Cerpen, Firman Fadilah, Radar Malang

Duka Dukana

Duka Dukana - Cerpen Firman Fadilah

Duka Dukana ilustrasi Radar Malang

5
(3)

Cerpen Firman Fadilah (Radar Malang, 29 September 2021)

SUDAH kukatakan, aku tidak akan berpaling.

Hati seorang lelaki, katamu, adalah benda paling elastis yang mengikuti setiap lekuk wadah yang menampungnya. Hati lelaki kau umpamakan permen karet yang lekat di bawah sandal. Hati lelaki kausamakan dengan cuaca yang berubah-ubah setiap detiknya. Barangkali sebab itulah kau selalu meragukan cintaku. Iya, ‘kan?

Aku selalu benci pada setiap kebetulan-kebetulan yang ditakdirkan waktu dan ia mempertemukan aku dan kamu yang tak pernah menjadi kita.

Oh cinta, sedemikian dalam ia membenamkan diriku dalam samudera. Sedemikian jalang ombak mendebur hingga pecah batu-batu dan aku lupa bagaimana caranya bangkit.

Oh kasih, seluas semesta yang tak habis diukur, sebesar itulah cinta yang tumbuh, cinta yang kau semai, cinta pertama.

Aku hanyut dalam arus cinta yang tak sudah-sudah menimbul-tenggelamkan detak jantungku. Aku seolah berada di tengah belantara berkabut yang rimbun oleh luka-luka dan kau adalah bola lampu yang menuntun jiwaku kembali.

Cinta pertama selalu membawa kesan yang begitu dalam. Aku dan-barangkali-kamu umpamanya. Cinta tak perlu kata-kata untuk menjelaskan bagaimana hati merindu. Cinta tak perlu tanda tanya untuk menanyakan sebab dan segala mula di antara kita. Namun, aku ragu. Apakah kamu merasakan getaran yang sama?

Oh cinta, engkaulah penyebab siangku menjadi malam dan malamku menjadi siang. Aku melayari mimpi di siang hari bersama kerlap-kerlip bayangmu dan aku berkelana di langit malam untuk mengukir wajahmu. Di gelas kopiku, ada tubuhmu menggeliat bersama uap panas rindu yang menanti untuk ditawarkan. Angin memiuh lembut dan kurasakan suara manjamu berbisik. Suara lembut rayuanmu. Sesuatu menjadi tegang dan kita tak ingin menyudahi pelayaran yang basah ini.

Engkaulah udara yang memenuhi setiap ruang-ruang bagi paru-paruku, oksigen bagi otak dan darahku. Engkaulah camilan renyah, sayur-mayur penuh bumbu penyedap, dan buah-buah surgawi yang menutrisi tubuhku agar nadiku yang berdenyut tetap mendaraskan namamu.

Baca juga  Bahasa Apa yang Paling Berbahaya?

Betul, engkau yang melukis warna hari-hariku dengan palet warna yang melebihi tujuh warna pelangi. Engkau umpama tik-tok jam dinding yang tak tahu bagaimana caranya melupakan waktu. Waktu untuk mengingatmu. Waktu untuk mengecup bibir dan sepasang matahari di dadamu.

Engkau matahari paling awal yang muncul pada pergantian pekat malam. Engkau segala sempurna yang dicintai seluruh makhluk bumi.

Sedangkan aku hanyalah embun di pucuk-pucuk rumput jalanan yang terbakar habis oleh panas api cintamu.

Telah kurebahkan segala harapan di dinding cintamu sebab aku tak kuasa menahan beban cinta yang berat ini seorang diri. Aku butuh tanganmu untuk mengikis habis kehampaan di lembah hidupku. Aku butuh senyum dari bibir mayangmu untuk menguatkan langkah demi langkah saat aku tak kuasa memikul penderitaan cinta. Aku butuh matamu untuk merekahkan bunga-bunga wangi di segala musim. Kita akan menari di tengah-tengahnya. Lalu, aku akan menyelipkan bunga mawar di telingamu. Dengarkan kesungguhanku.

Namun, Cinta, apakah tak kaulihat besar cintaku? Tak pernahkah kaurasakan getar dadaku? Segalanya akan kuberi sekuat tangan dan kakiku mengayuh bermil-mil jarak di antara kita. Seutuhnya untuk cintaku. Semuanya akan kuserahkan untukmu. Bahkan, napasku, bila kau perlu, ambillah dariku.

Apa perlu aku mengambil bintang-bintang untuk diselipkan di gerai rambutmu agar kau terlihat lebih cantik? Namun, kau tahu, itu adalah perbuatan sia-sia sebab wajahmu tempat rebah bintang-bintang. Nyala matamu adalah bintang di gulita malam.

