Cerpen, Koran Tempo, Sidik Nugroho

Warta Jemaat

Warta Jemaat - Cerpen Sidik Nugroho

Warta Jemaat ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

4.8
(27)

Cerpen Sidik Nugroho (Koran Tempo, 03 Juli 2022)

NAMANYA Klin Eswod, kami kemudian memanggilnya Bung Klin. Kehadirannya menjadi pusat perhatian sejak datang pertama kali di gereja kecil kami. Aku yang saat itu duduk di kelas II SMP selalu memperhatikan gerak-geriknya selama beberapa minggu. Dia suka duduk di kursi bagian belakang, menyanyikan kidung-kidung pujian dengan suara merdu. Aku sering duduk dua atau tiga baris di depannya, sering menoleh ke arah belakang, memperhatikan Klin Eswod.

Suara Klin Eswod keras dan merdu saat bernyanyi, tatapan matanya setahuku tak pernah berpaling ke arah lain kalau sedang menyimak khotbah Pak Pendeta. Di dalam gedung gereja, ia tak pernah melepas topinya, yang bentuknya mirip topi Pak Tino Sidin. Terkadang dia mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya yang tipis saat mendengarkan khotbah Pak Pendeta. Melihatnya mengangguk-angguk, aku terkadang ikut mengangguk-angguk walaupun tak mengerti apa yang sedang dikhotbahkan Pak Pendeta.

Kira-kira sebulan—empat atau lima minggu, aku lupa pastinya—setelah kedatangannya, aku melihat Klin Eswod berbicara serius dengan Pak Pendeta setelah kami selesai beribadah. Apa yang mereka bicarakan kudengar jelas karena aku memang menguping, berada sekitar 2 meter dari kedua pria itu. Namun aku tak mengerti. Yang kudengar berkali-kali diucapkan adalah “warta jemaat”.

Minggu berikutnya, barulah aku mengerti. Pak Pendeta mengumumkan bahwa mulai Minggu itu, gereja kami akan memiliki warta jemaat. “Yang menggarap warta adalah Pak Klin Eswod, yang biasa saya panggil Bung Klin. Dia adalah seorang penulis buku,” kata Pak Pendeta. Kata-kata itu tak pernah kulupakan. Aku mengangguk-angguk saat itu, tapi bukan karena menoleh ke belakang dan meniru Bung Klin. Beberapa anggota jemaat ada yang menoleh ke belakang, melihat Bung Klin. Sama sepertiku, ada juga yang mengangguk-angguk.

“Penulis buku”, dua kata itu terdengar begitu asing di telingaku, sekaligus begitu hebat. Dokter, polisi, tentara, serta pegawai negeri, semuanya pernah kudengar, dan seingatku tak ada yang memunculkan perasaan aneh. Aku bergumam kecil sambil mengangguk-angguk, “Penulis buku. Bung Klin penulis buku.”

Sepulang ibadah, warta jemaat pun dibagikan. Aku tak pernah melupakan hari itu, 11 April 1982. Aku tak segera pulang, membaca warta itu sampai habis. Warta itu dibuat di sehelai kertas putih berukuran folio, diketik menggunakan mesin ketik, lalu difotokopi. Sehelai kertas itu hampir dipenuhi tulisan di dua sisinya. Ada ringkasan khotbah Pak Pendeta pada Minggu lalu, kabar rencana pelaksanaan ibadah rumah tangga pada Rabu, tip hidup sehat, tebak-tebakan, dan humor.

Di edisi pertama warta itu, bagian yang terpanjang adalah ringkasan khotbah Pak Pendeta pada Minggu lalu, isinya satu halaman penuh—paling panjang sekaligus paling tidak kumengerti. Aku suka membaca halaman 2. Ibadah rumah tangga pada Rabu (14 April 1982) akan diselenggarakan di rumah Pak Suyoto. Pak Suyoto memiliki anak gadis yang setahun lebih muda daripada aku, namanya Dessy.

