Cerpen Wendoko (Koran Tempo, 04 Oktober 2025)
AKU merasa tubuhku terguncang-guncang—atau diguncang-guncang. Aku membuka mata. Beberapa saat aku berjuang mengumpulkan ingatan. Aku duduk terikat di kursi yang berlengan. Di sebelah kiriku, laki-laki paruh baya itu terkantuk-kantuk. Di sebelah kanan, seperti sebuah pintu. Beberapa kepala tampak dari balik kursi-kursi berlengan yang lain—yang berderet di kiri-kanan dan menyisakan koridor di tengah.
Jadi aku masih duduk di kabin pesawat ini.
Aku menengok ke jam tangan. Pukul 05.10 pm. Itu berarti aku “lenyap” lebih dari satu jam. Terakhir kali aku berada dalam kondisi sadar, dan menengok ke jam tangan, adalah ketika pesawat tengah menunggu penumpang di bandara. Aku pasti tertidur, karena sekarang pesawat ini tengah mengudara. Aku pasti tertidur begitu duduk dan memasang sabuk pengaman, lalu rebah ke sandaran kursi. Aku sempat ‘melayang’ ketika pesawat ini melaju dan tinggal landas, tapi kondisi itu tak membuat aku terjaga.
Sore ini aku memang naik ke pesawat dengan tubuh remuk. Sudah lima malam aku hanya tidur dua atau tiga jam, setelah sepanjang hari berputar-putar di pinggiran kota, keluar-masuk hutan, lalu menemui dan berbicara dengan banyak orang. Malam hari, aku masih berkutat dengan sekian wawancara yang harus kusalin, dan aku terus menulis sampai larut malam.
Bahkan semalam, berarti malam ketujuh, aku hampir tak bisa tidur.
Aku memandang ke luar lewat jendela pesawat. Di luar kelihatan gumpalan-gumpalan awan dalam jarak yang rapat. Pesawat ini terbang pada ketinggian sekian puluh ribu kaki dan di tengah cuaca buruk. Suhu di kabin pesawat sangat dingin, tapi aku berkeringat—seperti semalam ketika aku berkeringat di kamar hotel yang dingin….
***
DELAPAN hari lalu, di tengah krisis beruntun yang menghantam negeri ini—ketika perekonomian terpuruk, pemerintah tak lagi dipercaya, dan gelombang protes bermunculan dari kampus-kampus—aku terbang ke pulau paling jauh di negeri ini, yaitu Kelopakos. Semua bermula dari surel yang kuterima dari organisasi HAM yang mendanai LSM-ku. Mereka meminta aku mencari kebenaran tentang kerusuhan etnis di pulau itu. Tentang genosida, dan pembantaian massal itu.
Beberapa bulan lalu, kerusuhan itu banyak diberitakan di luar negeri. Tentang perseteruan dua etnis yang sudah berlangsung puluhan tahun, lalu meledak dalam peristiwa genosida dan pembantaian massal. Tetapi pemberitaan itu diragukan. Pertama, karena tak banyak fakta yang diungkap, sehingga berita-berita itu miskin informasi. Kedua, perseteruan dua etnis itu—antara penduduk asli dan kaum pendatang—sudah lama diredam dan kabarnya tak terjadi selama dua generasi.
Ketiga, pada zaman sekarang, pembantaian massal dalam skala besar dianggap tak mungkin terjadi. Apalagi di sebuah negeri yang dikenal karena budaya dan keramahan penduduknya. Karena itu, sejak awal banyak organisasi HAM yang mengecam. Pemberitaan itu dinilai sengaja menyudutkan etnis tertentu.
Pemerintah sendiri dalam hal ini tak mengeluarkan pernyataan resmi. Satu-satunya pernyataan, sepanjang yang kuingat, adalah ucapan Menteri Pertahanan di televisi bahwa wilayah itu “aman dan terkendali”. Selama ini juga hampir tak ada pemberitaan di media massa nasional. Aku sengaja menyebut ‘hampir tak ada’, karena berita-berita yang kubaca – selain sangat sedikit—juga ditulis ‘dengan sopan’. Sempat muncul beberapa foto dan tulisan di internet, yang lalu hilang dalam hitungan jam. Laman-laman itu diblokir. Apa boleh buat, negeri ini memang dikenal pintar mengontrol pemberitaan.
