Cerpen Atta Verin (Koran Tempo, 25 September 2022)
BAPAK percaya feng shui, Ibu tidak. Ibu tidak yakin warna cat, letak barang, arah bukaan pintu, dan posisi jendela bisa mempengaruhi manusia yang tinggal di dalamnya. Maka, Bapak memilih pindah ke kamar di bagian belakang rumah ketika Ibu menyuruh tukang bangunan membuat jendela baru di kamar tidur mereka. Masalahnya, Ibu memaksa membuat jendela yang menghadap ke arah barat setelah malamnya Bapak menceritakan kepada Ibu tentang bagusnya feng shui kamar tidur mereka jika jendelanya menghadap ke utara.
“Kenapa Ibu ingin jendelanya menghadap ke barat? Memangnya kenapa kalau menghadap ke utara?” tanyaku penasaran.
“Enggak. Ibu cuma tidak ingin percaya pada apa yang bapakmu percayai. Itu musyrik!” tegas Ibu.
“Jadi, sebenarnya, kalaupun jendelanya dibuat menghadap ke utara seperti yang Bapak mau, Ibu tidak keberatan, kan?”
Ibu tidak menjawab, hanya melengos dan mendengus, lalu pergi meninggalkanku yang keheranan sendirian.
Sejak keputusan sepihak itu, Bapak menata kamar belakang yang asalnya hanya menjadi tempat salat menjadi kamar tidur pribadinya. Ranjang bekas masa remajaku yang tadinya sudah akan dihibahkan kepada sepupu Ibu dipakai Bapak untuk ranjangnya. Ada rak bukuku yang tadinya sudah digunakan sebagai rak tanaman kaktus, kini Bapak bersihkan dan pindahkan ke kamar itu untuk memajang buku-buku bacaannya serta sejumlah hiasan kristal mungil oleh-oleh dari teman dan kerabat. Bapak juga menempatkan TV dan tape recorder kecil di sudut dekat ranjangnya. Lalu, sebuah bean bag ditaruh di depan TV. Kamar itu jadi tampak nyaman dan seperti kamar kos seorang bujangan.
Aku sedih melihatnya. Namun Ibu berkali-kali mengatakan betapa kekanak-kanakannya Bapak, dan aksi Bapak pindah kamar itu justru menyenangkan hatinya.
“Jadi, sekarang tidak apa-apa Ibu membawa masuk mesin jahit ke dalam kamar tidur. Dan ruangannya jadi cukup luas untuk menyimpan alat olahraga kaki yang kamu belikan dulu itu,” ujar Ibu menjawab kegundahanku.
Aku menghela napas dalam-dalam. Memangnya tidak bisakah salah satu dari mereka mengalah dan mereka berdua tetap tinggal sekamar?
Bapak berusaha memahami kegundahanku dan berkata bahwa tidak adil untuk Bapak atau Ibu jika mereka memaksakan diri tetap sekamar hanya demi kenyamananku. Aku termenung. Bapak betul juga.
Lalu, perubahan itu terjadi semakin cepat. Bapak mempercantik kamarnya dengan kertas dinding bermotif daun berwarna jingga. Beliau juga membeli seperangkat alat kebugaran ringan dan barbel. Pada pagi hari sepulang acara rutin di masjid, Bapak menyetel degung dan cianjuran, musik kesayangannya. Saat kuintip lewat celah pintu yang sedikit terbuka, Bapak sedang berolahraga ringan angkat barbel sambil bersenandung lirih mengikuti alunan musik.
Sementara itu, Ibu semakin memenuhi kamarnya dengan barang-barang kesukaannya: mesin jahit, keranjang kain perca, lemari baru tempat koleksi sarung bantal, dan rak handuk dari kuningan. Melihat Bapak memajang koleksi novelnya, Ibu pun membeli rak buku kecil dari kayu berwarna kuning terang yang diisi koleksi buku Yasin dan Al-Quran yang jumlahnya memang tak sedikit.
