MENARIK membaca cerpen-cerpen (juga puisi, esai, dll) dalam ruangsastra.com, Pusat Dokumentasi Sastra Koran Indonesia yang dirilis awal 2021. Situs web (versi sebelumnya lakonhidup.com) ini memuat ulang karya yang telah dimuat koran (KR, Kompas, Republika, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, dll). Tentu ini membuat gembira (para penikmat sastra) karena kelak semua karya yang pernah dimuat koran akan tersedia di sini.
Bukan suatu kebetulan saya membaca cerpen-cerpen (2010-2021) di web itu. Sengaja saya pilih yang berkait dunia kemaritiman (nelayan, pantai, laut). Dari 21 yang saya baca—saya yakin lebih tetapi luput—saya mencatat, terbukti cerpenis kita punya perhatian besar terhadap isu terkini berkait paradigma pembangunan pasca-pertumbuhan. Diketahui, sejak modernitas meruah hingga ke puncak pertumbuhan (Era 4.0), disadari manusia terjebak alienasi diri. Karenanya muncul kritisisme, salah satunya environmental etics (etika lingkungan). Dan cerpenis kita, sadar atau tidak, telah turut andil di dalamnya. Di antaranya dengan mengambil laut sebagai piranti ekspresi estetisnya.
Sebagai piranti estetis, laut tak hanya dikemas normatif sebagai latar (place), tetapi juga ruang (space) lebih luas (abstrak). Ia menjadi arena pertarungan yang melahirkan kritisisme sosial, ekonomi, politik, gender, dll. Meski diracik melalui cerita surealis-supranatural—dan ini strategi simbolik pembatas dunia fiksi dan realitas—tetapi kritisisme muncul nyata ke permukaan. Misal, Triyanto Triwikromo dalam “Ikan Terbang Kufah” (2010). Walau kuburan di pantai digambarkan surealistik, kritisisme terhadap kejahatan sosial-ekonomi (kapitalis) terlihat jelas ketika orang-orang kota membangun resor (hotel/restoran) di tanjung (tanah yang menjorok ke laut), dan korbannya adalah warga dan lingkungannya.
Kejahatan ekonomi banyak diangkat cerpenis kita. Kejahatan melalui peristiwa perusahaan besar membangun ‘proyek besar’ di pantai tampak dalam “Pedang Hijau dari Laut” (Kiki S, 2019). Hal sama terlihat pada “Nelayan dari Pulau Rote Ndao” (Fanny J. Poyk, 2021) ketika mafia perdagangan laut (Jefry Koek) memperdaya dan ‘membunuh’ David, nelayan kecil Pulau Rote. Sementara “Nelayan Itu Masih Melaut” (M. Khambali, 2020) mengungkap hal serupa melalui cerita Aru Labok yang terpaksa harus melaut karena darat telah dilanda kemiskinan/kejahatan akibat kapitalis membuka perkebunan pala dan cengkih.
Cerpen “Kebun Binatang di Dasar Laut” (Lamia Putri D, 2018) mengungkap korban kapitalis melalui anak-anak darat yang dipaksa ke laut akibat pertarungan ekonomi di laut; mereka diculik untuk bekerja dan jika tidak berkenan kemudian dibunuh di kapal-kapal besar pencuri ikan. Pada prinsipnya, korban-korban kapitalis ini melanda orang-orang tak berdaya; baik tersurat maupun tidak, terlihat dalam “Dalam Lingkaran Laut” (J. Prian, 2017), “Pengelana Laut” (Linda Christanty, 2020), “Rumah Bawah Laut” (M Rofqil Bazikh, 2021), “Bau Laut” (Ratih Kumala, 2014), “Ikan-Ikan Tak Lagi Datang ke Rumahmu” (Farisal Sikumbang, 2020), dan “La Asidi Anak Laut” (D Abdul Rahman, 2019).
Berbedalah cerpen “Dari Laut” (Dadang Ari M, 2021). Cerpen ini lebih merepresentasikan pertarungan kekuasaan (politik) di Istana Palembang ketika Pangeran Sanggar Singgih memenjarakan putra mahkota (Pangeran Alamsyah) setelah Sultan Datuk Iskandar wafat. Berbeda pula dengan “Di Langit, Ayup Melaut” (Aveus Har, 2017). Cerpen ini lebih memperlihatkan laut sebagai ruang pertarungan spiritual-religius-magis. Dikisahkan, Ayup, ketika bersampan ke laut, ia merasa air laut naik dan terus naik sampai ke mega-mega, bahkan sampai ke bulan. Seperti biasa, ia menebar jaring dan mendapat banyak ikan. Merasa hasilnya cukup, Ayup bersampan, turun, dan pulang ke gubugnya, dan seperti biasa ia lalu mengajari anak-anak mengaji di rumahnya.