Surel yang kuterima juga disertai salinan beberapa berita di luar negeri. Umumnya diawali dengan cerita tentang penduduk asli yang ditakuti itu, yang telah mendiami pulau itu selama ribuan tahun. Mereka adalah suku yang hidup menyebar, menganut kepercayaan animisme, dan hidup dari berburu dan bertani. Sejak lama mereka dikenal sebagai representasi ‘kebuasan’. Lalu diulas agak panjang tentang latar perseteruan yang bisa ditarik sampai puluhan tahun ke belakang.
Kedua etnis itu saling membenci. Bukan saja karena benturan budaya, tapi juga karena ketimpangan politik dan ekonomi. Lalu ada pernyataan beberapa saksi tentang sulitnya mengakses ke lokasi konflik karena jalan-jalan diblokir tentara, tentang perkampungan yang dibakar, dan mayat-mayat tanpa kepala. Lalu ada pernyataan seorang pendeta bahwa korban tewas mencapai 4.000 orang.
Berita-berita itu juga dilengkapi foto kerumunan orang membawa tombak atau senapan, sisa rumah-rumah terbakar, atau jalan-jalan dengan perintang dan dijaga tentara. Beberapa berita malah ditutup dengan ‘cerita’ tentang ilmu gaib yang dikuasai penduduk asli, sehingga mereka kebal peluru dan bisa mengenali musuhmusuhnya lewat bau tubuh.
Aku tersenyum membaca berita-berita itu. Bagiku, seperti membaca cerita petualangan di pedalaman pulau, lengkap dengan ilmu gaib dan suku terasing. Aku mengerti, kenapa berita-berita itu banyak dikecam dan organisasi HAM yang mendanai LSM-ku lalu menginginkan kebenaran. Persoalannya, kerusuhan itu terjadi lebih dari setengah tahun lalu. Apakah masih ada yang bisa diungkap karena negeri ini juga dikenal pintar melenyapkan fakta-fakta?
Di akhir surel ada pesan, seseorang akan menemuiku di pulau itu. Aku tinggal memberi tahu hari dan jam keberangkatan.
Lalu delapan hari lalu aku terbang ke pulau itu. Sesuai dengan isi surel, seorang lelaki menjemputku di bandara. Namanya Alberto Gallardo.
“Bung masih muda, ternyata,” katanya waktu kami bersalaman. Umurku 28 tahun, dan aku tengah menempuh jenjang master di bidang hukum internasional. Tapi aku tak tahu, apakah lelaki paruh baya berbadan tegap itu sengaja menyindir atau berbasi-basi.
Dia mengantarku ke hotel di kota. Kami berkendara keluar dari bandara. Selama perjalanan, aku melihat hutan dengan petak-petak tanah gundul dan sesekali asap tipis membubung. Lalu aku melihat sungai dan bangunan-bangunan memanjang dengan atap plat logam. Sejak lama pulau ini dikenal karena budi daya ikan air tawar.
Hari itu, setelah menaruh barang-barang di hotel, kami berkendara lagi ke utara. Alberto mengajakku menyusuri sungai dengan perahu. Sampai di pedalaman, dia menunjukkan sisa lahan yang terbakar—yang bisa dilihat dari arah sungai. Pedalaman di sisi utara adalah tanah datar dengan tambak-tambak dan parit-parir besar yang memisahkan rumah-rumah dari jalan atau dari rumah-rumah lain. Batang-batang kayu tampak terapung di parir-parit itu.
Lalu Alberto mulai bercerita.
“Banyak isu tentang penyebab kerusuhan pada akhir Januari itu. Tapi yang banyak disebut adalah seorang perempuan penduduk asli yang tengah hamil dianiaya oleh beberapa orang pendatang. Setelah itu, kaum pendatang mempersenjatai diri. Tampaknya tindakan itu sebagai antisipasi karena isu yang telanjur beredar.