Aku sempat berpikir, barangkali saja pisah kamar ini sesungguhnya bisa menjadi perubahan yang baik untuk mereka berdua. Ada semacam ruang pribadi yang memberi mereka kebebasan. Seperti anak-anakku yang berubah sikap setelah masing-masing memiliki kamar sendiri. Hingga suatu hari Bapak mendapatkan hadiah uang dalam jumlah yang lumayan banyak sebagai bonus kesetiaannya bekerja sebagai staf pembukuan sebuah perusahaan logistik milik pakdeku. Bapak tiba-tiba berkata di meja makan bahwa dia akan menggunakan uang dari Pakde untuk belajar yoga di Bali selama tiga bulan. Ibu terkekeh-kekeh mendengarnya hingga berurai air mata.
Tetapi Bapak ternyata serius. Dia meminta bantuanku untuk mencarikan penginapan yang murah untuk tinggal di Ubud selama tiga bulan. Bapak juga mengoleksi banyak kepingan CD tentang bagaimana belajar yoga. Melihat antusiasme Bapak, Ibu tampak gusar dan memperlihatkan kekesalannya dengan membanting pintu kamarnya.
Kepalaku dipenuhi pertanyaan dan kekhawatiran. Mengapa Bapak berkeras ingin ke Bali untuk belajar yoga sampai tiga bulan? Tetapi, tidak bisa kumungkiri, mereka berdua berhak menentukan keinginan dan prioritas mereka sendiri. Anak tidak berhak mengatur apa yang harus dan tidak dilakukan oleh orang tuanya. Aku tak ingin ikut campur lebih dalam pada keputusan Bapak. Apalagi Bapak tampak yakin dan bahagia dengan keputusannya. Namun, saat melihat raut wajah kesal Ibu, aku merasa frustrasi.
Bapak membeli dua koper baru untuk perjalanannya ke Bali.
“Tidak cukup kalau cuma satu, Trid! Aku kan di sana tiga bulan!” kata Bapak menjawab pertanyaanku tentang koper barunya. Suaranya terdengar sangat bersemangat. Refleks aku mencari Ibu untuk melihat reaksinya. Tapi Ibu tidak terlihat di mana-mana. Pintu kamarnya terkunci.
“Mbakyu pingsan di dalam kamar!” teriak Tante Darni, adik Bapak yang sering datang ke rumah Ibu untuk membantu menyetrika baju. Rupanya ia mengintip melalui daun jendela kamar Ibu yang terbuka. Bapak lalu mendobrak pintu kamar Ibu yang terkunci dari dalam.
Ibu tergeletak tak bergerak di atas lantai di samping ranjangnya. Aku dan Bapak bergegas memesan mobil untuk membawa Ibu ke rumah sakit.
Ibu pingsan karena apa? Tadi pagi Ibu terlihat masih segar bugar menawar singkong dan pisang dari pedagang keliling langganannya. Siang tadi aku sempat melihat Ibu mengobrol riang dengan pengontrak di samping rumah yang senang memperdaya Ibu dengan barang-barang dagangannya yang tak berguna. Aku juga sempat melihat Ibu menonton sinetron kesukaannya sambil makan siang beberapa saat sebelum Bapak pulang dari membeli koper baru.
“Tadi ibumu memasak tumis!” ujar Bapak di dalam mobil menuju rumah sakit. Aku dan Bapak tahu betul bahwa Ibu hanya menumis kalau hatinya sedang gembira. Lalu mengapa Ibu pingsan?
Bapak duduk di samping sopir. Aku duduk di belakang bersama Ibu yang kepalanya ada di pangkuanku.
“Ibu kenapa?” tanyaku cemas ketika Ibu telah siuman. Mata ibu mengerjap-ngerjap. Lalu muncul bulir air mata di sudut matanya. Ibu tampak sedih dan sakit hati.
Sesampai di rumah sakit, Ibu diperiksa dokter. Bapak tampak gundah. Ibu ternyata harus dirawat inap. Dokter khawatir akan keluhan Ibu yang merasa dadanya sakit. Kami jadi waswas Ibu terkena sakit jantung.
Pada hari ketiga di rumah sakit, Ibu tampak sudah membaik. Tetapi Ibu masih bersikap tak ramah setiap kali ditunggui Bapak. Dokter sampai bertanya kepadaku apakah Ibu dan Bapak sedang punya masalah. Aku tidak menjawabnya.
