Cerpen, Haluan, Muhtadi Chasbien

Yang Retak di Malam Ketujuh

0
(0)

“Aku minta maaf atas peristiwa yang terjadi di Bukittinggi dua bulan yang lalu. Kalau aku tahu status kita sudah bertunangan, aku tak mungkin melakukan itu,” ujarmu. Kauulurkan tangan kanan padaku. Aku meraihnya lalu tersenyum.

“Terima kasih,” katamu setelah aku melepas tanganmu.

Aku mengangguk dan kau berlalu. Beberapa saat kemudian, aku melihatmu menyiapkan makanan. Kau sibuk, sangat sibuk. Entah untuk siapa. Pertanyaan itu terjawab setelah kau membawanya padaku. Nasi, kuah, ikan, air, dan makanan lainnya kau letakkan di hadapanku, di atas ranjang. Ya, di ranjang tua itu keluargamu biasa makan bersama dan kita makan bersama saat itu.

Baca juga: Ke Mana Perginya Kucing-Kucing – Cerpen Erwin Setia (Haluan, 25-26 Agustus 2018)

“Istri shalehah telah selesai menyiapkan makanan untuk suami tercintanya,” teman perempuanmu berbisik di telingamu. Suaranya terlalu nyaring untuk ukuran berbisik, atau sengaja dibuat nyaring biar aku juga mendengarnya? Entahlah. Detik itu, raut wajahmu menjadi kemerah-merahan seperti orang jatuh cinta.

“Semoga samawa,” kata ibuibu serentak. Aku tahu, mereka diam-diam menggunakan aba-aba agar serentak. Kau tersenyum malu. Sepertinya kau benar-benar jatuh cinta. Apa kau jatuh cinta padaku, lelaki yang dua bulan lalu kau campakkan?

Berikutnya, setelah selesai makan dan keluar dari dapur, aku ketemu Ibu. Ia tersenyum. Ada bahagia di wajahnya. Mungkin ia melihat kita saat kita makan. “Bagaimana? Setelah tahlilan, ya?” tanya Ibu. Aku diam, sengaja tak menjawab. Aku lihat wajah Ibu ceria, bahagia.

Setelah tahlilan, sebelum orang-orang pulang ke rumahnya masing-masing, bapak menggunakan pengeras suara meminta orang-orang untuk tidak pulang dulu. Katanya, pernikahan kita akan digelar malam ini. Beberapa orang aku lihat ada yang pulang.

Baca juga  Nol

Baca juga: Darah Daging – Cerpen Kartika Catur Pelita (Haluan, 05 Agustus 2018)

Aku masuk ke kamar, menutup pintu, terlentang di atas kasur. Memejam mata adalah caraku berpikir jernih. Bapak masuk tanpa ketuk pintu. Ia menghampiri dan memintaku cepat keluar. Katanya penghulu sudah datang.

Ia marah, benar-benar marah saat kukatakan aku tak akan menikahimu. Telapak tangannya menyentuh pipiku kanan kiri. Pipiku memerah. Pendengaranku terganggu, seperti mendengar bunyi pompa air saat dinyalakan.

Bapak keluar kamar dengan membanting pintu. Ibu masuk. Memandangku. Aku juga memandangnya. Matanya mirip matamu, tapi matanya berair. Ia tak mengatakan apa-apa dan keluar juga saat kugelengkan kepala. Sama, ia juga membanting pintu meski tak sekeras bantingan Bapak.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!