Cerpen A Warits Rovi (Kompas, 19 Oktober 2025)
MULA-MULA, tubuhku adalah sketsa. Bentuknya mencontoh bulan tua; lengkung, tipis, dan lancip. Tertuang di lembar daun pisang kering—dengan alat tulis sepotong arang—yang digores pelan, seirama ritme bibir si pembuat sketsa: Suni namanya, yang sedang mengeja kalimat hauqalah tiga kali, tanpa bernapas, hingga tuntas oret terakhir pada bagian terlancip.
Malam itu dini hari. Senyap. Tanggal tua yang ganjil. Suni bangun memang sengaja untuk memulai sketsa tubuhku sesuai petunjuk tetua. Di dekat lampu teplok yang apinya meliut-liut menguar bau minyak, ia berkali-kali menoleh ke celah gedek rumahnya, menatap cermat bentuk bulan tua yang seperti melayang di balik liuk dahan-dahan mangga, lalu memastikan bentukku sama seperti bulan itu.
“Hmm… Melayanglah nyawamu, Sabidin!” ucap Suni sambil meremas kuat arang padat di tangannya hingga halus. Seperti melampiaskan dendam yang selama ini terpendam.
***
Setelah Suni menyerahkan sketsa tubuhku ke pandai besi, awal mula jasad dan rohku bertemu dalam kobaran api. Berkali-kali aku dibakar, lalu diangkat ke alas khusus dan dipukul berkali-kali pula. Sambil lalu si pandai besi melirik ke sampingnya—pada lukisan arang di selembar daun pisang. Ia terus berusaha keras untuk membentuk tubuhku seperti bulan sabit tanggal tua, sebagaimana bentuk lukisan itu. Setelah ditempa hampir sepuluh hari, barulah aku dianggap selesai.
Malam harinya Suni datang membawa potongan pendek kayu jambu yang telah diperhalus dengan amplas dan ujungnya dilengkapi tali gantungan. Ia menyerahkan kayu itu ke si pandai besi untuk dipasang sebagai gagangku.
“Ini bukan sembarang kayu. Sudah diisi dengan hizib,” ungkap Suni tersenyum. Si pandai besi membolak-balik kayu itu. Mengamati dengan teliti. Setelah sedikit meraut bagian ujungnya. Kemudian dimasukkan ke pangkalku sebagai gagang. Suni membayar si pandai besi itu. Lalu aku dibawanya pulang. Sepanjang jalan pulang, hangat erat tangan Suni memegangku, serasa mengalirkan dendam yang harus segera terlampiaskan.
Sesampainya di rumah, ia menemui Atun, istrinya di dekat lampu teplok. Menunjukkanku kepadanya seraya tersenyum.
“Dari mana sampean dapat celurit itu, Kak?”
“Kupesan dari Ki Hasan, Si Pandai Besi ulung di perbatasan desa itu.”
Atun meneteskan air mata. Merebahkan kepalanya ke bahu Suni. Tangan kanannya perlahan memegangku. “Jadi sampean akan membalas perlakuan Sabidin yang selama ini selalu menggangguku?”
Suni mengangguk. Tangannya kian erat memegangku. Atun mengecup pipi Suni, “Hati-hati, Kak. Semoga sampean selamat.”
Suni mengangguk lagi. Ia mengangkatku ke arah langit. Malam itu juga aku dimandikan air kembang. Dibacakan Yasin tiga kali. Diasapi kemenyan. Lalu digantung sungsang di balik pintu.
Aku tidak tahu kenapa aku ditaruh di balik pintu, di ruang yang tersembunyi dari pandangan mata. Sementara perkakas tajam lainnya seperti keris dan golok ditaruh di atas lemari, sebagian malah dipajang di dinding ruang tamu. Sedang sabit dan parang diselipkan di bawah lemari.
“Selamat datang kawan! Selamat menunggu tugas dari tuan kita,” ucap sabit malam itu padaku. Aku tak menjawab apa pun, sebab aku tidak tahu apa tugasku nanti.
Di situlah kemudian dinding rumah bercerita kepadaku perihal muasalku, sejak dari sketsa di daun pisang, hingga aku sempurna jadi sebuah alat yang diberi nama celurit.
***
Tujuh hari pertama di rumah Suni, aku tetap bergantung senyap di balik pintu. Masih tak digunakan apa-apa. Saat malam Jumat, Atun mengasapiku dengan kemenyan, sebagaimana yang juga ia lakukan kepada keris dan golok.
“Kau jangan bangga meski diasapi sepertiku, tugasmu jauh lebih berat dariku,” ucap keris kepadaku. Aku tetap tak mengerti kira-kira tugasku apa. Saat kutanya dinding, dinding masih menjawab dengan senyuman.