“Ibu sebenarnya kenapa? Ada apa sama Bapak?” tanyaku saat menyuapinya makan siang.
“Ibu sakit hati. Ibu tahu apa yang Bapakmu inginkan. Dia ingin daun jendelanya menghadap ke utara agar dia bisa mengintip janda di seberang rumah!” kata Ibu.
“Astaga, Bu! Masak, Ibu bisa menuduh begitu! Janda di seberang rumah itu kan sudah sangat sepuh dan senang berjemur di lotengnya karena anjuran dokter untuk punggungnya yang sudah bongkok. Masak, Ibu cemburu sama dia!” kataku setengah terkejut dan setengah geli. Bagaimana mungkin Ibu bisa mencurigai Bapak menyukai seorang nenek tua berusia 75 tahun yang tinggal di seberang rumah kami?
“Tapi dia janda! Mungkin karena Ibu enggak mengizinkan jendelanya dibuat menghadap loteng itu, sekarang bapakmu mau membawa janda itu ke Bali selama tiga bulan!” sahut Ibu kesal.
Aku tak tega menertawakan Ibuku sendiri, tapi sejujurnya aku setengah mati menahan tawa. Ibu benar-benar cemburu buta.
Seminggu kemudian, dokter membolehkan Ibu pulang. Bapak dan aku menjemput Ibu ke rumah sakit. Dalam perjalanan pulang di dalam taksi, Ibu masih tak mau berbicara kepada Bapak. Aku ingin sekali menengahi salah paham kedua orang tuaku dengan membuat mereka bercakap-cakap lagi.
“Bapak jadi ke Bali buat kursus yoga?” tanyaku. Ibu langsung terlihat tegang mendengar pertanyaanku itu.
“Enggak. Sudah tidak perlu lagi!” jawab Bapak.
“Kenapa?” Ibu menyela.
“Kamu biasanya kalau aku mau pergi, suka latah mau pergi juga. Kok, sudah tahu aku mau ke Bali kamu tidak punya rencana jalan-jalan juga?” Bapak balik bertanya. Aku dan Ibu saling pandang karena bingung.
Melihat kebingungan kami, Bapak melanjutkan kata-katanya, “Aku bikin rak buku, kamu beli rak buku. Aku beli barbel, kamu beli alat olahraga. Aku beli TV layar datar untuk di kamar, kamu ikutan beli. Kenapa aku bilang mau ke Bali tiga bulan kamu tidak latah juga?”
Ibu menegakkan tubuhnya dengan emosional, tidak tahu harus menyikapi apa perkataan Bapak. “Jadi, kamu bilang mau pergi ke Bali agar aku juga pergi?” tanya Ibu dengan nada keheranan.
Bapak mengangguk.
“Kamu mau aku pergi?” desak Ibu dengan suara lebih tinggi karena menahan marah.
“Sudah tidak perlu lagi. Sudah selesai….” sahut Bapak sambil tersenyum.
Sesampai di rumah, terjawab sudah kebingungan kami berdua. Bapak membuat jendela baru yang menghadap ke utara di kamar tidur Ibu. Bapak pasti melakukannya saat Ibu dirawat di rumah sakit. Melihat di kamarnya jadi ada dua jendela dan salah satunya menghadap ke utara, Ibu tampak hendak mengamuk, merasa kecurigaannya terbukti.
Namun Bapak bergegas menunjukkan kepada Ibu bahwa daun jendela yang ia buat justru menutup pandangan ke arah loteng ibu sepuh di seberang rumah kami. Jika berdiri di balik jendela baru itu, Ibu akan langsung melihat kumpulan bunga anggrek yang Bapak susun begitu rupa di sudut pagar rumah menghadap ke kamar Ibu. ***
.
.
Atta Verin menulis cerpen, novel, dan puisi. Sejumlah cerpen dan puisinya telah diterbitkan dalam antologi bersama. Dia pernah bekerja sebagai jurnalis di Bandung dan kini tinggal di Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah.
.
Daun Jendela yang Menghadap ke Utara. Daun Jendela yang Menghadap ke Utara. Daun Jendela yang Menghadap ke Utara.
Leave a Reply