Mereka terdorong melakukan tindak kekerasan. Mereka menutup jalan-jalan, menghentikan mobil-mobil, dan memaksa para penumpang menunjukkan kartu pengenal. Lalu mereka menyerang penduduk asli….”
Selama dua setengah jam kami menyusuri sungai. Makin ke utara, aku melihat hutan dengan pepohonan rapat di kiri-kanan, di tengah dekur burung dan dahandahan pohon berjalin menyeberang sungai. Sesekali kami melewati sisa lahan bekas terbakar. Lalu pondok-pondok terpencil dan bangunan kayu. Sekarang kelihatan rumah-rumah di dua sisi sungai. Tiba-tiba kami berada di sebuah perkampungan. Tepat di tengah perkampungan, kelihatan satu rumah hangus diapit rumah-rumah yang masih utuh.
“Karena ulah kaum pendatang itu, akhirnya peristiwa tersebut meledak dalam kerusuhan etnis. Mulanya penduduk asli tak bergerak karena belum jelas siapa pelaku penganiayaan itu. Lalu beredar kabar, seorang tua, sesepuh desa penduduk asli, ditemukan tewas di hutan. Lalu beredar kabar, seorang pemuda penduduk asli tewas dikeroyok di hutan. Kabar-kabar itu menyebar cepat di pedalaman. Penduduk asli mulai berdatangan. Makin lama makin banyak. Esok hari, kaum pendatang di sisi utara kota diserang oleh penduduk asli. Hari berikutnya, penduduk asli membakar perkampungan kaum pendatang di sisi selatan. Dan penduduk asli, setelah menyisir habis pedalaman, mulai bergerak ke kota di mana ribuan orang pendatang mengungsi. Tapi mereka dihentikan oleh tentara…. Suasana waktu itu sangat kacau.”
Aku mulai memotret, sementara Alberto bercerita.
“Tapi apa yang terjadi pada akhir Januari itu hanya kelanjutan dari peristiwa sebulan sebelumnya. Ketika itu, dua gadis penduduk asli diganggu oleh beberapa orang pendatang. Seorang pemuda penduduk asli, putra kepala desa, yang mencoba melerai malah ditikam pisau. Orang-orang ini, pendatang-pendatang itu, lantas berlindung di sebuah pos tentara. Ketika penduduk asli berdatangan, tentara menolak menyerahkan orang-orang itu. Lalu penduduk asli membakar perkampungan kaum pendatang di pedalaman. Sekitar dua ratus rumah ludes waktu itu.”
Alberto memperlambat laju perahu sambil memandang ke tepi sungai.
“Setelah kerusuhan pertama itu, kedua pihak menandatangani kesepakatan damai yang difasilitasi pemerintah. Tapi tampaknya kedua pihak masih menyimpan dendam….” lanjut Alberto. “Perseteruan dua etnis itu sudah berlangsung lama. Sejak kaum pendatang muncul di pulau ini. Mereka orang-orang yang kasar, cepat marah, cenderung menggunakan kekerasan dalam persoalan kecil, dan sangat fanatik. Mereka tak bergaul dengan penduduk asli. Sering kali terjadi keributan, karena mereka selalu menjelek-jelekkan adat penduduk asli, dan mereka adalah biang kerok dalam beberapa bentrokan. Kukira ada konflik budaya di sini. Kaum pendatang suka membawa senjata tajam, sedikit-sedikit menunjukkan senjata dan bicara kasar. Sebaliknya, penduduk asli benci melihat senjata tajam diacungacungkan karena dianggap menantang…. Sekitar sepuluh tahun lalu juga terjadi kekerasan serupa. Tapi tidak besar dan tidak menyebar. Jadi kalau dikatakan bahwa perseteruan dua etnis itu sudah diredam dan tak terjadi dalam dua generasi, itu omong kosong belaka. Selama ini selalu ada ‘letupan-letupan’.”