Baca juga  Sentimental Journey

Di bagian tip hidup sehat, aku membaca pentingnya memakan buah setiap hari. Di bagian humor, aku tertawa membaca tentang polisi yang menilang pengendara sepeda motor yang tidak tertib berlalu lintas: “Kutilang kau!” kata polisi, dibalas “Perkutut kau!” oleh si pengendara. Di bagian tebak-tebakan, aku membaca pertanyaan, “Yesus itu orang Jawa. Dari kota manakah dia berasal?” Jawaban atas pertanyaan itu ketikannya diputar 180 derajat. Kuputar warta itu, kubaca jawabannya “Kudus”.

Halaman 2 warta itu tidak penuh. Ada sepertiga halaman yang kosong. Di tengah-tengah bagian kosong itu tertulis: “Bila jemaat memiliki ide atau tulisan untuk warta ini, hubungi Bung Klin selesai ibadah Minggu.”

***

SAAT mengikuti ibadah rumah tangga di kediaman Pak Suyoto, aku bertemu dengan Bung Klin. Dia tersenyum kepadaku. Aku merasa canggung sekaligus tersanjung, berusaha tersenyum juga. Saat kami menyanyikan lagu pujian, aku melihat Dessy keluar dari bagian belakang rumahnya.

Sore itu Dessy tampak lebih cantik. Rambutnya ia ikat seperti ekor kuda, baju yang ia kenakan berwarna biru muda dan agak ketat. Aku mengamati dua tonjolan kecil di dadanya sambil selalu mengamati sekelilingku, khawatir ada yang mengamati arah tatapanku. Rok yang ia kenakan kali itu agak pendek, membuat pahanya yang putih tampak sebagian kalau ia duduk. Ketika berdoa, aku membuka mataku sebagian, mengamati sekelilingku. Setelah memastikan tidak ada yang mengamatiku, aku pun memandangi paha dan dada gadis itu. Tatapanku kuarahkan ke arah lain ketika Pak Pendeta yang memimpin doa mengakhiri doa dengan berkata, “Amin.”

Ibadah selesai, aku pulang bersama bapakku. Aku selalu memikirkan Bung Klin dan Dessy. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah dengan berjalan kaki, Bapak bertanya mengapa mukaku aneh. Aku berkata kepadanya bahwa aku baik-baik saja.

Sampai di rumah, aku mengurung diri di kamar. Aku memeluk guling, membayangkan guling itu Dessy. Aku tiba-tiba teringat warta jemaat, kata-kata yang tertulis di halaman kosong. Aku duduk di meja belajarku. Kuambil bolpoin, ingin kutulis puisi untuk Dessy. Beberapa lembar kertas yang kurobek dari buku tulis kuremas dan kubuang karena aku tak kunjung berhasil menulis puisi.

Setelah hampir dua jam berusaha merangkai kata, aku pun berhasil menulis puisi lima baris dengan judul Puisi untuk Dessy. Aku berharap ia mengetahui bahwa tiap huruf paling depan di puisi itu bila digabungkan akan menjadi namanya: Dirimu begitu indah/ Engkau dikasihi Tuhan/ Selalu kuingat dalam doa/ Selalu kurindu tiap malam/ Ya Tuhan, kau tiada duanya.

Hari Minggu pun tiba. Aku memberanikan diri mendekati Bung Klin. Aku berkata kepadanya dengan terbata-bata, aku memiliki puisi untuk warta jemaat. “Tapi jangan tuliskan namaku di situ, Bung.”

Bung Klin mengangguk-angguk, memuji puisiku dengan dua kata, “Bagus juga.” Setelah berbincang-bincang sesaat dengannya, dia mengatakan akan menuliskan “penulis tak dikenal” sebagai identitasku. Aku setuju, bahkan terpesona mendengar tiga kata itu.

