Cerpen, Kak Ian, Pontianak Post

Dilarang Mati di Sini

Dilarang Mati di Sini - Cerpen Kak Ian

Dilarang Mati di Sini ilustrasi Kekes/Pontianak Post

4
(1)

Cerpen Kak Ian (Pontianak Post, 25 Februari 2024)

SUARA isak tangisan itu seperti hujan yang tidak ingin reda sebelum langit tuntas menumpahkan segala isinya ke bumi. Terlebih hari itu masih begitu sangat pagi. Bau embun pun masih sangat terasa di pucuk hidung. Masih hening dan dingin.

Akhirnya, lamat-lamat suara tangisan itu makin keras terdengar. Dan sumbernya dari sebuah sudut kontrakan—dan ternyata berasal dari seorang ibu muda beranak satu yang suaminya bekerja sebagai petugas kebersihan kota.

Komariah, nama ibu muda itu. Isak tangisan itu berasal dari dirinya. Apalagi berteman dengan rasa hening dan hawa dingin yang masih menggumpal pagi itu. Menambah bagi siapa pun yang mendengarnya akan ikut larut di dalamnya.

Ya, Komariah sedang menangis di depan jenazah Badrun. Suaminya yang kala itu meninggal tepat dini hari, saat matahari enggan untuk menampakkan wajahnya yang memang belum pada waktunya. Sedangkan Aripin, anak lelaki semata wayang mereka, yang masih duduk di kelas IV itu sudah meminta Komariah untuk berhenti menangisi Badrun, ayahnya.

Padahal bocah yang kulupnya belum dipotong itu, sudah kering airmatanya. Karena Aripin lebih dulu menangis ketika mengetahui kepergian orang yang sangat disayanginya itu sudah terbujur kaku di hadapannya. Betapa hancur hatinya.

Saat itu Aripin tidur di samping Badrun sebelum kematiannya tiba. Saat ingin kencing barulah ia menyadarinya jika ayahnya itu sudah tidak bernafas lagi. Bukan itu saja Aripin juga harus menerima kenyataan jika nanti tidak ada lagi orang yang menemani dirinya bermain layang-layang di sore hari di tanah gusuran.

Tapi, Komariah masih terus menangis. Bahkan ia menyingkap kembali wajah pucat Badrun yang sejak tadi tertutup kain jarik pemberian tetangga dekatnya itu. Dengan lekat-lekat ia mengamati wajah lelaki sederhana itu penuh ketabahan. Ia sebisa mungkin tidak ingin airmatanya jatuh di wajah Badrun yang sudah menjadi mayat.

Pamali, kata orang tua dulu bilang, bila airmata jatuh ke wajah si mayit. Nanti di sana, ia tidak tenang memikirkan keluarganya yang ditinggalkan. Akhirnya, Komariah mencoba membendung airmatanya yang sudah menggumpal di sudut netranya.

Sampai-sampai Komariah seperti melihat Badrun tersenyum ke arahnya, saat begitu lekat memandangi wajah suaminya itu. Senyum yang sama saat Badrun menggoda dirinya di pelaminan ketika masih banyak para undangan berdatangan. Komariah saat itu malu-malu kucing hingga pipinya penuh dengan rona semu.

“Pokoknya, aku ingin punya anak dari kamu cukup 12 saja,” goda Badrun di telinga Komariah sambil mencuri kesempatan agar tidak didengar para undangan.

Usai berkata seperti itu Badrun mengulum bibir. Sedangkan Komariah tersenyum kecut sambil matanya mengarah ke wajah Badrun.

“Memangnya aku kucing!” sungut Komariah.

***

Seminggu kemudian, setelah mereka melakukan resepsi pernikahan, Komariah meminta Badrun untuk tinggal di kampung C saja, tepatnya di pinggiran kota J, sekalian untuk memudahkan mencari pekerjaan. Walaupun di kampung itu, sudah tidak ada lagi keluarga apalagi kerabat Komariah yang tinggal. Hanya teman-teman semasa kecilnya saja ada di sana. Maklum rumah Komariah sudah dijual oleh orang tuanya.

“Kamu yakin mau tinggal di kampung itu lagi. Padahal keluarga besar kamu sudah pindah dari sana?” tanya Badrun meyakinkan Komariah seusai salat isya. Padahal mukena berwarna merah jambu itu masih dikenakan oleh Komariah.