Cinta darimu berangsur-angsur menipis sedangkan cintaku kian menebal. Cahaya matahari telah meredup. Kuncup-kuncup layu pada kering tanah retak. Kayu habis terbakar sia-sia. Setiap hari adalah rintihan dari hatiku yang memohon. Meskipun, kau tak pernah mengabulkannya.

Baca juga  Penglihatan

Aku memanglah pungguk yang merindukan bulan. Cinta tak pernah salah, tapi aku selalu benci jika kebetulan-kebetulan yang telah indah bersemayam, kini menyublim di udara dan tak meninggalkan kenangan selain luka.

Cintaku kauabaikan. Hatiku terkoyak senyummu yang tak pernah aku miliki. Aku gagal menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang suka lupa dan melupakan. Begitulah kamu.

Aku telah mengharapkan segalanya darimu, tetapi aku hanyalah seonggok tubuh yang kehilangan jiwa, kehilangan cinta. Kau robohkan istana hidupku. Kau campakkan kumbang yang hinggap di kelopakmu. Barangkali aku sendiri yang terlalu memuja-muji, hingga kau jenuh dan tidak tersisa sedikit pun rasa dalam hatimu.

Tidak pernah terbesit dalam benakku bahwa kamu sama seperti yang lainnya. Cintaku yang tak pernah kubangun semegah ini, kau luluhlantakkan demi cinta yang lain. Cintaku pergi membawa derita. Aku menderita. Cinta yang kukira selamanya, ternyata hanya sebatas fatamorgana. Kata-kata hanya metafora yang plin-plan. Cinta, oh Cinta.

Jika engkau adalah langit, izinkanlah aku menjadi burung yang akan terbang di awanmu, di hatimu yang bersembunyi di balik tabir mendung kelabu.

Jika kau adalah warna, biarkanlah aku menjadi merah. Aku akan menjadi merah darahmu sebab dengan begitu, aku bisa menguasai setiap inci tubuhmu. Aku akan menjadi merah senja di langitmu yang tak pernah menolak untuk kauratapi. Meski setelah itu, gelap dan langitmu seutuhnya milik rembulan.

Namun, tidak ada yang tersisa untukku. Tidak ada. Aku pun tak mau kauberi sisa cinta. Takdir menertawakanku. Takdir mengolok-olok kegagalanku. Takdir menghujat kepedihanku. Takdir mengutuk kemalanganku. Oh cinta, ia selalu kalah dengan pangkat dan harta.

Patutlah kaumemilihnya sebab apa-apa yang kauminta akan ia berikan kepadamu. Emas permata, istana, dan segala kemewahan dunia. Cinta tak melulu soal harta. Lalu, cinta tak bisa hidup tanpa harta. Kita kalah pada perkataan kita sendiri.

Baca juga  Langgam Umur 52

Aku tak bisa memberimu apa-apa, tetapi cintaku tidak ada duanya. Cintaku hanya satu, yaitu kamu. Ah, siapa yang mau makan cinta? Jika soal harta aku kalah, tetapi kesungguhanku seluas bumi dan lautan, sekuat hentakan sayap-sayap malaikat.

Lihatlah! Aku adalah gedung tua yang dikelilingi semak berduri. Lumut hijau gegas melumat keindahanku. Setiap inci tubuhku menjadi rapuh. Cat mengelupas. Warna memudar, menghitam, kemudian dilupakan. Aku adalah baju yang lupa aroma keringatmu. Baju yang lama kaugantung di lemari kaca, kemudian lapuk dimakan waktu.

Lihatlah! Ilalang meninggi. Tidak dapat lagi kupandangi wajahmu. Hari-hariku menolak warna selain kelabu. Malam menjadi pengap, segalanya dingin membatu. Kau adalah matahari yang terus kukejar, meskipun aku tahu, aku tidak akan pernah sampai.

Bunga mawar berguguran. Ranting-ranting patah. Langit lembap. Setiap waktu ia menangis sebab hanya itu keahliannya. Akulah seekor burung yang tak tahu bagaimana caranya terbang. Terbang untuk melupakanmu. Aku tak tahu ke mana harus pulang setelah kau renggut cinta dari hatiku.

Ah, kita semua sama saja. Kita saling cinta dan mencintai, tetapi saling benci dan membenci di lain waktu. Kita saling rayu-merayu dan kita bosan pula pada akhirnya. Kita saling memiliki dan melepaskan dengan mudahnya.

Setidaknya, aku bahagia meski kautinggalkan. Aku bahagia pernah memilikimu. Bodohnya aku yang masih dan akan selalu menantimu. ***

.

.

Firman Fadilah, pegiat literasi tinggal di Lampung.

.
Duka Dukana. Duka Dukana. Duka Dukana. Duka Dukana.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!