***

Baca juga  Macan

Tanggal 25 April 1982 adalah hari tak terlupakan seumur hidupku. Karya pertamaku, Puisi untuk Dessy, dimuat di warta jemaat yang dibuat Bung Klin. Selesai beribadah, aku mengamati wajah Dessy. Ia tersenyum lebar kepada setiap orang yang disalaminya. Aku yang juga menyalaminya hanya berkata, “Selamat hari Minggu,” lalu cepat-cepat menjauh.

Beberapa temanku tampaknya tahu bahwa aku yang menulis puisi itu. Mereka berbisik-bisik ketika aku menyalami Dessy. Salah satunya bernama Rendy. Dia dikenal bengal dan suka merokok. Dia menarik tanganku sewaktu aku sampai di pintu gereja, “Kamu yang nulis puisi itu?”

Aku mengangkat bahu, menggeleng. Aku tidak mau jujur, khawatir kalau dia juga menyukai Dessy.

Nenennya udah mulai gede juga, kenapa kamu enggak nulis tentang itu? Misalnya, ‘Selalu kuingat nenenmu sebelum bobok’, kata Rendy sambil melihat puisiku di warta itu. Ia tertawa lepas, meninggalkanku yang kemudian tertawa sendiri di balik pintu gereja. Ah, bocah bengal itu tahu saja apa yang kupikirkan tentang Dessy.

***

WARTA jemaat Bung Klin makin diminati. Kira-kira sebulan sejak beredar, ada penambahan beberapa rubrik, seperti puisi dan kirim salam. Tiap minggu ada saja yang mengirimi Dessy salam, termasuk Rendy. Salam Rendy malah membuatku tertawa. Bung Klin tentu tidak paham maksud salamnya ini: “Hai Dessy, salam untukmu. Kulihat-lihat makin gede aja.”

Ada juga salam dari anggota jemaat yang menanyakan anggota jemaat lain yang lama tidak kelihatan di gereja. Ada yang mengirim usul lewat rubrik kirim salam, mengajak jemaat piknik ke pantai. Salam-salam itu berbalasan dari Minggu ke Minggu. Warta jemaat yang dibagikan menjelang ibadah Minggu berakhir itu menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh semua anggota jemaat.

Tiga bulan sejak warta itu beredar pertama kali, Pak Pendeta menyampaikan pengumuman, “Mulai Minggu depan, saya akan menyampaikan khotbah berseri. Supaya jemaat lebih paham isi khotbah saya, karena berhubungan dengan khotbah Minggu sebelumnya, warta akan dibagikan sebelum ibadah berlangsung.”

Hari itu pun tiba, 20 Juni 1982. Warta dibagikan saat jemaat masuk ke gedung gereja. Hari Minggu itu, aku, Rendy, dan Waluyo mendapat tugas membagikan warta jemaat dan mengedarkan kantong persembahan. Setelah semua anggota jemaat mendapat warta dan ibadah siap dimulai, kami pun duduk. Ibadah berjalan dengan khidmat dan tertib sampai Pak Pendeta menyampaikan khotbahnya.

Kira-kira lima menit setelah Pak Pendeta berkhotbah, Rendy tertawa keras sekali. Pundaknya bergoyang-goyang, badannya membungkuk. Pak Pendeta seketika menghentikan khotbahnya, memandangi Rendy dengan mendelik. Aku yang berada di sebelahnya berbisik, “Kenapa?”

Ia masih tertawa sambil memegang warta, menunjuk rubrik humor. Entah dari mana Bung Klin mendapat humor yang dimuatnya dalam warta hari itu. Judulnya “Jangan Berhenti”. Begini yang tertulis di situ.

Seorang remaja putri berkata kepada ibunya bahwa dia hamil. Ibunya berkata, “Kok bisa? Ibu sudah bilang, kalau dia cium kamu, bilang ‘jangan’. Kalau dia mulai raba-raba, bilang ‘berhenti!’.” Si anak berkata dengan pelan bahwa pria itu menciumnya sambil meraba-rabanya.

