Cerpen Gagah Pranaja Sirat (Solopos, 23-24 Agustus 2025)
1. Pembukaan
Aku mengenalnya. Kami mengenalnya. Tak ada satu pun orang di kampung ini yang tidak mengenal Usaip. Nama aslinya Barman Sulapadri. Tinggal di dekat teluk, berbatasan dengan perairan. Rumah panggungnya setinggi tiga meter. Pekerjaannya mengepul teripang, berupa-rupa macam. Ada teripang nabi, kapok, gamat, atau yang lebih sering didapatkannya teripang kacang.
Sama seperti kami, Barman Sulapadri tiap hari berangkat membelah lautan, menggunakan perahunya, lalu menyelam. Menggunakan kompresor ban, dipasangi timer, tiga puluh menit.
Biasanya, selepas itu, Barman Sulapadri ditarik pakai selang, diangkat ke permukaan. Keluar-keluar, hidungnya berdarah. Dari telinga dan mulutnya, keluarlah cairan yang berwarna merah dan kental itu. Baunya amis. Itu sudah menjadi hal yang biasa di kampung ini. Orang-orang menyebutnya, kalau selepas menyelam tidak berdarah, tidak akan lulus tes.
Orang-orang tua juga sudah mencobanya sejak lama. Penyelam sejati haruslah mengorbankan darahnya terlebih dahulu untuk diperas habis oleh laut.
Berbeda seratus persen dari kami, Barman Sulapadri dikenal khayalak karena kebijaksanaannya. Maksudku, bukan kebijakan yang pernah dibuat olehnya, tapi karakter bijak dan berwibawa yang telah tertanam di dalam dirinya.
Barman Sulapadri tidak pernah bersekolah. Sama sekali tidak. Namun, entah mengapa, seperti mukjizat, Barman Sulapadri bisa berpidato.
Satu-satunya hal yang tidak wajar bagi orang-orang seperti kami.
***
2. Isi
Mulanya Barman berpidato pada malam itu, ketika beberapa dari kami pulang selepas melaut dan mendaratkan perahu. Barman datang serta-merta. Laki-laki itu mendengus-dengus tubuh perahu dan mengusap-ngusapnya seperti anjing lagi berahi.
Joko, Sukan, lalu Marule yang baru menginjak permukaan pantai, termangu. Tidak biasanya Barman begini. Dulu, sebelum Barman menunjukkan kecakapannya, dia terbilang orang yang sangat diam. Rumput lautnya dicuri pun, Barman tak berkutik.
Hingga pada malam itu, di perahu bantuan mereka: Joko, Sukan, lalu Marule – Barman melompat – mengobrak-abrik isi perahu. Melempar pancingan mereka. Membuka mesin pendinginnya.
Joko yang memegang lakhe gurita-nya di tangan lekas menggenggamnya kuat-kuat. Tidak mau tersentuh oleh Barman. Takut rusak. Alat penangkap gurita itu baru dibikin istrinya kemarin. Jangan sampai di kepalanya ada benjolan apa pun hari ini.
“Nah! Ketemu!” serunya. Barman melompat kembali, keluar perahu. Ditatapnya lamat-lamat ketiga orang itu, ditantangnya mata mereka satu per satu. Mesin pendinginnya masih dalam posisi terbuka.
“Lihat!” Barman mengacung-acungkan sesuatu yang ditemukannya. “Untuk apa kalian menangkap makhluk ini?”
Joko menelan ludah. Diikuti pula oleh ketiga temannya.
“Gurita yang masih kecil tidak bakal membuat perut kalian kenyang, tahu! Yang ada, hanyalah membuat populasi hewan ini semakin sedikit! Semakin habis! Tahu punah? Sekali hewan ini punah, laut tidak bakal ada gunanya lagi untuk kita.”
Tiga orang itu menatap Barman dengan mata kosong. Marule mengupil. “Kalian akan kehilangan pekerjaan!”
Begitu kata pekerjaan disebut, tiga sekawan itu seperti habis disiram pakai air panas sama istrinya ketika azan Subuh terdengar. Matanya melotot. Tubuhnya bergelinjang-gelinjang. “Pekerjaan!?”
“Hilang!?”
Dan, dari situlah, Barman melakukan aksi-aksi lainnya. Mulai dari berdiri di atas perahunya, menghadap para nelayan yang sedang mengecek mesin-mesinnya, lalu bercakap-cakap tentang bahaya membuang oli bekas ke perairan, menangkap ikan menggunakan ranjau, atau memancing gurita ketika bulan Juni. Mengapa di melakukannya? Sebab, pada bulan Juni, musim gurita kawin dan bertelur. Hewan bersulur itu bakal bersembunyi di batu karang dan jika ada yang menangkapnya, bagaimana nasib telur mereka?
Hal-hal itulah yang membuat kami heran. Ditambah, selain berkata semacam itu, Barman juga bercakap-cakap tentang perubahan iklim, ekosistem air laut, biota akuatik, dan tetek-bengek lain yang tidak kami mengerti. Padahal, sebelumnya, tidak ada yang mempermasalahkan itu, kecuali aparat yang suka berpatroli. Namun, baru kali ini, kami lebih takut jika Barman yang melakukan patroli.
