Arlini M Situmorang, Cerpen, Tanjungpinang Pos

Takdir Cinta

1
(1)

SETELAH perpisahan itu, aku selalu ingin sendiri. Setiap malam duduk di bangku kecil di depan rumah mengenang semua cerita cinta kita. Tak terasa air mata pun terjatuh bak hujan diiringi gemuruh petir yang sangat kuat.

“Nick, terima kasih sudah menjadi tempatku bersandar saat merasa letih, menjadi teman di saat semua orang tidak peduli. Aku tahu pasti bahwa apa yang datang, suatu hari akan pergi. Aku pernah berharap bisa melewati berbagai musim bersamamu, melewati setiap pergantian tahun tanpa harus merasakan kesepian. Tapi kenyataannya berbeda, takdir punya kisah lain untuk kita jalani. Aku tidak menyalahkan perpisahan ini, aku hanya belum sanggup melewati hari-hari tanpa dirimu.” Gumamku.

Malam semakin larut. Dingin udara malam terasa menusuk hingga ke tulang. Aku memutuskan untuk masuk ke rumah dan pergi tidur untuk melupakan sakit beberapa jam ke depan.

“Raaaaa… bangun, Nak,” panggil Ibu membangunkanku.

“Ya, Bu.” Jawabku.

Jam menunjukkan pukul 06.00 aku bersiap-siap untuk pergi bekerja, aku mendapati ibu yang sudah selesai menyiapkan makanan di meja lalu sarapan bersama. Pagi ini sangat mendung, matahari seakan enggan untuk sedikit beramah-tamah dan menghangatkan alam. Ia seperti paham apa yang aku rasakan.

Setibanya di kantor aku disambut dengan pemandangan yang sangat menyayat hati. Aku melihat Nick dan Shaella turun dari mobil yang sama. Tapi aku bodo amat. Aku, Nick dan Shaella merupakan karyawan yang sama di sebuah perusahaan, mereka baru saja pacaran.

“Ara, nanti sore kamu ada acara nggak?” Tanya Dinda.

“Nggak ada, kenapa, Din?” Jawabku.

“Kamu mau menemaniku ke acara ulang tahunnya Evi?”

“Oh iya, aku juga diundang, hampir aja kelupaan,”

“Yaudah, nanti aku jemput kamu ke rumah jam 19.00 ya.”

Baca juga  Orang yang Selalu Cuci Tangan

“Oke.”

Malam pun tiba, aku bersiap-siap untuk pergi ke pesta ulang tahun Evi. Sembari menunggu Dinda, aku berdiri di depan cermin sambil bergumam, “Nick akan menyesal meninggalkan kamu, Ra. Kamu itu cewek kuat, jangan terlihat lemah di depan Nick dan pacar barunya Shaella itu.”

Tinnn Tinnn… Suara klakson berbunyi, dan aku menghampiri Dinda.

“Kamu cantik sekali, Ra,” puji Dinda.

“Apaan sih kamu. Ayo jalan,” Jawabku.

Sampainya di rumah Evi, kami turun dan melihat Nick dan Shaella berada di sana. Seketika udara berubah menjadi panas. Nick menatapku dengan sangat tajam dan sepertinya dia terpukau dengan penampilanku malam ini.

“Dinda, Ara…” Seseorang memanggil kami.

“Eh, Evi. Happy Birthday ya, Sayang. Semoga tahun ini dilamar,” Ledek Dinda.

Kami pun tertawa lepas.

Setiap menit berlalu seakan menekan dada yang sudah rapuh tertimbun beribu-ribu perasaan yang menyesakkan melihat kemesraan Nick dan Shaella. Namun aku tidak mau kelihatan lemah.

“Ra, kamu mau nggak berdansa denganku?” Tawar Dony.

“Boleh.”

“Ini kesempatanku untuk menunjukkan kalau aku baik-baik tanpanya,” Gumamku.

Setelah selesai berdansa, aku permisi ke kamar mandi, tiba-tiba Nick menarik tanganku.

“Apa maksudmu berdansa dengan Dony tadi?” Tanya Nick dengan nada marah.

“Emang kenapa? Tidak bisa?” Tanyaku dengan tatapan sinis.

“Ya, nggak bisa!” Jawab Nick.

“Lalu kamu bisa jalan bersama Shaella tanpa sepengetahuanku? Kamu membagi cinta dengannya padahal kamu masih punya pacar,” Ucapku.

