Cerpen, Esty Dyah Imaniar, Republika

Tidak Ada Satai Tahun Ini

4.6
(5)

Pagi-pagi sekali Ismail pamit dengan seikat kangkung dari ibunya. Sudah seminggu ini anak semata wayangku itu rutin mengunjungi rumah Ahmad di kampung ujung perumahan kami. Biasanya, Ahmad dan teman-temannya yang mengunjungi perumahan. Tapi, kini Ismail merasa harus memastikan Coco kesayangannya sehat hingga hari yang dinanti mereka semua.

Coco adalah kambing milik keluarga Ahmad yang telah seminggu ini berpindah kepemilikan dengan pecahnya tabungan Ismail. Bahkan, ketika teman-temannya heboh minta dibelikan sepeda baru, Ismail memilih merawat tabungannya demi Coco.

“Sepeda Ahmad juga kuno, tapi dia tetap seru diajak balapan,” kata Ismail ketika kupancing untuk melupakan Coco.

Tentu saja upayaku gagal. Cerita-cerita tentang Ibrahim dan anaknya yang dulu kerap kubacakan telah tertanam begitu kuat. Kecintaannya pada Coco tumbuh, bahkan sebelum kambing itu sah menjadi miliknya. Maka, ketika sebentar lagi Ismail akan melaksanakan kurban pertama bersama Coco, aku hanya bisa pasrah.

“Tumis kangkungnya beda, ya?” kataku pada perempuan yang baru saja menemaniku di meja makan. “Maksudku lebih enak.” Buru-buru kutambahkan sebelum perempuan itu salah paham.

Sudah tiga bulan ini dia kerepotan dengan perubahan pola makanku yang ekstrem; memastikan gula kami tidak mengandung bone char dan pastry langganan tidak mengandung enzim L Cysteine. Maka, apresiasi sekecil apa pun penting kulakukan.

“Oh, mungkin efek margarin. Minyaknya habis, jadi….” Belum selesai kalimatnya, aku segera berlari menuju rak kabinet dapur dan meraih benda yang dimaksud.

“…gelatin, casein, God! Ini semua protein susu, Sayang!” teriakku histeris.

Lho, kemarin katanya margarine is okay karena lemak nabati, bukan seperti mentega?”

“Tidak semua margarin, Sayang….”

Aku menenggak dua gelas air putih, berharap bisa membersihkan tenggorokan dari kejahatan yang baru saja kulakukan demi sesuap tumis yang lebih enak.

Istriku membersihkan sisa makan yang diketahuinya tidak mungkin kuselesaikan. Ada gurat yang gagal kubaca sebagai sedih atau marah. Aku paham, perubahan ini masih begitu mengagetkan untuknya. Tapi, dalam segala keterbatasan, dia mencoba menyesuaikan setiap kebutuhanku. Bahkan, dengan sabar menengahi perbincanganku dengan Ismail yang belakangan terasa menyebalkan.

“Ayah tahu nggak, Ahmad dan teman-temannya ternyata jarang makan satai padahal mereka piara banyak kambing. Nanti kalau Coco sudah disembelih kita bikin pesta satai untuk mereka ya, Yah?”

Baca juga  Obsesi Lamhe

Aku ingin menyambut kebaikan bocah yang baru masuk SD itu dengan bahagia. Tapi, justru cerita-cerita tentang peternakan nun jauh sebagai penyiksa hewan yang keluar dari lisanku. Ismail tentu berujar “Hii, seram!” berulang kali. Tetapi, di ujung hari, permintaannya tidak pernah berubah: Pesta satai kurban.

Di lain waktu, Ismail menceritakan rencana menonton penyembelihan kurban bersama teman-temannya. Mendengarnya saja aku langsung bergidik dan segera meraih laptop kerjaku. “Ismail mau nonton cerita sapi-sapi, nggak?”

Belum sempat kuputar dokumenter konspirasi penjagalan terbesar di dunia, istriku sudah menarik lembut tangan Ismail dan mengajaknya tidur. “Ibu bacakan dongeng Nabi Ismail, ya!” ucapnya lembut, tapi penuh genderang perang.

Hari-hari setelahnya lebih panas lagi. Malam sebelum kurban, istriku justru memutar siaran televisi yang sibuk memberitakan persiapan upacara pembantaian akbar atas nama Tuhan. Batinku bergejolak; mana ada pengorbanan tapi mengorbankan makhluk lain, dasar manusia egois!

Sebenarnya, aku mencoba tidak peduli jika saja Ismail tidak terus merengek.

“Besok Ayah tidak liputan, kan? Tahun lalu Ayah sudah janji mau bakar-bakar satai, lho. Bisa kan, Yah?” Mata Ismail mengerjap imut, tetapi hatiku begitu gusar melihatnya.

“Tidak ada satai tahun ini!” teriakku mengakhiri euforia si bocah.

Ismail menangis sepanjang malam. Istriku tidak berkata apa pun. Hanya, malam itu dia memilih tidur di kamar Ismail. Bahkan, hingga aku pamit esok paginya, dia tidak bertanya.

“Maaf ya Ismail, hari ini Ayah ada liputan,” kataku kepada bocah manis yang tampak sudah melupakan tangisnya semalam.

Sebenarnya, aku telah menolak segala liputan tentang kurban. Atasan juga tahu sudah tiga bulan aku tidak lagi nongkrong di kantin kantor demi rebutan antre sop buntut dengannya. Tapi, justru karena itulah dia menugaskanku hari ini.

“Kamu harus belajar adil, bahkan terhadap hal yang tidak kamu sukai,” pesannya sambil mengirim alamat liputan.