Hari itu agak sore aku kembali ke hotel. Hari kedua, kami berkendara agak jauh ke selatan. Kami memasuki perkampungan kaum pendatang. Tanda pertama adalah sebuah rumah yang habis terbakar. Lalu satu rumah lagi, beberapa meter dari pinggir jalan. Tiap beberapa ratus meter kami mendapati pemandangan dinding separuh utuh, besi-besi bengkok, pilar retak, dan serakan puing. Tidak kelihatan seorang pun.
“Jadi sudah setengah tahun bekas rumah terbakar itu tak disentuh-sentuh?”
“Tak ada yang mau menyentuhnya, Bung,” kata Alberto.
Aku menghitung empat, lima, enam rumah lagi dalam jarak sekian meter. Lalu dua belas, tiga belas, dan lebih banyak lagi rumah terbakar di tengah kepekatan hutan. Total sekitar lima belas rumah dalam jarak satu setengah kilometer, dan tiba-tiba kami sudah meninggalkan perkampungan kaum pendatang dan masuk ke perkampungan penduduk asli.
Di sana aku melihat orang-orang—sebagian besar laki-laki—berlalu lalang di jalan, atau duduk-duduk sambil merokok di dekat pagar. Rumah-rumah di sana hampir semuanya dari batu. Ada sebuah gereja kecil, di samping tanah kosong tempat beberapa orang bermain sepak bola. Aku melihat anak-anak di pinggir tanah kosong itu ketika lampu-lampu mulai dinyalakan. Pemandangan yang kontras dengan suasana di perkampungan kaum pendatang.
Hari ketiga, Alberto mempertemukan aku dengan beberapa saksi yang mau berbicara. Perlahan aku memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang kerusuhan itu.
Hari itu, dan hari keempat, aku mendengar banyak cerita tentang mayat-mayat tanpa kepala. Aku mendengar tentang kerumunan orang dan kepala-kepala yang ditenteng. Seorang saksi bercerita panjang-lebar tentang perkampungan yang dijaga sekitar 50 orang pendatang. Sisanya sudah mengungsi ke hutan. Ketika penduduk asli bermunculan—jumlahnya mungkin ratusan orang—pendatang-pendatang itu langsung kabur. Tiga orang tertembak. Kepala mereka lalu dipenggal.
Seisi perkampungan dibakar. Penduduk asli terus mengejar ke hutan. Kabarnya, tak sampai seminggu, seluruh pendatang yang bersembunyi di hutan sudah ditumpas.
Aku juga bertemu dengan seorang pemandu—tepatnya seorang pemandu wisata—yang menceritakan pengalamannya bersama sekelompok wartawan dari ibu kota pada bulan Februari. Nama orang itu Luiz Cota.
“Kerusuhan itu seperti mimpi buruk. Meskipun waktu itu peristiwa tersebut hampir tak diberitakan, si wartawan dari ibu kota samar-samar mendengarnya pada bulan Februari. Karena itu, dia terbang ke pulau ini bersama sekelompok wartawan asing. Mereka menginap di hotel yang sama denganmu,” Luiz Cota menyebut nama hotel tempatku menginap. “Waktu itu lobi, restoran, dan bar di hotel penuh dengan mata-mata tentara. Penyamaran mereka sangat buruk sehingga gampang dikenali. Hari berikutnya kami menyewa jip dan seorang sopir, lalu pergi ke utara kota. Kami melihat banyak tentara di jalan-jalan dan di titik pemeriksaan tiap beberapa kilometer. Kami berhasil melewati titik-titik pemeriksaan itu, dengan berpura-pura sebagai turis. Di sebuah perkampungan, kami melihat tanda-tanda kerusakan, yaitu sisa kerangka rumah yang terbakar. Kami menepi, tapi ketika juru kamera mulai merekam, sekelompok tentara muncul.
Mereka menyita cakram padat milik si juru kamera. Kembali ke kota, kami ditahan beberapa jam, lalu dilepas dengan peringatan agar tidak ke luar kota…. Malam itu, kami melewatkan waktu di bar hotel, memperhatikan mata-mata tentara mabuk dan menyanyi.”
Pemandu itu adalah pemuda berumur akhir dua puluhan. Wajahnya berjenggot dan matanya sayu, dengan senyum tipis. Dia banyak merokok, yang dipegang dengan tiga jari.