Jujur, sebagai seseorang yang selalu bersinggungan dengan laut atau lingkungan, kami tidak pernah membicarakannya. Apalagi berusaha melindunginya.
“Laut telah bercerita padaku!” Barman berteriak pada suatu pagi. “Banyak sekali yang telah laut tanggung akibat dari perbuatan manusia. Mungkin di darat kita tidak merasakan dampak yang begitu banyak. Namun, jika kalian ingin mengetahui bagaimana kualitas hidup kita sebenarnya, lihatlah laur. Laut adalah cermin! Segala yang kita embuskan, mengambang-ambang, mengalir ke sana. Bayangan kita sebagai manusia tercermin di dalam laut!”
“Bukankah laut kita indah-indah dan cantik?” Joko menyahut.
“Kepala bapak kau!” Barman melompat dari perahunya. Menyeret Joko hingga ke tepi pantai. Kaki mereka berdua lalu terhantam-hantam oleh air yang pasang.
“Kau sebut itu cantik?” Barman menunjuk arah utara. Di sana, berbelas-belas meter jaraknya, Joko melihat tebaran sampah yang mengerubungi permukaan air, seperti membentuk sebuah pulau kecil. Sampah-sampah itu juga memeluk akar-akar pohon bakau. Membelitnya seperti delapan sulur gurita lagi menjerat mangsanya.
Barman menjitak kepalanya. “Hanya kita yang bisa melihat pemandangan ini. Orang-orang darat kini tidak lagi terlalu peduli soal laut. Emisi yang mereka keluarkan. Polusi yang mereka timbulkan, janganlah ditambah dengan perilaku keji kita yang berada di dalam tubuhnya. Laut telah bercerita padaku…”
Tapi, bagaimana caranya Barman bisa tahu kalau laut sedang bercerita padanya? Aku juga tidak tahu. Dan, aku sudah berusaha mencari tahu, tapi tetap saja aku tidak tahu. Sebab, ketika aku bertanya padanya perihal itu, Barman hanya menunjukkan sebuah buku. Namun, tololnya, dia mengira kalau aku bisa membaca. Emmm, siapa di sini yang bisa membaca? Macam bukan orang sini saja.
Masalah kompresor ban itu pun, meski kami sudah tutup-tutupi supaya Barman tidak membahasnya, tetap pada akhirnya ketahuan juga. Barman melarangnya. Meski kenangannya bersama kompresor ban itu sudah cukup banyak, tapi bukanlah Barman jika karakternya bisa berubah dalam semalam karena ‘perkataan laut’.
Kompresor ban itu dia serahkan kepada aparat. Tak ada lagi pemuda di kampung kami yang berdarah-darah ketika menyelam. Para tetua tampaknya tidak begitu suka dengan tindakan Barman. Namun, apa boleh buat? Perkataan Barman ada benarnya juga.
Tahu-tahu, kecakapannya dalam berpidato dan pengetahuannya itu mulai dilirik orang-orang luar. Barman diundang ke televisi. Dijadikan pembicara. Video-video Barman viral, terutama ketika laut sedang didera berbagai masalah. Entah itu limbah proyek atau soal pagar-pagar yang mengikis gaji mata pencaharian kami.
Seperti seorang pengepul teripang sejati, Barman menyelami semua masalah itu. Mengambilnya. Memasukkannya dalam mesin pendingin. Lalu, membersihkan, merebus, menggarami, dan menjemurnya beberapa minggu. Butuh waktu lama agar masalah-masalah itu diolah menjadi sebuah solusi oleh Barman. Dan, kami sangat senang akan solusinya.
Barman telah menyelamatkan kampung kami lewat pidatonya. Pada orang-orang luar yang sering mewawancarainya, ketertarikannya untuk menjadi seorang orator selalu dia ceritakan dengan satu kalimat pembuka yang sama: “Bahwa laut telah bercerita padaku…”
Dan, setiap kali mendengar kalimat itu, aku jadi terbayang-bayang soal buku yang pernah ditunjukkan olehnya. Namun, lagi dan lagi, aku tidak bisa membaca! Maka dari itu, aku meminta Barman mengajariku cara membaca. Termasuk, yang paling penting, cara berpidato.
Aku dan Barman terbilang mempunyai hubungan cukup dekat. Orang tuaku dulu adalah orang yang sering menemaninya menjaga mesin kompresor ketika dia menyelam. Berjalan-jalan di dasar laut. Mencari teripang.
“Untuk membuat pidato kau harus pahami tiga struktur ini,” katanya. “Pembukaan, isi, dan penutup. Masing-masing tidak usah terlalu baku. Nanti malam, datanglah ke pantai. Minta izinlah ke orang tuamu. Kita akan berpidato di sana sembari mencari ikan-ikan. Di laut, banyak sekali kata atau suara yang berserakan. Terbuang dan mengalir dari kota.”