Susah payah aku mencoba mengatur napas, pandangan, dan raut wajah setibanya di lokasi penjagalan. Banyak anak kecil bersemangat melihat prosesi penyembelihan kurban. Seketika, aku bergidik mengingat Ismail.

Terima kasih kepada segenap sapi dan kambing yang memutuskan untuk meninggalkan kehidupan bumi dengan cepat, tanpa perlu kabur atau terkapar menyedihkan sehingga aku mesti menuliskan lebih banyak tentang mereka. Berbekal data kuantitatif sekenanya, aku segera menyingkir dari kerumunan. Sakit hati ini menatap hewan-hewan itu.

Baca juga  Apang Panas

Di sisi lain lokasi penjagalan, anak-anak mempersiapkan perkakas. Seperti Ismail, anak-anak ini tidak sabar hendak bakarbakar. Sialnya, kelakuan para bocah itu justru membawaku pada ingatan masa kecil. Setiap hari kurban, anak-anak kampung memang guyub begitu. Kami akan sibuk sekali di masjid, membantu apa saja, angkat ini-itu, ambil ini-itu. Semakin rajin, semakin disayang, semakin dilebihkan daging yang dibagikan kepada kami.

“Hadiah kerja” itu akan kami bawa pulang penuh kebahagiaan untuk dijadikan menu terlezat oleh ibu kami masing-masing. Menu favoritku tentu gule kambing dengan racikan rempah khas serta kuah melimpah yang sengaja dilebihkan agar nglawuhi seisi rumah. Nikmat sekali.

Bagi orang kampung macam kami, daging adalah kemewahan. Memang kami punya ternak, tapi tidak setiap kami bisa menikmatinya dalam bentuk satai, sop, apalagi steak. Seperti mbakku yang saban hari menjadi buruh jahit BH yang konon digunakan artis Hollywood, tetapi bahkan untuk membeli pengaitnya saja dia tidak akan mampu.

Tidak seperti mbak, berkat penjualan sapi aku bisa kuliah ke kota lalu punya pekerjaan lumayan. Namun, ketika akhirnya bisa mencicipi shawarma hingga wagyu steak, aku justru merasa kian terasing dari ternak-ternak di desa. Daging sapi mahal yang dikenalkan atasanku itu dikirim dari negari jauh yang dipelihara dengan teknik beternak istimewa. Konon para ternak selalu dibiarkan merumput di padang terbuka, diberi makanan bernutrisi tinggi, dipijat berkala, bahkan dipakaikan jaket saat musim dingin!

Tidak heran jika rasanya sangat lezat. Daging mentahnya saja begitu cantik bak lempengan marmer dari lapisan lemak tak jenuh yang tersebar merata. Tekstur dagingnya yang berair sangat lembut dan juicy. Warna daging dan lemaknya pun memiliki tingkat kecerahan tertentu. Bahkan terdapat sertifikat khusus untuk verifikasi kualitas-kualitas ini. Benar-benar tidak seperti daging masa kecil yang biasa kumakan setahun sekali saat kurban.

Belakangan, baru kuketahui harga sebenarnya dari kelezatan daging itu. Di balik setiap potong steak kesukaanku, ternyata sebagian daging itu pernah hidup dalam kandang sempit, terikat, dan tidak bisa leluasa bergerak. Ketika mereka mendapat lahan luas seperti si wagyu, rumah itu justru menyumbang kerusakan udara dengan pelepasan gas berbahaya. Dan demi menghasilkan rasa terbaik miliaran ton nutrisi nabati dijadikan makanan sapi yang kelak hanya dikonsumsi segelintir elite, sementara di bagian bumi lain jutaan manusia kelaparan.

Baca juga  Surat Tapol kepada TKW, Cucunya

Ketika menyampaikan fakta-fakta ini kepada istriku, dia—sebagaimana orang kebanyakan—membantahnya dan justru membanggakan peternakan mikro seperti milik keluarga Ahmad. Aku curiga dia mulai melakukan riset selain membaca buku-buku dan menonton sejumlah dokumenter yang kuberikan. Di hari kedua kami berdiskusi, dia bahkan membahas alternatif permakultur dan mengutip jurnal-jurnal yang menentang keyakinan baruku.

Meski begitu, istriku tidak protes ketika aku mulai mengganti sepatu, jaket, dompet, dan produk kulit lain dengan sintetis tumbuhan. Atau, ketika aku mulai mengganti menu cepat saji langganan kami dengan burger jamur, steak tempe, hingga kudapan glutenfree. Dia diam saja ketika aku berkata lebih bahagia meski pengeluaran kami jadi lebih tinggi. Hanya, dia tidak bisa terima ketika aku berusaha membatalkan rencana Ismail di hari besar ini.

“Mas Ibrahim!” seorang pemuda dari masjid berjalan ke arahku. Tangannya membawa wadah bambu berukuran sedang yang tampak bernoda darah.

Seketika jantungku bergemuruh mencium bau daging, sulit fokus membalas sapaan pemuda itu. Padahal, air mukanya begitu cerah dan penuh kebahagiaan, mengingatkanku pada Ismail.

Sudah setahun ini Ismail memulai perjalanan kurbannya. Dia menabung setiap hari demi bisa membeli hewan kurban, menyembelihnya demi bisa berbagi pada kawan-kawannya, mengadakan pesta satai demi bisa berbahagia dengan teman bermainnya. Tapi, entah bagaimana aku abai pada ketulusannya.

“Ini ada sedikit buat nyate,” kata pemuda itu lagi.

Aku hendak menolak. Tetapi, kata-kata itu hilang tertelan bayangan wajah Ismail. ***

Esty Dyah Imaniar adalah penulis buku Rules of Love dan Wanita yang Merindukan Surga.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!