Cerpen, Romi Afriadi, Tanjungpinang Pos

Pohon Matoa Itu Pemberian Bupati

4
(4)

WARGA di dusun itu tiba-tiba geger, semua orang terperanjat mendapat berita salah seorang warganya mati gantung diri. Pagi itu seharusnya menjadi hari yang biasa saja bagi penduduk di kampung itu. Seperti sebelum-sebelumnya, para petani karet yang sudah siap berangkat untuk menyadap. Nelayan yang hendak menyeberangkan sampan mencari ikan, atau anak-anaknya mereka yang pergi ke sekolah.

Warganya memutar hari yang itu-itu juga. Bekerja sehari-hari untuk pulang menyantap makanan orang-orang terkasih. Malamnya—bagi yang laki-laki—berkumpul di warung kopi sambil sesekali menggelar permainan domino. Namun hari itu sejarah kelam menggemparkan seisi kampung. “Dosa orang yang bunuh diri sangat besar, orang seperti itu tak patut kita kuburkan, dia akan mendapat siksa di neraka.” Pak Hanif, Imam di kampung itu geram. Sementara di bawah pohon matoa tempat mayat itu tergantung, dua sosok manusia berbeda usia, ibu dan anak dari perempuan yang gantung diri itu seperti kehilangan cahaya. Mereka menatap mayat yang tak bernyawa itu dengan pandangan pilu, begitu sendu.

***

Apa yang kau lakukan, Nak?

Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu, kenapa engkau nekat mengakhiri hidup dengan cara seperti ini. Mengapa kau kalah dalam memperjuangkan kehidupan, bukankah sejak dahulu kita sudah terbiasa dengan caci dan maki? Seharusnya kau harus kuat, Nak, hidup terlalu sia-sia jika terus dihadapi dengan keputusasaan apalagi diakhiri dengan cara bodoh seperti ini.

Ketika kau lahir, mulailah cibiran orang terhadap keluarga kita. Memang tak ada yang bisa dibanggakan dari seorang anak yang lahir dari rahim seorang perempuan miskin di pinggiran dusun, dan seorang ayah yang dibenci oleh seluruh masyarakat karena hobi berjudi dan berutang.

Baca juga  Kupu-Kupu Gunung

Kelahiranmu tak disambut istimewa oleh banyak orang, hanya ada beberapa orang kerabat saja yang berkunjung barang sebentar, itu pun ibu lihat hanya karena keterpaksaan. Namun bagi ibu engkau akan tetap permata, Nak, bukankah demikian anggapan setiap ibu di dunia? Setiap ibu ingin melihatnya anak-anaknya tumbuh sehat, lucu, menjadi kebanggaan keluarga, dan kelak saat dewasa berguna bagi banyak orang. Bukannya sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya?

Untuk itulah ibu ingin kamu sekolah, kalau bisa sampai ke perguruan tinggi, menjadi seorang sarjana, bisa bekerja di tempat yang enak dengan pakaian wangi dan kendaraan mewah agar orang tak lagi menghina keluarga kita. Ya, kamu adalah harapan ibu sekaligus tumpuan untuk mengubah keluarga ini keluar dari lembah hitam.

Kau menjelma gadis yang pintar, menunjukkan prestasi hebat di sekolah. Pada mata pelajaran tertentu nilaimu hampir sempurna dan ketika pembagian rapor engkau sering dapat rangkin satu. Ah, betapa ibu bangga meskipun orang lain sepertinya tambah benci pada kita. Biarlah, toh dari dulu kita juga seolah-olah tak punya siapa-siapa. Bagi ibu melihat engkau bertumbuh sehat setiap hari merupakan kebahagiaan terbesar.

Namun Tuhan ternyata masih bermain teka-teki dengan hidup kita, menghadirkan berbagai kejadian tak tertebak. Seperti hari itu, ketika engkau terpaksa berhenti dari sekolah karena tunggakan uang pembangunan yang tak bisa ibu bayar. Engkau dicampakkan dari sekolah dan ibu merasa hari itu takdir kehidupan seperti hendak bercanda saja.

Semenjak saat itu gairah hidup ibu seperti dicabut separuh dari tubuh, Ibu sudah gagal memberikan pendidikan yang layak padahal engkau termasuk golongan murid yang berprestasi. Hidup memang terkadang tidak adil termasuk dalam harapan. Ibu yakin banyak orang di luar sana yang bernasib sama denganmu, terdepak dari sekolah hanya karena alasan klasik; biaya. Sebaliknya di saat bersamaan anak-anak orang kaya menghamburkan uang karena pendidikan.

Baca juga  Mereka Harus Kalah Hari Itu

Keluar dari sekolah engkau tetiba memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta. Kau selalu berkilah itu semua demi masa depan. Kau menyebut nama teman-temanmu yang sukses setelah merantau ke Ibu Kota. Desi yang sudah bisa membelikan ibunya kalung, Siti yang berhasil merenovasi rumahnya, ataupun Titin yang punya motor baru atas hasil kerjanya di Jakarta.

Atas desakan itulah, ibu akhirnya terpaksa melepaskanmu, meski yang terpampang ke depan adalah kesunyian yang memaharaja.

Apalagi bertahun-tahun kau tak pulang dari tanah rantau. Kau selalu beralasan sibuk dengan berbagai pekejaan yang tak pernah putus. Sudah tujuh tahun, Nak, dan ibu seperti mati rasa saja. Hidup terasing di dusun, sendirian di hari tua, siapa pula yang menginginkannya? Lalu setahun berselang, kau pulang dengan masalah baru dengan seorang anak perempuan kecil empat tahunan. Hidup makin bercanda saja.

Kau jadi pendiam, tak mau lagi bergaul dengan masyarakat. Kau selalu menangis setiap mendengar bisik orang-orang yang berisi nada cemoohan. Setiap pagi, kau hanya bermain di bawah pohon matoa dengan anakmu. Pohon berdaun rindang yang dulunya adalah pemberian seorang bupati saat kampanye di kampung kita.

***

Aku tak tahu apa yang terjadi sama ibu. Apa yang dilakukan ibu sebenarnya? Mengapa ibu bergelantungan di pohon matoa ini? Bukankah biasanya kami selalu bermain bersama di situ?

Setiap hari, sehabis bangun tidur, ibu tak pernah lupa membawaku bermain di bawah rindangnya pohon matoa ini, kami belajar membaca dan menulis huruf di tanah-tanah dengan sebatang kayu.

Ibu juga sering bercerita di sini.

“Dulu, pohon ini pemberian Bupati, Nak….”

“Bupati itu siapa, Bu….”

“Dia orang yang memimpin daerah ini,” ujar ibu mengelus rambutku.

Baca juga  Harimau Belang

“Dia tinggal di mana, Bu?”

“Dia tinggal di kota, rumahnya besar dan bagus.”

“Berarti bupati orang hebat, Bu.”

Ibu menganguk.

“Kalau sudah besar, aku ingin jadi bupati, Bu.”

Ibu cuma tersenyum.

“Bagaimana caranya aku bisa jadi bupati?”

“Kamu harus pintar dan rajin sekolah.”

Aku senang sekali pagi itu. Sejak itu pula aku ingin jadi bupati. Aku tak lagi bertanya lebih jauh pada ibu apa tugas seorang bupati. Sebab aku sudah punya bayangan sendiri, seorang bupati haruslah membagi-bagikan pohon-pohon kepada banyak orang. Namun aku tetap tak tahu, mengapa ibu bergelantungan sendiri di pohon matoa itu. ***

ROMI AFRIADI, dilahirkan di Desa Tanjung, Kampar, Riau. Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!