Oleh Aris Setiawan (Kedaulatan Rakyat, 04 September 2020)
FILM pendek Tilik (2018) karya sutradara Wahyu Agung Prasetyo beberapa waktu belakangan menjadi trending topic di pelbagai media sosial. Sekumpulan ibu-ibu kampung hendak menjenguk (tilik) Bu Lurah yang sedang dirawat di rumah sakit. Film ini menyuguhkan realitas jamak yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yakni menggosip atau rasan-rasan. Tetapi, terlepas dari itu, sisi lain yang menarik untuk dibaca adalah bagaimana setting atau lokasi film itu dibuat, bak truk. Selama ini bak truk bukan sekadar wadah, tempat di mana benda-benda diangkut. Sebelum film Tilik menjadi perbincangan, bak truk laksana panggung pertunjukan yang memberi serangkaian makna dan nilai baru dalam kehidupan lewat tulisan-tulisan, grafiti, atau gambar. Sudaryanto (2019) menjelaskan bahwa tulisan dan gambar di bak truk terlihat sederhana namun sejatinya memiliki tingkat pemaknaan yang kompleks dan berlapis. Kesederhanaan meliputi pilihan kata dan kalimat, mudah dikenali dan dipahami, tetapi mampu membuat pembacanya tersenyum bahkan tertawa terpingkal-pingkal. Seolah ada sengatan kesadaran yang lain. Hingga kini, saat di jalan raya, dengan mudah dapat kita jumpai tulisan dan gambar-gambar baru yang menggoda. Membuat perjalanan terasa menyenangkan dan tak membosankan.
Bak Truk
Bak truk lazim digunakan untuk mengangkut barang dan hewan, kemudian diisi oleh sekumpulan ibu-ibu. Yang terjadi bukan sekadar deretan tubuh, tetapi memainkan wacana baru berupa narasi tentang kehidupan manusianya. Sebagaimana panggung pertunjukan, bak truk itu memuat pelbagai macam ide kreatif manusia yang “berpentas” di atasnya. Ia menjadi sebentuk dunia kecil yang baru. Apabila di panggung pertunjukan ada lakon yang berpentas, maka di film Tilik ada bibir yang memainkan perannya. Gunjingan khas masyarakat kita. Film Tilik menyajikan peristiwa lain bahwa menggosip menemukan urgensi puncaknya saat di atas bak truk. Ibu-ibu itu “terpenjara” oleh ruang, dalam situasi saat truk terus bergerak. Menggunjing adalah peristiwa mutlak yang hanya bisa dilakukan agar eksistensi sebagai manusia Indonesia tak lekas luntur. Bayangkan, betapa menjemukannya perjalanan itu tanpa gunjingan. Betapa capeknya tilik (menjenguk) Bu Lurah tanpa menggosip. Dengan kata lain, rasan-rasan tidak hadir secara spasial.
Bak truk merobohkan kebekuan yang tak mungkin dapat dicapai bila menaiki bus misalnya. Di “panggung” bak truk itu penonton merasakan dualisme persoalan yang begitu kompleks. Pada satu sisi, dengan kemauan dan keiklasan menaiki bak truk, mereka mempertontonkan satu ikatan emosional yang erat sebagai warga kampung berdalih ‘keguyuban’. Sebuah peristiwa yang selama ini jarang kita jumpai. Saat rumah-rumah dibangun dengan pagar tinggi menjulang. Mempresentasikan posisi; siapa aku dan kamu, dalam dan luar, aman dan berbahaya. Individualisme dan tak saling mengenal tetangga kanan kiri adalah kelaziman baru di zaman ini. Tetapi hadirnya mereka di atas bak truk untuk tilik Bu Lurah mendekonstruksi semua itu. Bayangkan, bak truk yang selama ini identik memuat sapi, kambing, kerbau, dan sejenisnya, diisi ibuibu dengan suka cita.
Dalam perjalanan tilik, polisi menghentikan truk yang disopiri oleh Gotrek. Hendak menilang karena aturan tak mengizinkan truk mengangkut manusia. Tapi yang terjadi kemudian sudah dapat ditebak. Dengan kompaknya ibu-ibu mengomeli polisi. Lewat kekuatan omelan itu mereka lolos dari surat tilang. Hal ini mengingatkan kita tentang satire jamak perilaku emak-emak dewasa ini, sen kiri belok kanan. Tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia ibu-ibu saat mereka bertemu. Pada sisi yang lain, hadir secara bersamaan di atas bak truk memainkan lakon baru berupa lahirnya narasi kebenaran absurd yang sengaja diproduksi di selingkar kehidupan mereka. Menggosip tidak sekadar membicarakan seseorang, tapi pada saat bersamaan berupaya merajut ‘kenyataan subjektif’ yang diyakini kebenarannya. Apabila adagium kuno menyatakan seeing is believing atau apa yang kita lihat adalah yang kita percayai, maka di atas bak truk itu berubah menjadi; apa yang kita gosipkan adalah apa yang kita percayai.
Satu demi satu ibu-ibu itu (terutama diawali oleh Bu Tejo) merangkai ‘kenyataan’ bahwa Dian (objek yang digosipkan) bukanlah wanita baik-baik. Bukti-bukti yang disodorkan masih berupa dugaan-dugaan yang tak kalah problematis (misal mengetahui Dian jalan dengan om-om di mal). Dugaan itu berkembang menjadi keyakinan, Dian sebagai perempuan nakal. Dari semua ibu-ibu yang ada, hanya satu yang tak terpengaruh (Yu Ning) dan berupaya mendebat bahwa tanpa bukti konkret semua itu hanya hoaks. Tapi apa mau dikata, gosip atau bahkan hoaks akan menjadi kebenaran bila diyakini secara berjemaah. Mereka hanya akan mengumpulkan data atau peristiwa yang ingin mereka kumpulkan untuk mendukung atau menguatkan asumsinya. Sementara data peristiwa yang berbeda-berlainan (walaupun diketahui) akan coba dihilangkan atau tak disuarakan. Bukankah demikian pula yang terjadi dalam masyarakat kita? Kita meyakini apa-apa yang hanya ingin kita yakini. Dengan demikian, konstruksi wacana kebenaran di atas bak truk itu mencerminkan peristiwa serupa di jagat sosial yang lebih luas.
Selama hampir 30 menit film Tilik menyajikan adegan di atas bak truk. Tapi tak lekas menjadi bosan, sebagaimana saat kita membaca tulisan dan gambar-gambar lucu. Fenomena di bak truk menjadi potret dari manusia Indonesia sesesungguhnya. Oleh karena itu, selama hal itu masih eksis, menandakan bahwa karakter manusia Indonesia masih ada, waras, sehat, dan tentu saja humoris. Jadi, bukankah bak truk itu adalah panggung yang mempresentasikan dunia kehidupan masyarakat Indonesia yang sebenarnya? ❑
Aris Setiawan, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Leave a Reply