“Iya! Kita tinggal di sana sambil mengontrak. Bukan itu saja sekalian aku juga ingin bekerja jadi kuli cuci dari rumah ke rumah. Sedangkan kamu bisa juga cari kerjaan di sana nanti. Lagi pula kamu juga banyak teman kan di kampung itu jadi bisa tanya-tanya lowongan pekerjaan. Semoga saja kita tinggal di sana bisa memperbaiki perekonomian keluarga,” jelas Komariah menuturkan tujuannya pindah. “Oya, katanya kamu mau punya anak 12 dariku. Tentunya kamu harus dapat pekerjaan yang enak agar anak-anak kita bisa tumbuh sehat dan kuat,” lanjutnya sambil melepas mukena dan tangannya menggelitiki tubuh Badrun.

Baca juga  Bulan Terbingkai Jendela

Badrun yang digelitiki oleh Komariah pun tidak tinggal diam. Ia membalas kembali dengan membawa tubuh Komariah ke atas tempat tidur setelah Komariah membuka mukena. Kemudian melumat tubuh telanjang Komariah. Akhirnya mereka melakukan hal yang sama seperti saat malam pertama mereka seusai resepsi pernikahan.

Akhirnya, mereka pun bergegas pergi melangkah ke kota J, tepatnya ke kampung C yang berada di pinggiran kota. Komariah dan Badrun sengaja berangkat lebih pagi sekali agar di perjalanan tidak mengalami kemacetan. Karena mereka melalui jalur darat menggunakan bus antar kota. Bukan itu saja agar mereka bisa leluasa mencari rumah kontrakan yang sesuai dengan kondisi kantong mereka.

***

Setiba di kota J, Badrun dan Komariah pun lantas bertanya-tanya pada orang-orang yang dikenalnya di kampung C itu. Menanyakan adakah kontrakan kosong yang akan mereka tempati. Ternyata mereka tidak mudah mencarinya sekalipun mereka kenal dengan orang-orang di sekitar terutama Komariah yang sejak kecil sudah tinggal berada di kampung itu. Ini lebih sulit memasukkan benang ke lubang jarum. Mereka harus berpeluh keringat untuk mencarinya.

“Ada yang kosong tapi perbulannya sembilan ratus ribu. Apa kalian mau?”

“Iya, sudah, kami mau!”

Lama. Mereka mengelilingi kampung C, mencari kontrakan sesuai yang mereka inginkan akhirnya pun menemukan juga. Itu pun setelah sekian lama mengelilingi kampung—dan ada yang memberitahukannya. Walaupun perlu pertimbangan masak-masak. Apalagi uang yang dibawa Komariah hasil mendapatkan jatah penjualan rumah orang tuanya tidaklah seberapa sekalipun ditambah uang dari para tamu undangan seusai resepsi pernikahan. Hanya cukup untuk lima bulan ke depan.

Setelah mendapati kontrakan yang penuh pertimbangan mereka pun langsung menempatinya. Beruntungnya, mereka diberikan fasilitas tempat tidur yang terbuat dari kayu jati dan lemari yang sudah ada dan ditinggali oleh penghuni kontrakan sebelumnya. Jadi mereka tidak perlu membeli lagi. Kalau pun perlu hanya membeli kasur busa atau kasur Palembang untuk melengkapi saat ketika nanti mereka beristirahat.

***

Tidak terasa bumi terus berputar pada porosnya, ternyata sudah lima bulan lamanya Komariah dan Bandrun menempati kontrakan itu. Hingga Komariah pun tidak menyangka dirinya hamil. Itu ia ketahui saat melihat kalendar dinding yang sudah dibulati olehnya dengan spidol biru jika beberapa minggu ini sudah telat datang bulan. Tapi karena kurang yakin ia pun membeli test pack di apotik terdekat.

Ternyata benar Komariah sedang berbadan dua saat melihat alat kehamilan itu menunjukkan dua garis biru dan betapa senangnya dirinya. Bukan hanya itu saja, berbarengan dengan Badrun mendapatkan pekerjaan sebagai kesatuan petugas kebersihan kota. Komariah pun sangat bersyukur sekali. Atau, jangan-jangan rezeki anak yang dikandungnya itu?