“Esok hari, kami mewawancarai orang-orang di kota, dan untuk pertama kalinya kami sadar betapa sedikit cerita utuh yang sampai di ibu kota. Ada pembantaian, kata orang-orang. Awalnya, kaum pendatang menyerang penduduk asli, lalu penduduk asli membalas. Mereka berdatangan dari seluruh pelosok pulau. Lalu secara sistematis meluluhlantakkan perkampungan kaum pendatang dan memburu orang-orangnya. Mereka tak tembus peluru, kata orang-orang. Dan mereka dapat mengenali kaum pendatang lewat bau tubuh…. Tapi mata-mata tentara membuntuti kami sehingga orang-orang mulai takut bicara. Setelah beberapa malam, kelompok wartawan itu kembali ke ibu kota.”
Aku merekam semua cerita itu. Tapi yang paling menarik adalah pertemuanku dengan seorang antropolog asing, sekaligus pendeta, yang sudah bertahun-tahun menetap di pulau itu. Dia adalah orang pertama yang berbicara pada pers bahwa korban tewas mencapai 4.000 orang. Namanya Reverend McAllister.
Aku bertemu dengannya pada hari keempat di perkampungan penduduk asli di sisi selatan. Di perkampungan itu ada bangunan semacam pendapa—sebuah bangunan terbuka dengan empat pilar—tempat anak-anak berbaring atau duduk di lantai batu. Di tengah mereka tampak seorang lelaki tua bertubuh besar dan berkacamata sedang berbicara, sementara anak-anak mendongak ke arahnya.
Tak jauh dari bangunan itu ada bungalo, tempat kami dipersilakan menunggu di dalam. Waktu itu menjelang gelap.
“…Ketika kaum pendatang menyerang pada akhir Januari itu, penduduk asli menganggapnya sudah kelewatan. Mereka lalu bertekad membela martabat mereka.
Mereka membawa tombak dan golok. Juga senapan. Mereka bilang, kaum pendatang sudah terlalu sering menganiaya penduduk asli. Mereka ingin kaum pendatang itu angkat kaki….” kata Reverend McAllister. “Itu keputusan kolektif, dan juga spontan. Tapi bukan keputusan terburu-buru. Dan ada tiga aturan yang harus dipatuhi secara ketat. Pertama, tak membakar rumah ibadat. Kedua, tak merusak kantor-kantor pemerintah. Mereka tahu, jika membakar rumah ibadat, konsekuensinya adalah konflik agama. Jika merusak kantor pemerintah, berarti mereka melawan pemerintah. Aturan ketiga, tidak boleh menjarah…. Sejak pemuda putra kepala desa itu ditikam, penduduk asli sudah bersiap. Waktu itu, mereka hanya punya tombak dan beberapa senapan angin. Satu bulan kemudian mereka membawa golok-golok yang baru ditempa dan memasang besi runcing di ujung tombak. Mereka juga punya senapan, yang dibeli secara ilegal atau diselundupkan lewat perbatasan.”
“Dari info yang kudapat, mereka memenggal kepala,” kataku.
“Mereka sudah menyatakan perang terhadap kaum pendatang. Di mata penduduk asli, orang-orang itu menjadi musuh, dan penduduk asli tak memandang musuh sebagai manusia. Dalam situasi itu, mereka kembali pada ritual leluhur. Mereka melakukan ritual pemanggilan roh, dan ketika roh-roh berkumpul, mereka sudah dalam kondisi kerasukan. Kau pernah mendengar tentang ritual itu? Ketika mereka dalam kondisi kerasukan, bukan tubuh mereka lagi yang bekerja….
Suasana darurat berlangsung selama dua minggu. Setelah meluluhlantakkan pedalaman, mereka bergerak ke kota. Tapi tentara datang, disertai pasukan cadangan dari daerah-daerah lain. Tentara memasang perintang dan menutup jalan-jalan. Tentara juga masuk ke hutan dan memasang jebakan, berupa pagar kawat dan granat tangan. Tak lama banyak penduduk asli terbunuh.”