Tak terasa air mata mengalir di pipi. Nick berusaha untuk menghapus air mataku namun aku menepisnya.

“Aku minta maaf,” Ucap Nick.

“Tak perlu minta maaf, tangis ini adalah tangis bahagia untukmu,” Jawabku.

Tak kuasa menahan tangis, aku mengajak Dinda untuk pulang lebih awal. Di jalan aku bercerita semua yang barusan terjadi pada Dinda. Sepanjang jalan aku terus menangis bahkan sampai di rumah pun aku terus menangis hingga aku terlelap.

Baca juga  Pencari Hening

Seperti tak terjadi apa-apa semalam, pagi ini aku sangat semangat untuk pergi ke kantor. Aku disambut dengan sinar matahari pagi yang seolah-olah memberikan ucapan selamat pagi untukku. Sesampainya di kantor aku duduk di mejaku dan melihat fotoku dengan Nick di laci.

“Ara,” suara yang tak asing lagi di telinga memanggilku.

Panggilan itu menyentakkanku dari lamunan. Mata kami beradu pandang, semakin lama aku menatap matanya rasa sakit dan perih makin terasa dalam hatiku. Aku tidak bisa membohongi diriku lagi. Aku masih mencintainya walau dia sudah melakukan kesalahan yang sangat besar.

“Ya, ada apa?” Tanyaku.

“Nanti pulang aku yang antar,” Ucapnya.

“Aku bisa sendiri,” Jawabku ketus.

Dinda yang tak sengaja mendengar ajakan Nick langsung menghampiri.

“Nggak, nggak bisa. Dia nggak bisa pulang denganmu. Setelah hatinya hancur lalu tanpa rasa bersalah kamu kembali.”

“Apaan sih kamu. Aku yang antar, nggak ada tawar menawar,” Ucapnya sambil berlalu.

“Dasar brengsek!” Ucap Dinda.

Waktu pun berlalu, jam pulang sudah tiba. Tak sengaja mataku melihat ke luar dan Nick sudah di mobil menungguku dan aku pun menemuinya lalu berangkat.

Setelah beberapa menit terdiam, suasana hening itu dipecahkan oleh Nick.

“Ra, aku masih sayang sama kamu, selama ini aku khilaf dengan Shaella. Aku baru sadar ternyata kamu yang terbaik yang pernah ada dalam hidupku,” Jelas Nick.

“Sudahlah, tidak penting juga untuk dibahas,” Jawabku.

“Aku mau kita seperti dulu lagi, Ra.” Pintanya.

“Maaf Nick, aku tidak bisa. Aku ngerasa kalau kita memang betul-betul tidak ditakdirkan untuk bersama,”

“Hubungan kita sudah lima tahun, tapi secepat itu kamu melupakan aku?”

“Lalu bagaimana denganmu? Ah sudahlah, aku tidak mau lagi bahas ini.”

Baca juga  Kinanti

“Tapi, Ra….”

“Sudahlah, aku turun di sini aja ya, nggak enak dilihat sama Ibu. Ibu juga sudah tau kalau kita nggak ada hubungan apa-apa lagi.” Jawabku.

Nick menarik tanganku dan terlihat matanya memerah seperti membendung air mata. Air matanya pun merembes, membasahi kelopak dan sudut-sudut matanya. Namun aku menepis dan ke luar dari mobilnya.

“Terima kasih sudah mengantarkanku.”

Di kamar, aku merenungkan kalimat yang dilontarkan Nick sewaktu di mobil. Air mata kembali berlinang.

“Aku tidak bisa terus seperti ini, aku harus menghindar dari Nick. Jujur saja aku masih mencintainya, namun dengan caranya seperti itu sangat membuatku terpukul. Lebih baik aku resign,” Gumamku.

Keesokan harinya, aku mengantarkan surat resign ke kantor, aku menemui Dinda dan menceritakan aku akan pindah dan mencari suasana baru di luar kota. Aku ingin membuang kenangan pahit yang ada di kota ini. Dinda setuju dan memberi support untukku. Aku memilih meninggalkan kota Bandung dan pergi ke Yogyakarta. Ingin kutanam semua kenangan di masa lalu dan menjalani hidup yang baru dan membalut luka yang dulu. ***

ARLINI M SITUMORANG, bergiat kesenian di komunitas sastra Langit Kompak.

Loading

Average rating 1 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!