“Kom, suami kamu si Badrun sudah dapat pekerjaan. Ini dia kirim WA untuk diberitahukan ke kamu,” ucap tetangga samping kontrakan Komariah. Kebetulan hari itu Komariah tidak bekerja mencuci pakaian dulu karena sejak pagi dirinya tidak enak badan. Lemas saja yang ia rasakan dan juga mual-mual.

Baca juga  Buteug

“Iya, Kak! Terima kasih sudah kasih tahu Komariah,” jawab Komariah pelan.

“Sama-sama!”

Komariah yang mengetahui Badrun mendapatkan pekerjaan itu dari tetangga dekatnya pun terharu sekali hingga matanya berkaca-kaca. Karena Badrun mengirimkan pesan singkat itu melalui ponsel tetangganya, memberitahukan jika ia mendapatkan pekerjaan agar diketahui Komariah.

Mendengarkan hal itu pastinya Komariah tidak perlu khawatir lagi, lima bulan ke depan dan seterusnya sudah bisa membayar kontrakan dari gaji Badrun. Karena upah dari menjadi kuli cuci dari rumah ke rumah tidak mencukupi. Lagi pula Komariah juga ingin berhenti bekerja sebagai kuli cuci terlebih saat ini ia sudah berbadan dua.

***

Akhirnya, Komariah dan Badrun bisa melewati dan menjalani serta mengarungi bahtera Bersama-sama di kampung C, sampai mereka memiliki keluarga kecil. Mereka kini sudah memiliki anak lelaki semata wayang yang sudah duduk di bangku kelas IV. Aripin, begitu nama anak lelaki mereka. Tubuhnya gempal, pipinya bak tomat merekah dan otaknya cemerlang. Itu terbukti ia beberapa kali mendapatkan rangking tiga besar selalu di kelas.

Tapi, hidup tidak selalu bisa memilih. Manusia hanya bisa menjalankan skenario Tuhan dengan sebaik-baiknya. Badrun tetiba muntah darah saat ia sedang bekerja. Setelah itu matanya terlihat gulita semua dan ia langsung tidak sadarkan diri. Rekan-rekan kerja Badrun yang melihat Badrun seperti itu, jatuh secara tiba-tiba, kaget bukan kepalang. Mereka pun langsung membawa ke rumah sakit terdekat.

Sejak itu Komariah tahu jika Badrun memiliki penyakit keturunan dari ayahnya. Badrun memiliki tubercolisis akut. Itu ia ketahui dari diagnosis dokter yang memeriksa Badrun saat di rumah sakit. Hingga saat Badrun batuk berdahak tiada henti membuat Komariah merasa teriris apalagi bila malam tiba. Batuk lelaki yang kini sudah terlihat tulang rahangnya dan sudah mulai ringkih itu membuat Komariah semakin khawatir. Maka dari itu ia selalu menyiapkan air hangat dan rebusan jahe sebagai obat untuk meredakan batuknya yang selalu tersedia di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.

Sayangnya, batuk Badrun tak kunjung sembuh bahkan kembali muntah darah. Kali ini yang keluar adalah darah segar tapi menggumpal seperti warna ati ayam ketika Badrun ingin berangkat kerja. Melihat seperti itu Komariah melarang Badrun untuk bekerja karena kesehatannya belum begitu pulih total. Badrun harus banyak istirahat dan meminum resep dari dokter dan ditambah minum rebusan jahe.

Lagi-lagi semua itu tidak berbuah hasil. Batuk Badrun makin menjadi-jadi apalagi bila malam tiba. Hingga suatu dini hari Badrun menghembuskan nafas terakhirnya di samping anak semata wayang mereka. Tuhan lebih menyayangi dirinya daripada harus membuat Komariah direpotkan oleh sakitnya dan mengganggu saat Aripin belajar. Badrun akhirnya menemui sang pencipta-Nya. Dia yang Mahamemiliki Segala Maksud.

Innalilahi wa innailaihi rajiun…. Badrun akhirnya kembali ke rahmatullah dengan tenang dan tidak merasakan sakit lagi bahkan tersenyum. Seperti tersenyum pada Komariah yang seakan ingin berpamitan pada istrinya itu.

Komariah kembali menyingkap kain jarik penutup wajah Badrun. Apalagi keluarga dan sanak saudara Komariah sudah berdatangan begitu juga dari pihak suaminya. Mereka ingin membawa jenazah Badrun ke kampung halaman orang tua Komariah.