Suatu malam, Suni mengambilku, dimasukkanlah aku ke dalam sarung yang terbuat dari kulit. Lalu diselipkan di balik baju, gagangku tertanam pada gulungan sarung bagian belakang. Seolah aku ini memang benda yang tak boleh diketahui orang. Aku hanya merasakan rute jalan agak panjang, melintasi medan tanjakan dan turunan, dalam keadaan gelap tertutup di balik baju. Akhirnya aku sangat terkejut, malam itu aku ditaruh di atas kuburan. Semalaman aku ditinggal pergi sendirian. Adakalanya pada detik tertentu, tebersit dalam benak; rasanya lebih enak jadi sabit, walau ditaruh sembarangan, tapi tak sampai ditinggal sendirian di kuburan.
***
Setelah diambil dari kuburan, aku kembali dimasukkan ke sarung kulit. Suni selalu menyelipkanku di pinggangnya. Dibawa ke mana pun ia pergi. Aku tak tahu apa maksudnya. Berhari-hari lamanya. Pulang dan pergi. Aku dibiarkan terpenjara dalam sarung kulit. Hingga di suatu sore yang senyap, dari balik sarung kulit, aku mendengar Suni menghentikan seseorang bernama Sabidin, dengan percakapan lembut tapi bernada panas, Suni mengajak Sabidin melakukan carok. Aku tak tahu apa itu carok.
Saat keduanya sepakat dan siap. Sarung kulitku ditanggalkan. Sontak aku sangat terkejut, Suni mengarahkanku ke tubuh Sabidin yang juga pegang celurit.
“Aku tak ingin saling hantam denganmu. Aku juga tak ingin melukai tuanmu, tapi aku tak punya daya untuk menghentikan semua ini,” ucap celurit yang dipegang Sabidin kepadaku.
“Sama, kawan. Aku ingin kita bertemu damai tak saling hantam. Aku tak rela melukai tuanmu juga, tapi tak punya daya untuk itu.”
Baru saja kami mengobrol, Sabidin langsung mengayunkan celuritnya ke kepala Suni, beruntung Suni sigap jongkok hingga celurit Sabidin meleset di atas kepalanya, pada saat itulah Suni balik mengayunkan tubuhku ke perut Ki Sabidin dan kena.
Darah muncrat ke mana-mana. Aku berlumur darah. Tanah basah dan merah. Sabidin jatuh tersungkur. Ia mandi darah. Udara jadi amis. Sabidin memekik kesakitan hingga akhirnya meninggal dengan posisi telentang.
“Akhirnya aku menang carok.”
Suni tersenyum sambil menggosokkan tubuhku ke pasir, sebelum akhirnya dilap dengan daun. Ia tak tahu bahwa sebenarnya aku menangis. Aku telah membuat nyawa manusia melayang. Dalam diam aku berontak. Ingin keluar dari rumah takdirku agar berhenti jadi celurit.
Aku baru tahu, begitulah carok, penyelesaian masalah dengan saling bunuh. “Mengapa harus membunuh? Tak adakah jalan lain selain membunuh?” sepanjang perjalanan pulang, aku bertanya kesal kepada Suni meski dia mustahil untuk mendengar.
Sesampainya di rumah, aku digantung sungsang kembali di balik pintu. Tanpa sarung kulit. Sabit, parang, golok, dan keris sama-sama menatap wajahku dengan tatap yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Mereka diam bergeming—seperti sudah tahu pada apa yang telah kulakukan.
“Hebat kamu. Tak sampai sebulan di rumah ini sudah tercium bau darah,” celetuk salah satu golok padaku.
“Aku sebenarnya ingin keluar dari rumah takdir ini. Aku ingin seperti kalian, tak berurusan dengan nyawa, jauh dari peristiwa pembunuhan, bahkan andai boleh memilih, aku ingin seperti sabit, meski digunakan ke ladang dan ditaruh di lantai, tapi selalu damai. Tapi…,” tangisku keburu pecah. Luka batinku kian terasa dahsyat saat beberapa orang polisi datang. Meringkus Suni. Aku pun dibawa sebagai barang bukti.
***
Di kantor polisi, aku ditempatkan dengan barang bukti lain dalam satu kotak kayu. Ternyata aku hanya berdua dengan celurit lain. Di sanalah kami berbagi cerita tentang perjalanan hidup masing-masing. Temanku itu usianya lebih tua dariku. Ia mengaku telah membuat empat orang kehilangan nyawa. Ia bercerita sambil menangis, sebab apa yang telah ia lakukan bukanlah kehendak dirinya. Ia bergerak atas pikiran bejat tuannya.
Lima hari sudah nyaman dalam kotak. Namun aku terkejut begitu peti dibuka, dan seorang petugas mengebatku dengan kain. Sebentar ia pergi dan menaruhku melintang di kedua sisi peti bagian atas. Temanku bilang, “Selamat kawan! Kau sepertinya akan dikeluarkan dari peti, juga dikeluarkan dari penjara ini.”
