Bahkan Pak Darlan, yang biasanya hemat bicara, ikut berujar, “Kalau benar emas Bung Karno ada di sini, kita akan kaya dua belas turunan!”
Namun minggu berganti bulan. Lubang-lubang hanya semakin banyak. Sawah rusak. Sumur mengering. Anak-anak menatap ayah mereka dengan mata bingung. Istri Pak Darlan sering menangis karena sawah tergadai. Istri Markum mengeluh karena suaminya terlibat utang bank dan pinjol. Saya sendiri dimarahi anak dan istri karena tiga ekor sapi kami telah berpindah kandang.
Tapi setiap keraguan muncul, Pak Sobrak selalu menenangkan.
“Gaib itu butuh kesabaran. Orang yang tidak sabar akan dikalahkan oleh hawa nafsunya. Emas hanya akan muncul pada jiwa yang bersih.”
Kami terdiam. Kata-katanya meninabobokan lagi, membuat semua penderitaan tampak sebagai ujian menuju kejayaan. Hingga suatu subuh, kabar mengejutkan datang. Pak Sobrak hilang. Pintu rumahnya terbuka. Tak ada tanda-tanda kejahatan. Semua rapi. Sajadah tergelar. Kitab tertata. Tapi orangnya lenyap.
Orang-orang kelimpungan. Markum menjerit-jerit. Pak Darlan terduduk lesu. Ratusan juta rupiah melayang. Tanah tergadai. Utang menumpuk. Hewan ternak lenyap. Harapan sirna.
Lubang-lubang galian ditinggal menganga. Sawah hancur, pepohonan mati. Orang-orang murung. Laporan ke polisi tak menghasilkan apa-apa. Ada yang bilang Pak Sobrak terlihat di pasar kota tetangga. Ada yang bilang ia sudah menyeberang ke pulau lain. Tak ada yang pasti.
Setahun kemudian, kehidupan perlahan normal. Lubang-lubang ditimbun, meski tak pernah benar-benar rata. Rumput liar tumbuh menutupi jejak. Namun luka itu masih terasa. Ada yang tak bisa lagi menebus sawah. Ada yang masih menanggung utang bank dan pinjol.
Di warung kopi, Markum sering mengumpat. Tapi di balik sumpah serapahnya, matanya masih berbinar tiap kali bicara soal harta ghoib. Seakan-akan ia masih percaya, suatu hari pintu emas itu akan terbuka.
Sore ini, seperti sore lainnya, saya duduk di dekat lubang tua itu. Rumput liar menjuntai, menutupi tanah yang pernah kami gali dengan penuh harap. Angin sore mengibaskan daun-daun pisang, bersuara lirih seperti doa yang tak pernah selesai.
Saya mengingat semua yang terjadi. Saya tahu, orang seperti Pak Sobrak akan terus ada: datang, bicara lembut, menawarkan harapan, lalu lenyap. Dan saya juga tahu, harta ghoib memang benar-benar ada. Bukan berupa emas atau uang. Melainkan keyakinan orang-orang lugu. Kepercayaan yang bisa digadaikan. Harapan yang bisa diperjualbelikan.
Itulah harta sesungguhnya. Dan Pak Sobrak telah mengambilnya, tanpa sedikit pun memaksa. Saya terus menatap lubang tua yang kini ditumbuhi rumput liar itu, seolah tiada bosan-bosannya. Lalu saya tersenyum getir.
Ternyata harta terbesar yang tertanam di tanah kami bukan emas Pajajaran, bukan simpanan Bung Karno seperti yang diceritakan Pak Sobrak. Melainkan rasa percaya yang naif, yang membuat kami rela menyerahkan segalanya demi mimpi yang tak pernah nyata. ***
.
.
Zaenal Radar T, menulis cerpen, skenario film dan televisi. Cerpennya, “Elliza Mengaku Kawin dengan Telepon Selulernya”, menjadi salah satu Cerpen Pilihan Kompas 2023. Menetap di Tangerang Selatan.
Bambang Pramudiyanto, lahir di Klaten pada 1965, masuk STSRI “ASRI” tahun 1984. Performance art berjudul Destructive Image di Malioboro, Yogyakarta. Pernah beberapa kali pameran tunggal ataupun bersama, antara lain pameran Citra Realistik di Galeri Nasional, Jakarta; pameran bienial Jogja Jamming; Artjog I di Taman Budaya Yogyakarta; dan MeTal(i)k di Sangkring Art Project, Yogyakarta, tahun 2019.
.
Harta Ghoib. Harta Ghoib. Harta Ghoib. Harta Ghoib. Harta Ghoib. Harta Ghoib. Harta Ghoib. Harta Ghoib.
Leave a Reply