“Apa benar penduduk asli bisa mengenali musuh lewat bau tubuh?”
“Kalau mereka percaya bisa mengenali bau, maka mereka melakukannya.”
“Aku dengar mereka kebal peluru. Aku juga mendengar tentang panglima atau pemimpin penduduk asli yang bisa memanggil kawanan lebah untuk menyerang musuh, atau mengubah dirinya menjadi burung, atau memenggal kepala dengan sabetan ranting….”
Pendeta itu tersenyum.
“Aku tidak tahu. Kukira selalu ada yang dilebih-lebihkan. Faktanya, kerusuhan itu memakan korban sekitar 200 penduduk asli, sebagian besar karena ditembak oleh tentara…. Aku tak mengatakan apa yang terjadi, atau yang dilakukan mereka itu benar, tapi ketika berperang… ada hal-hal lain. Tapi aku juga harus mengatakan mereka bukankah orang-orang jahat. Mereka hanya tak mau diganggu. Ketika diperlakukan kelewat batas, mereka akan melawan. Dan ketika berada di bawah tekanan, mereka tak punya pilihan. Aku tahu banyak penduduk asli yang berusaha menyelamatkan anak-anak atau perempuan kaum pendatang.”
Sejenak aku terdiam di ruang utama bungalo itu, di bawah temaram lampu. Dalam perjalanan ke hotel, aku juga terdiam waktu kami melewati barak-barak tentara dengan papan nama yang menunjukkan divisi.
Pada hari kelima, Alberto muncul di hotel dengan seorang lelaki bertubuh gempal dan agak pendek. Umurnya sekitar 30-an. Lelaki itu bernama Juan Ramon Venegas, biasa dipanggil Juan Ramon. Alberto berkata lelaki itu wartawan lokal, sekaligus koresponden sebuah media massa di ibu kota.
Lelaki itu membawa amplop cokelat. Isinya foto-foto.
Beberapa foto memperlihatkan jalan-jalan dengan perintang dan coretan anti-kaum pendatang dengan cat merah di dinding-dinding. Foto-foto lain memperlihatkan sisa rumah-rumah hangus dan kerumunan orang membawa senapan dan golok. Mereka berpakaian kaus dan celana jin. Foto yang lain, sekelompok orang di atap sebuah bus, berteriak sambil mengacung-acungkan tombak. Lalu ada foto seorang lelaki berbicara di atas jip terbuka. Mungkin lelaki itu anggota dewan, dan dia berusaha menenangkan massa.
Aku juga melihat foto sebuah rumah yang habis dilalap api. Di dalam rumah, ada dua sosok hangus, tapi tak jelas apa. Foto lain memperlihatkan mayat tanpa kepala di jalan lempung. Lalu ada foto selokan di pinggir pematang. Di situ tergeletak dua kepala yang masih utuh. Mungkin kepala laki-laki. Warnanya kemerahan, dengan lubang mata menghitam.
Aku bertanya, “Kapan foto-foto ini diambil?”
“Satu minggu setelah kerusuhan itu meluas. Waktu itu tak ada media lokal yang mau memuat beritanya. Media massa di ibu kota juga menolak. Jadi aku berkendara sendiri ke pedalaman agar mendapat gambaran tentang kerusuhan itu sekaligus mengambil foto-foto.”
“Bung bisa menunjukkan lokasi foto-foto ini diambil?” tanyaku sambil menyodorkan foto mayat di jalan lempung dan foto dua kepala di selokan.
Lelaki itu menoleh pada Alberto, sebelum mengangguk.
Kami berkendara ke arah timur kota. Setiba di pedalaman, setelah melewati sisa rumah-rumah terbakar dengan rumput liar tumbuh menembus serakan puing, kami berhenti di perkampungan kaum pendatang. Kami turun dari jip dan berjalan ke arah hutan. Kami melewati halaman sebuah bangunan yang tertutup serakan daun. Hutan merimbun di belakang bangunan itu, dan dari jauh terdengar riuh suara serangga.