Suatu saat, ia melaut lagi, naik ke mega-mega, menyentuh bulan, dan tiba-tiba sampan dan pukatnya masuk ke mulut paus. Ia dibawa ke suatu tempat, dan tidak diduga di tempat itu berjumpa, bahkan bercinta, dengan Maleha, istrinya yang sudah almarhum. Setelah itu, berkat kebaikan paus, ia pulang. Namun, sampai di darat, ternyata kampung hancur akibat diterjang gelombang. Banyak orang heran kenapa Ayup tenang mengayuh sampan dan membawa banyak ikan. Ketika ditanya, Ayup menjawab semua itu berkat bantuan paus, bahkan ia mengatakan di langit baru ketemu istrinya. Jadi, jelas di dalam cerpen ini, meski normatif-dogmatik, laut diekspresikan sebagai ruang pertarungan antara kuasa manusia dan kuasa Tuhan.
Representasi laut sebagai ruang pertarungan batin wanita (ibu) yang ingin ‘menyatu dan menjadi laut’ akibat kehilangan orang-orang yang dicintai (anak, suami) sehingga darat bukan lagi tempat yang membahagiakan, tampak pada “Tentang Kita dan Laut” (Yetty KA., 2019) dan “Mengantar Ibu ke Laut” (Hendy Pratama, 2019). Sementara, cerpen “Balada Si Pelaut” (Ilyas Ibrahim H, 2019) merepresentasikan pertarungan batin istri yang sudah lima kali lebaran hanya bisa bertemu suami (nahkoda kapal) melalui video call; dan cerpen “Laut Tak Meminjam, Ia Mencuri” (Sasti Gotama, 2020) menjadikan laut sebagai ruang pertarungan batin istri yang rela pakaiannya, bahkan suaminya, dipinjam dan dicuri oleh pembantu.
Berbeda lagi, cerpen “Jiwa-Jiwa Laut” (Livia Hilda, 2018), “Ziarah Laut Selatan” (Risda Nur Widia, 2019), dan “Perahu Penjemput Arwah” (Risda Nur Widia, Kompas, 2021) lebih memperlihatkan laut sebagai ruang pertemuan antara dua dunia (hidup-mati; raga-jiwa). Cerpen “Jiwa-Jiwa Laut” mempertemukan ruh dengan peziarah melalui asap dupa di pantai; “Ziarah Laut Selatan” mempertemukan ‘aku’ dengan ruh ibu, bapak, dan kakek melalui taburan bunga di laut (Parangtritis); dan “Perahu Penjemput Arwah” mempertemukan jiwa ‘aku’ dan istri melalui kereta yang tiba-tiba datang dari laut. Sementara, cerpen “Menjahit Gelombang” (Mezra E. Pellondou, 2015) lebih menjadikan laut sebagai ruang pertarungan cinta kawan masa kecil di atas kapal, sekaligus ruang penghapusan dendam akibat perseteruan orang tua mereka. Tampak bahwa secara kreatif pengarang menyudahi prahara itu hanya dengan ciuman.
Akhirnya, sekali lagi, cerpen-cerpen tersebut menunjukkan, di mata beberapa cerpenis Indonesia, laut tak sekadar dilihat sebagai piranti ekspresi tempat (place), tetapi juga ruang (space) pertarungan ideologi yang kritis terhadap persoalan sosial, ekonomi (kapital), politik (kekuasaan), spiritual-religius-magis, gender, relasi dua dunia, dsb. Langsung atau tidak, tendensi bagaimana ekosistem laut harus dijauhkan dari sampah-sampah kapitalis terasa nyata dalam cerpen-cerpen tersebut. Maka tak salah jika dikatakan sastra kita peduli pada soal environmental ethics. Karena menuju ke sana, layak jika sastra kita menjadi bagian penting dari sastra dunia. ***
*) Tirto Suwondo, peminat sastra, bergiat di Balai Bahasa DIY.
Leave a Reply