“Sudah ya, Kom, tidak usah kamu larut memandangi wajah Bandrun terus apalagi sampai meneteskan airmata. Sudah waktunya jenazah Badrun untuk dibawa dan dimakamkan di tempat kamu. Tidak baik lama-lama didiamkan mumpung masih pagi,” tetangga dekat Komariah pun akhirnya ikut buka suara sambil menasehatinya sekaligus menguatkan hati Komariah.

Baca juga  Bibir yang Tercecer

“Iya, Ma! Kata guru agama Aripin juga bilang begitu. Kalau ada keluarga atau saudara kita meninggal jangan ditangisi terlalu mendalam apalagi sampai meneteskan pada si mayit dan harus segera dikuburkan secepatnya,” tetiba Aripin menghampiri Komariah sambil mengangkat tubuhnya yang dibantu oleh tetangganya pula.

***

Usai itu jenazah Badrun pun dimasukan ke dalam mobil ambulan untuk menuju kampung halaman orang tua Komariah. Tubuh kaku Badrun itu akan dimakamkan di sana. Karena melihat jarak dan waktu lebih dekat, maka kampung halaman orang tua Komariahlah yang dijadikan untuk tempat peristirahatan terakhir Badrun dibanding kampung halaman Badrun sendiri.

Dengan gontai masih diliputi kedukaan Komariah melangkah menuju mobil ambulan yang sudah tiba di kontrakannya. Sedangkan Aripin sudah berada di samping Komariah.

Namun sebelum sampai ke mobil itu, Aripin berucap pada Komariah melihat apa yang dialami ayahnya itu sangatlah tragis. Mati pun begitu sulit. Punya tempat (kontrakan), tapi tidak bisa dijadikan rumah duka ini malah dilarang oleh pemiliknya.

“Ma, nanti kalau Aripin atau Mama meninggal jangan di sini lagi, ya! Nanti kita dilarang seperti ayah!” tukas Aripin. “Ternyata Pak RT-nya juga jahat melarang ayah meninggal di sini juga,” lanjutnya.

Komariah langsung disambar petir saat Aripin berkata demikian. Ia jadi teringat kembali saat suatu pagi Pak RT datang ke kontrakannya yang masih sepi. Bukan lantaran untuk melayat kematian Badrun melainkan meminta agar Komariah segera memindahkan rumah duka bukan di kontrakannya melainkan pindah ke mana saja asal jangan di tempat itu! Ya, lantaran pemilik kontrakan tidak mengizinkannya melalui perantara Pak RT.

Saat Komariah dan Pak RT sedang melakukan percakapan secara diam-diam. Mereka pun tidak tahu jika ada bocah yang kencing saja belum lurus itu sedang mendengar percakapan mereka walaupun tidak disengaja.

Saat Aripin berkata seperti itu hujan rintik-rintik turun dari langit menemani jenazah Badrun ke tempat peristirahatan terakhirnya. Konon, katanya jika ada yang meninggal dihujani bertanda makamnya akan sejuk selalu. Entahlah.

Sedangkan pemilik kontrakan yang melarang kontrakannya dijadikan rumah duka pun acuh. Tak sama sekali mengucapkan bela sungkawa pada Komariah. Ternyata pemilik kontrakan itu tercipta dari batu. Ia bersikeras mayat Badrun lekas dibawa dan dimakamkan di kampung halaman orang tua Komariah.

Ya, tidak ada tawar menawar lagi. Kontrakan itu harus terbebas dari aroma kematian yang bukan dari warga setempat. Begitulah nasib kematian Badrun. Mati saja pun dilarang walaupun di kontrakannya sendiri. ***

.

.

Kak Ian, penulis dan pengajar serta penikmat sastra. Aktif dan bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya berupa cerpen, cerita anak, cerita remaja, opini dan puisi, sudah termaktub di media cetak dan online. Sedang menyiapkan buku keenam dan ketujuh; Kumpulan Cerpen “Jika di Antara Kita Lebih Dulu Dipanggil Tuhan” dan 20 Kumpulan Dongeng Profesi “Juru Masak dan Pisau Kesayangannya”.

.
Dilarang Mati di Sini. Dilarang Mati di Sini. Dilarang Mati di Sini. Dilarang Mati di Sini. Dilarang Mati di Sini. Dilarang Mati di Sini.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!