Lalu kami menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi pakis dan ilalang. Juan Ramon yang berjalan di depan tiba-tiba berbelok ke semak-semak. Dia merambah jalan itu dengan menyibakkan ilalang. Pepohonan menjulang lebih dari satu meter di atas kepala kami. Beberapa meter kemudian Juan Ramon berhenti dan menunjuk ke depan. Tak berapa jauh kelihatan jalan lempung yang setengah tertimbun daun kering. Meskipun tampak tidak sama dengan foto, aku masih mengenali jalan lempung itu. Beberapa meter dari sana, kelihatan selokan di pinggir pematang.
Aku memotret tempat-tempat itu.
“Bung tahu ke mana mayat dan kepala-kepala itu?” tanyaku.
“Sebetulnya ada lebih dari satu mayat. Selama kerusuhan tak seorang pun berani menyentuhnya. Setelah tentara menguasai keadaan, mayat-mayat itu dibakar.
Sebagian diangkut.”
“Foto-foto ini pernah diperlihatkan kepada orang lain?”
“Ya. Tiga bulan setelah kerusuhan, seorang wartawan asing datang kemari,” kata Juan Ramon. “Kawanku, seorang pemandu, yang mengenalkan padaku. Waktu itu sudah sangat sulit mencetak foto karena tentara mengawasi semua studio foto. Tentara juga menaruh mata-mata di banyak tempat, termasuk di bandara.
Memang bisa dicetak sendiri, tapi hasilnya tidak bagus. Seorang kawan pernah mencoba ke studio foto, tapi kemudian dia didatangi oleh tentara. Si wartawan asing membayar untuk cetakan foto-foto ini.”
Aku mengerti. Jadi foto-foto ini tidak murah. Tapi, jika kata-kata lelaki gempal itu benar tentang wartawan asing itu, bisa jadi foto-foto ini telah menyebar meskipun untuk mempublikasikannya tetap bukan perkara mudah—untuk ukuran media massa di luar negeri sekalipun.
“Itu tiga bulan lalu. Kerusuhan tersebut sudah bisa diredam, tapi pembakaran dalam skala kecil terus terjadi. Suasana masih mencekam. Tentara tetap berjaga-jaga dan perintang di jalan tidak dibongkar. Ada ketakutan bahwa kekerasan lanjutan bisa pecah kapan saja, bahkan di kota,” lanjut Juan Ramon.
Akhirnya, aku meminta izin merekam foto mayat di tanah lempung dan foto dua kepala di selokan pinggir pematang. Aku merekam dengan ponsel, dengan menahan kamera agar tak bergerak. Foto-foto lain, kuminta dikirim ke alamat surel. Selain karena tak bisa memperoleh foto cetakan, aku mengkhawatirkan pemeriksaan di bandara.
Langit mulai gelap waktu kami tiba di hotel. Aku berkata pada Alberto bahwa belum ada bukti langsung tentang kerusuhan etnis itu. Cerita-cerita yang kudengar, foto-foto yang kudapat di pedalaman, dan foto-foto dari Juan Ramon hanya bukti tidak langsung. Alberto terdiam agak lama di lobi hotel. Wajahnya suntuk, seperti berpikir keras.
“Aku akan menelepon seseorang. Sekitar satu bulan ini aku mendengar bisik-bisik tentang sebuah rekaman. Aku tidak yakin, tapi aku akan mencari tahu,” kata Alberto.
Hari keenam, menjelang malam, Alberto muncul di hotel dengan sebuah diska lepas. Kami membukanya lewat laptop. Ternyata isinya adalah film berdurasi sekitar 10 menit. Mula-mula layar laptop menampakkan kerumunan orang di jalan. Sebagian naik ke bak terbuka truk atau ke atap bus. Mereka membawa senapan, golok, dan tombak. Sebuah sepeda motor melintas. Penumpang di boncengan tampak menenteng sesuatu mirip kepala. Adegan terputus. Muncul pemandangan di jalan aspal, ketika tentara berjaga-jaga dan menghentikan mobil-mobil. Adegan terputus lagi. Seorang lelaki tampak berlari dan dikejar puluhan orang. Lelaki itu terjerembap. Dia langsung ditendang dan diinjak-injak. Lelaki itu masih bisa bangkit dan berlari ke arah tentara. Tapi ia terjatuh dengan punggung berdarah.