Aku mengangguk-angguk. Mencoba memahami apa yang dikatakannya. Oh, betapa laut telah mengubah Barman sedemikian rupa. Betapa laut menyimpan banyak rahasia yang ternyata selama ini tidak kami ketahui.
Di permukaan air yang maha dalam dan gelap itu, aku yakin laut bukan hanya tempat tinggal untuk para ikan. Namun, juga tempat tinggal untuk para jiwa dan suara yang telah lepas dari pemiliknya: jiwa dan suara manusia yang perlahan-lahan menggumpal menjadi limbah. Mengotori perairan kami. Ah, sekarang perkataanku mirip seperti pidato Barman!
Malam itu, kami mendorong perahu. Lampu petromak yang biasanya terpasang di haluan kapal kulihat nihil keberadaannya. Padahal, lampu itu adalah kunci jika ikan-ikan mau mendekat.
Namun, nelayan-nelayan sudah tidak lagi memakai lampu petromak. Jadilah Barman memakai headlamp-nya dan memberikannya satu padaku. Lampu yang ditaruh di kepala itu cukup membuatku terganggu. Aku tidak bisa leluasa menggerakkan kepalaku mencari-cari target tangkapan.
Kami berangkat ke tengah laut. Dini hari, embusan angin menusuk sekujur kulit dan tulangku, perahu berhenti. Mesin dimatikan. Barman beranjak dari buritan menuju haluan. Mendekati permukaan air. Cahaya dari headlamp-nya tampak menembus gelapnya lautan. Bermeter-meter dalamnya.
“Aku mendapat ilhamku di sini.” Barman menyentuh permukaan air laut menggunakan telunjuknya. Terdengar suara kepakan burung camar.
“Mengapa burung itu masih aktif pada malam hari?” tanyaku.
“Di laut, kau mendapatkan semua yang tercurah dari langit. Semua yang mengalir dari darat. Apa adanya,” demikian jawab Barman.
“Apa adanya?”
Barman menepuk-nepuk permukaan air. Membuat suara berkecipak. “Apa adanya….”
Oh, aku harus membuat permintaan kalau demikian. Apakah laut sama seperti bintang? Entahlah. Aku membuat pusaran kecil di permukaan air itu. Kutatap lamat-lamat. Cahaya lampu kepalaku menembus lautan. Menjelajahinya. Menggaruk-garuk dasar laut. Mengubek-ubek apa yang sedang aku cari. Tapi, apa yang sebenarnya kucari? Ah, aku tahu. Aku hanya ingin seperti Barman.
Aku hanya ingin laut bercerita padaku tentang kisah-kisahnya.
Beberapa detik kemudian, aku seperti melihat sesuatu dari dalam laut. Cahayaku yang menangkap sosok itu. Seolah-olah seperti pertanyaanku dijawab, muncul sebuah pusaran kecil di tempatku berada. Pusaran itu lama-kelamaan menjadi besar. Menjadi semakin deras.
Barman tercenung. Alisnya mengerut-ngerut. Lalu, dari pusaran itu, keluarlah sebuah sosok yang melompat begitu jauhnya. Mengarah padaku. Sosok itu adalah todak. Ikan itu terbang tinggi sekali dan meruncingkan rahangnya. Menuju dada kiriku. Menusukku.
Dan bukanlah Barman jika karakternya bisa berubah dalam semalam karena perkataan laut.
***
3. Penutup
Dan pada hari itulah, Usaip memutuskan untuk mengubah materi pidatonya menjadi pisau. Samar-samar, kudengar suara lantangnya dari kejauhan:
“Bahwa selain bercerita, laut juga bisa menikam….” ***
.
.
Gagah Pranaja Sirat, lahir dan menetap di Bogor pada 12 Desember 2007. Sekarang, menempuh pendidikan di Boash Ashokal Hajar. Di satu tahun awal menulisnya, dia sudah mendapat lebih dari 50 juara dan prestasi dalam lomba kepenulisan fiksi serta nonfiksi. Baru-baru ini, dia telah memenangkan dua cabang lomba sekaligus dengan sama-sama juara pertama pada cabang lomba cerpen dan cabang lomba puisi dalam rangka Festival Kenduri Sastra Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Cerpennya “Mondar-Mandir” memenangi juara kedua pada Bulan Bahasa Universitas Gadjah Mada. Profil prestasi tentang dirinya sudah diterbitkan dalam Majalah Inspiratif oleh Duta Inovatif Indonesia dan Youth Idea Community. Lihat dia lebih lanjut di instagram: @gahpraja.
.
.
Usaip Berpidato tentang Pisau. Usaip Berpidato tentang Pisau. Usaip Berpidato tentang Pisau. Usaip Berpidato tentang Pisau. Usaip Berpidato tentang Pisau. Usaip Berpidato tentang Pisau. Usaip Berpidato tentang Pisau. Usaip Berpidato tentang Pisau.
![]()
Leave a Reply