“Maaf, kawan! Bagi sebuah celurit sepertiku—dan mungkin juga sepertimu, ada di penjara itu justru sebuah surga, karena aman dari praktik pembunuhan. Sebaliknya, jika keluar dari penjara, itu adalah neraka, karena bisa mungkin akan digunakan untuk membunuh lagi,” tak terasa air mataku menetes. Lalu temanku itu juga menangis, dan akhirnya hari itu kami berpisah. Entah faktor apa tiba-tiba Suni dibebaskan dari penjara, aku tidak tahu.
Kembalilah aku bergantung sungsang di balik pintu. Keris, golok, sabit, dan parang menyapaku dengan ucapan selamat datang. Bibirku terkatup. Tak punya balas kata. Aku mematung murung karena malu sudah keluar dari penjara sebagai barang bukti pembunuhan.
Beruntung sebulan kemudian Suni meninggal karena serangan jantung. Pikiranku sedikit tenang sebab tuan pembunuh sudah tak ada. Dalam rapat keluarga, aku jadi warisan bagi anak perempuannya yang bernama Biya. Tiba di tangan seorang perempuan, aku kembali merasa seperti tiba dalam rumah takdir lain. Bebas dari kekerasan. Bebas dari dosa.
***
Setelah Biya meninggal, aku jadi harta warisan lagi kepada anak lelakinya yang bernama Agus, tapi keadaan sudah berubah, tradisi leluhur yang bernama carok itu sudah tak begitu dipilih sebagai jalan keluar terbaik oleh anak-anak muda, mungkin karena doaku dan celurit lain telah dikabulkan. Celurit tak lagi diagungkan. Ditaruh di sembarang tempat. Tak dimandikan kembang. Tak diasapi kemenyan. Tapi justru hal itu bagiku adalah kemerdekaan hakiki dan kebahagiaan; hidup tanpa pembunuhan.
Aku lalu dijual oleh Agus pada pedagang barang bekas, lalu dijual lagi ke orang lain, begitu selanjutnya pindah jual dari tangan ke tangan, dari satu tempat ke tempat lain, hingga tiba pada seseorang bernama Takdir. Aku berharap dia itu pandai besi atau paling tidak orang yang akan mengubah bentukku dari celurit menjadi alat lain, bahkan menjadi cangkul yang dipakai untuk membersihkan kotoran pun aku rela. Asal tidak menumpahkan darah. Aku sudah muak jadi celurit dengan segala stigma dan kenangannya. Selalu dianggap bagian dari kekerasan carok.
Setiba di rumah Takdir, aku ditaruh di atas lemari yang penuh debu. Berkompromi dengan tebaran tahi cicak yang mengering, juga beberapa ekor kecoak kejar-kejaran di dekatku. Takdir tidak menganggapku sebagai pusaka. Bagiku, justru itu sebuah kebahagiaan, aku lebih baik jadi barang biasa asal tidak melukai apalagi membunuh orang.
Setelah ganti baju, Takdir keluar dari kamar membawa paku dan palu. Ia menancapkan paku itu di samping sebuah pigura. Kemudian aku digantung ke paku itu. Bersisian dengan jarak sejengkal ke pigura.
“Ayah! Karena kau penggemar celurit. Maka aku membeli celurit itu untukmu,” ucap Takdir tersenyum.
Pelan aku menoleh ke pigura di sampingku, ingin tahu wajah ayah Takdir. Deg. Jantungku berdetak kencang. Ternyata pigura di dekatku berisi potret Sabidin. Takdir tidak tahu bahwa akulah celurit yang dulu membuat nyawa ayahnya melayang. ***
.
.
Rumah FilzaIbel, 2025
A Warits Rovi, lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel memenangi beberapa sayembara dan dimuat di berbagai media. Memenangi beberapa lomba karya tulis sastra. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018), Sepasang Cinta Orang Gila (Hyang Pustaka, 2023). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku sebagai Lelaki (Basabasi, 2020), Bertetangga Bulan (Hyang Pustaka, 2022), Interupsi Tanah Garam (Hyang Pustaka, 2025).
Iskandar Abeng, perupa asal Cirebon. Ia aktif berkarya dan berpameran sejak 2016, dengan jejak pameran di berbagai galeri dan ajang nasional, seperti Biennale Jabar, Biennale Jawa Timur, Biennale Kuningan, serta pameran di Museum Nasional Indonesia. Karya dan performance-nya juga muncul di berbagai pameran virtual selama pandemi. Selain berkarya, ia juga aktif menggelar gelaran seni, lomba, bazar, dan pertunjukan di Cirebon dan luar kota.
.
Di Rumah Takdir. Di Rumah Takdir. Di Rumah Takdir. Di Rumah Takdir. Di Rumah Takdir. Di Rumah Takdir. Di Rumah Takdir. Di Rumah Takdir. Di Rumah Takdir.
![]()
Leave a Reply