Tentara menembak beberapa kali ke udara, menghalau puluhan orang itu. Adegan terputus. Muncul pemandangan rumah-rumah terbakar, lengkap dengan asap hitam. Adegan terputus lagi. Tampak beberapa tubuh tergeletak di tanah rumput atau di hutan, dan dua laki-laki bergerak-gerak.
Aku memutar ulang adegan terakhir. Film ini dibidik dengan kamera yang buruk. Tingkat resolusinya rendah, sehingga gambar yang muncul berbayang dan warnanya pecah-pecah. Adegan terakhir tampak dibidik dari tempat yang agak jauh. Aku perlu beberapa saat untuk mencerna gambar-gambar itu. Tubuh-tubuh menggeletak. Seorang lelaki menebas-nebas, lalu mengangkat sesuatu yang menyerupai kepala. Lelaki kedua berjongkok di samping tubuh yang lain. Tiba-tiba lelaki itu memandang ke arah kami. Gambar di laptop bergoyang-goyang. Kukira orang yang sedang merekam itu buru-buru berlari menjauh.
Aku memutar adegan terakhir sekali lagi. Di kamar hotel, aku dan Alberto terdiam.
***
PESAWAT mulai turun dari ketinggian. Lewat jendela, kelihatan laut, perahu-perahu, garis pantai, kotak-kotak bangunan, dan kehijauan. Aku baru sadar leher dan pundakku kaku. Mungkin karena sejak duduk di kabin pesawat ini aku tak mengatur sandaran kursi ke posisi yang nyaman.
Pesawat mendarat dan melaju pelan. Kemarin, pada hari terakhir di pulau itu—hari ketujuh—aku berkendara bersama Alberto menyusuri lagi kota dan pedalaman.
Aku membayangkan jalan-jalan dengan perintang dan dijaga tentara, dan titik pemeriksaan tiap beberapa kilometer. Aku membayangkan pagar kawat dan granat tangan di pedalaman, dan tentara yang tiba-tiba muncul dari hutan. Aku membayangkan jalan-jalan lengang dan suasana mencekam di kota. Aku membayangkan ketegangan dan rasa takut menyebar di pedalaman.
Tetapi hari itu, meskipun melewati jalan-jalan yang juga lengang, aku melihat orang berlalu lalang, mobil berseliweran, anjing-anjing di sudut jalan, dan warungwarung di pinggir jalan. Aku melihat bukit-bukit di kejauhan, dan matahari di sebelah kiri membentuk bayangan bergaris-garis. Waktu malam, kami melewati perkampungan yang hangus terbakar, tapi ada satu rumah yang tidak terbakar, dengan cahaya dari dalam—satu-satunya rumah yang utuh sepanjang satu kilometer itu.
Semalam aku memindahkan rekaman video dari diska lepas itu ke laptop. Aku menyimpannya di file tersembunyi, lengkap dengan kata sandi. Dengan cara itu, aku menghindari pemeriksaan di bandara. Tetapi situasi sudah tidak seperti yang diceritakan Juan Ramon. Tidak ada pemeriksaan ketat di bandara.
Aku turun bersama penumpang-penumpang lain. Aku menuruni tangga, melewati lorong, lalu selasar yang lebar. Aku hanya membawa satu koper yang kuletakkan di bagasi kabin. Jadi aku langsung berjalan ke pintu keluar. Di depan pintu, aku mengundurkan jam ke angka 05.45 pm. Aku harus buru-buru menemui kawan yang ahli telematika. Aku sudah meneleponnya kemarin, dengan janji bertemu pada hari ini untuk memeriksa foto-foto dan video itu.
Lalu di luar pintu bandara, aku mendengar beberapa orang bercakap tentang para mahasiswa yang tertembak sewaktu berunjuk rasa di depan kampus. ***
.
.
Wendoko. Menulis puisi dan cerita. Tulisan-tulisannya tersiar di sejumlah media massa.
.
Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos. Di Kelopakos.
Leave a Reply