Baca juga  Rindu Seorang Kepala Keluarga

Aku yang membaca humor itu seketika juga tertawa. Rendy, yang melihatku tertawa, tertawa makin keras.

“Dasar kurang ajar!!!” kata Pak Pendeta, suaranya menggelegar. Ia berteriak sambil mendekatkan mikrofon ke bibirnya. Aku nyaris melompat mendengar suaranya. Wajah Rendy seketika memerah. Aku dan Rendy menunduk, memandangi orang di sekitar kami. Beberapa orang yang menyadari penyebab tawaku dan Rendy juga ikut tertawa walaupun pelan. Ada yang tersenyum, ada yang menyembunyikan tawanya.

Pak Pendeta memarahi jemaat, mengomel beberapa menit, dan akan meminta pertanggungjawaban Bung Klin yang memuat humor tidak senonoh di warta jemaat. Saat aku, Rendy, dan Waluyo mengedarkan kantong persembahan, Pak Pendeta menatapi wajahku dan Rendy dengan mengerikan. Aku tak berani lama-lama melihatnya.

Seminggu kemudian, Bung Klin tidak tampak di gereja. Entah siapa yang membawa warta jemaat itu ke gereja. Di warta itu, ia menulis permohonan maaf. Ini beberapa kalimatnya: “Saya tidak bermaksud menyampaikan humor tidak senonoh. Tapi humor itu sesuai dengan tema khotbah Pak Pendeta beberapa Minggu ini, yaitu tentang Kesucian Pernikahan. Justru lewat humor itu, saya berharap agar tidak ada remaja di jemaat yang hamil sebelum menikah. Saya pamit, dan sekali lagi mohon maaf. Tapi saya pergi bukan semata-mata karena dimarahi Pak Pendeta. Saya pergi karena memang sudah waktunya saya meninggalkan kota ini.”

***

TIDAK ada seorang pun yang tahu ke mana perginya Bung Klin. Tidak ada juga yang tahu buku apa saja yang ditulisnya. Ada yang mengatakan ia menulis cerita-cerita mesum dengan nama samaran. Ada juga yang mengatakan ia menulis cerita silat menggunakan nama samaran lain. Ia hadir tiap ibadah Minggu dan Rabu, tapi tidak pernah ada yang tahu di mana rumahnya. Bertahun-tahun kemudian, setelah aku mulai suka menonton film-film Amerika, aku pun menyadari bahwa Klin Eswod bukanlah nama aslinya.

Kehadiran Bung Klin, walaupun hanya empat bulan, telah mengubah jalan hidupku. Setelah menulis puisi untuk Dessy, aku membuat tulisan-tulisan lainnya. Buku yang kutulis kini sudah 14 judul.

Malam ini, acara peluncuran bukuku yang ke-15 baru saja selesai diadakan. Saat kembali ke rumah dan merapikan buku dan arsip di kamar kerjaku, warta-warta jemaat yang dibuat Bung Klin puluhan tahun silam itu terjatuh dari sebuah map. Kubaca satu demi satu. Hujan turun, lama-lama makin deras. Samar-samar kudengar ketukan pintu, kubuka.

“Mas, mau kopi?” tanya Dessy, istriku.

Aku mengangguk dan tersenyum. ***

.

.

Pontianak, Juni 2022

Sidik Nugroho menulis artikel, cerpen, dan beberapa bukunya sudah diterbitkan. Novel terbarunya berjudul Klien Ketiga (2021).

.

.

Loading

Average rating 4.8 / 5. Vote count: 27

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Cerita yang asyik sekali. Sangat menghibur dan lucu

  2. Sebagai orang kristen generasi 80-an saya ‘nyantol’ banget dgn cerita ini. Ini asli bikin ketawa, terutama yg bagian pak pemdeta marah-marah itu, hahah

Leave a Reply

error: Content is protected !!